Episode 4

1995 Kata
            Terlambat! Joseph dengan cepat sudah meraih pinggangku dan memelukku. Dikecupnya leherku dengan lembut. "Kamu wangi.."             Bulu kudukku merinding. "Joe... kamu..."             "Alice, gue cuma bakal bilang ini sekali lagi. Bagi gue, lu bukan adik gue. Gue ngelihat lu sebagai perempuan. Jadi kalau lu panggil gue 'kakak', gue nggak suka. Paham?"             Aku meringis. "I-iya, Joe." Aku beringsut menjauhinya, tapi Joseph lebih cepat dariku. Dia segera memelukku lagi.             "Maaf, ya. Mungkin gue agak kasar, tapi gue nggak pernah mikir untuk punya adik."             "Iya, Joe. Maaf juga, aku lupa terus.. Aku pingin banget punya kakak," jawabku pelan. Tanpa sadar aku menitikkan air mata.             Joseph tidak menjawab tapi dia sudah melepaskan pelukannya. "Lho, lu nangis, Alice? Gara-gara gue?"             Aku terdiam. Beberapa detik kemudian aku menggeleng pelan. "Bukan, bukan gara-gara kamu. Aku cuma mikir kayaknya seneng banget kalau punya kakak. Selama ini aku selalu sendiri. Ayah dan Ibu cuma punya aku anak satu-satunya..."             Joseph tetap tidak bersuara. Aku pikir dia tidak mendengarkanku. Waktu aku berbalik dan mau pergi ke kamarku, Joseph menahanku. "Jangan pergi! Di sini dulu aja sebentar."             Aku tidak jadi pergi dan kembali duduk. Kali ini aku duduk sambil memeluk lututku. Kudengar helaan napas Joe yang berbaring di sebelahku.             "Alice, gue bakal bilang satu rahasia. Lu nggak boleh bilang ke Papa Mama. Janji?"             "Iya. Apa?"             Joseph tidak langsung menjawab. Beberapa saat berlalu, aku kira dia tertidur. Baru aku mau bergerak, dia akhirnya mulai bercerita. "Empat belas tahun lalu, waktu aku pertama masuk panti asuhan, aku benar-benar merasa kesepian. Papi sering mabuk-mabukan sesudah Mami meninggal. Aku sering dipukul pakai sapu, sabuk ikat pinggang, malah terakhir-terakhir Papi pernah saking mabuknya memukulku dengan botolnya. Botolnya pecah dan membuat luka yang lumayan dalam sampai harus dijahit."             Aku mendengarkan sambil tercengang. Tidak berani bicara apa-apa, aku tetap diam dan mendengarkan kelanjutan ceritanya.             "Tetanggaku yang melihat aku malam-malam lari dari rumah dengan darah mengucur dari pelipis. Tetanggaku juga yang membawa aku ke rumah sakit untuk menjahit lukaku. Sebenarnya dia mau mengambilku dari Papi, tapi sayang mereka juga bukan orang berada. Akhirnya aku dibawanya ke panti asuhan itu."             Terdengar helaan napas Joseph lagi. "Di sana aku pikir siapa tahu keadaan jadi lebih baik. Ibu asuhnya sih baik, tapi anak-anak di sana menganggapku sebagai saingan. Awalnya aku nggak menghiraukan mereka, sampai ada satu anak perempuan yang selalu mendekatiku. Dia memanggilku 'kakak'."             Joseph terdiam lagi beberapa saat. Suaranya agak serak waktu dia melanjutkan lagi ceritanya. "Lina membuatku menyayanginya. Aku berpikir akhirnya ada yang peduli padaku, sayang padaku. Tapi ternyata, belakangan aku tahu.. itu cuma harapan kosongku belaka."             "Apa yang terjadi?" tanyaku penasaran.             "Lina... bertaruh dengan beberapa anak di panti asuhan, kalau dia bisa membuatku memperhatikannya. Ya, dia menang. Aku memperhatikannya selama berbulan-bulan, sampai akhirnya aku tahu kenyataannya. Rasanya sakit banget... Aku tulus menyayanginya sebagai adikku, tapi dia cuma menjadikanku obyek taruhan."             "Joe, aku bukan Lina. Aku nggak akan menjadikan kamu sebagai obyek taruhan."             Joseph menatapku sambil tersenyum sedih. Beberapa saat dia seperti sadar menyebut 'aku-kamu' padaku. "Maaf ya, Alice. Kamu jadi yang terima akibat dari trauma masa lalu gue."             "Apa boleh aku panggil Kakak?"             Joseph menggeleng. "Enggak.."             "Kenapa? Aku janji nggak akan jahat kayak Lina."             "Gue tahu. Dari pertama lihat kamu, gue tahu kamu baik, Alice."             "Terus kenapa aku nggak boleh panggil kakak?" tanyaku lagi.             Joseph menghela napas panjang. "Gue nggak mau kamu jadi adik gue...."             Aku termenung. Saat kami sedang diam-diaman, aku tertegun waktu Joseph mengulurkan tangannya dan merangkul bahuku. Tanpa sadar aku menyenderkan kepalaku ke bahunya.             "Alice, gue bakal terus jaga kamu, tapi jangan panggil gue kakak, ya?"             Aku mengangguk. Sadar kalau Joseph tidak melihat anggukanku, aku menjawab perlahan, "Iya."             Kami masih tetap berdiam diri seperti itu beberapa menit kemudian. Rasanya nyaman sekali di rangkulan Joseph. Entah mengapa, aku tidak takut lagi padanya.             Beberapa saat berlalu, Joseph mengecup keningku dengan lembut sambil berbisik pelan sekali. "One day, you will see me as a man... the man that you love."             Mendadak jantungku berdebar kencang. Apa Joseph menyukaiku? Itukah sebabnya dia bersikeras tidak mau disebut sebagai kakak?             "Alice," ujar Joseph memecah keheningan. "Besok cepet lu kasih ke gue raport sementara lu dan catatan prestasi atau kegiatan lu buat gue kirim ke UNSW. Sekalian lu pikirin mau jurusan apa? Biar cepet diproses."             Secepat itu Joseph ternyata sudah mengubah panggilannya kembali ke gue-lu denganku. "Iya, Ka.. eh Joe. Saat-saat gini, aku jadi inget Ayah dan Ibu."             "Hm? Kamu mau cerita? Tadi gue dah cerita masa lalu kan. Giliran sekarang."             "Cerita apa? Aku anak mereka satu-satunya. Seudah punya aku, Ibu sempet mengandung lagi tapi keguguran. Seudah itu mereka nggak punya anak lagi. Biar begitu, Ayah dan Ibu sangat sayang padaku. Sampai hari ini, aku sama sekali nggak nyangka kalau Ayah bukan ayah kandungku.... Ayah memperlakukanku sebagai anak kandungnya." Tangisku pun pecah.             Joseph memelukku dan mengelus-elus punggungku. "Nangis aja kalau itu bikin perasaan kamu lebih lega."             Isak tangisku mengisi keheningan kamar Joseph. Teringat Ayah yang selalu memandangku dengan rasa bangga, juga Ibu yang melihatku dengan penuh cinta. Semua itu sudah sirna, lenyap. Baru 4 hari pemakaman Ibu, tapi baru sekarang aku bisa menangisinya dengan layak. Rasanya sakit... hampa. Aku hanya seorang diri sekarang.             "Alice, seenggaknya sampai umur 18 kamu masih punya Ibu kamu yang selalu sayang ke kamu. Kamu harus bersyukur itu."             "Iya, Kak. Dibandingkan dengan masa lalumu, aku jauh lebih beruntung. Tapi sekarang aku sendiri..."             Joseph mengeratkan pelukannya, mengabaikan kata 'Kak' yang kuucapkan sebelumnya. "Enggak, Sayang. Kamu enggak sendirian. Ada Papa dan Mama, juga ada aku. Kamu nggak sendirian."             Tangisku semakin keras. Aneh, rasanya di pelukan Joseph, aku menemukan ketenangan. Tadi aku sedih karena mengingat sudah tidak punya Ayah dan Ibu, tapi sekarang aku sadar kalau ternyata aku terlalu larut dalam ingatanku akan mereka. Sampai-sampai aku melupakan Papa dan Mama, juga Joseph.             Joseph masih terus mengelus punggungku, mencoba memberi ketenangan bagiku. "Kamu anak yang baik. Mereka pasti bangga padamu. Sudah puas nangisnya?" Joseph menaruh tangannya di bahuku dan memandangiku. "Ckckck, parah banget kamu nangisnya, Alice. Ambil tissue di sana. Kalau Papa dan Mama lihat, bisa-bisa mereka kira kamu disiksa gue."             Aku terkikik pelan di antara sela isak tangisku. "Kan kamu tadi yang suruh aku nangis. Sekarang malah diomelin lagi."             Joseph tertawa kecil. "Nanti kalau kamu sudah di Sydney, gue jamin kamu nggak bakal sedih lagi."             "Kenapa memangnya?" ujarku penasaran.             "Kamu masuk ke suasana baru, budaya baru, tempat baru, ketemu orang-orang baru. Adaptasi semacam itu butuh banyak energi. Pasti kamu nggak sempet buat nangis lagi."             Aku menyeka air mataku sambil mengangguk kecil. Kulempar tissue bekasku ke tong sampah. "Iya, semoga."             "Sudah, sana tidur. Besok sekolah, kan?"             Aku mengangguk lagi. Kali ini kupeluk Joseph dengan hangat. "Makasih banyak, Joe. Kamu kakak yang luar biasa. Aku benar-benar beruntung punya kakak seperti kamu."             Joseph membuka mulutnya, tapi tidak jadi bicara. Ditepuk-tepuknya kepalaku pelan. "Sana, jangan ketahuan Mama atau Papa kamu nangis, ya?"             "Beres, Bos!" Aku keluar dari kamarnya. Kali ini hatiku terasa hangat, tidak lagi merasa takut pada Joseph. Aku yakin aku akan aman bersamanya. Selain itu, kesepian yang kurasa selama 4 hari ini hilang sudah. Aku tidak sendiri lagi.             Di kamarku surat dari Ibu kubuka lagi. k****a sekali lagi. Kurasakan Ibu begitu dekat denganku. "Ibu, jangan khawatir. Aku tidak sendiri lagi sekarang. Aku yakin, Ibu yang mengirim Papa, Mama, dan Joe untuk menjagaku. Ibu tenanglah di Surga, aku baik-baik saja."             Ibu memang sudah pergi untuk selamanya, tapi kenangannya tinggal di dalam hatiku. Beberapa saat aku merasa kehilangan dirinya lagi, tapi kukuatkan hatiku. Aku masih di sini dan akan terus berjuang membuat Ibu dan Ayah bangga padaku.             Besoknya pulang dari sekolah, segera kufotokopi raport semester lalu, sertifikat kegiatan dan lomba-lomba yang pernah kuikuti, kususun juga semua kegiatan yang pernah aku geluti dalam satu file. Dari tadi aku tidak melihat Joseph. Mungkin dia pergi. Kuketuk pintu kamarnya. Tidak ada jawaban. Jadi aku membukanya. Kamarnya kosong. Kuletakkan dokumen yang diminta Joseph kemarin malam.             Baru saja aku mau masuk kamarku, tiba-tiba aku lihat Joseph masuk ke kamarnya. "Alice, kamu ngapain di sini?"             "Itu, aku tadi cari kamu tapi kamu nggak ada. Jadi aku cuma simpen dokumen yang kamu minta semalem, Joe."             Sigap Joseph mengambil map berisi berbagai dokumen yang kuberi. Sambil duduk dibukanya satu-satu sambil dibacanya. Aku ikut duduk di sebelahnya. Beberapa saat kemudian, dia bersiul.             "Kenapa?"             Joseph tersenyum padaku. "Gue nggak nyangka aja. Ternyata kamu juara sekolah. Kalau gini sih, gampang mestinya kamu mau masuk UNSW. Apa mungkin kamu mau masuk UNSYD?"             Aku mengerutkan keningku. "UNSYD? Apa tuh, Joe?"             "University of Sydney. Dua-duanya bagus, tapi biasanya syarat masuk UNSYD sedikit di atas UNSW. Gimana, kamu sudah mikirin mau masuk jurusan apa?             "Iya, seperti saran kamu kemaren, aku mau masuk Industrial Engineering." Aku diam sejenak untuk berpikir. "Kayaknya aku lebih sreg di UNSW aja, Joe."             "Oh, kenapa?"             "Supaya kita nanti punya almamater yang sama," ujarku cepat sambil tersenyum malu.             Joseph malah mencubit pipi kananku. "Lah, kamu ini. Kalau pilih universitas, jangan mikir kayak gitu. Pilih yang paling bisa membantu masa depan kamu."             Aku tertawa. "Kalau aku nggak nyaman, mestinya prestasiku juga nggak bagus. Aku sepertinya bakal nyaman di UNSW, Joe."             "Tahu dari mana? Kan kamu ke sana aja belum pernah."             Aku tersenyum manis sambil menatap Joseph. "Tahu dari kamu. Lagipula kata kamu kan UNSYD buat masuk syaratnya sedikit di atas UNSW. Mestinya lebih susah juga di sana. Aku pikir kan aku juga butuh adaptasi. Jadi kalau mata pelajarannya susah, gimana aku bisa adaptasi nanti?"             Joseph memencet hidungku pelan. "Mata kuliah, bukan mata pelajaran," koreksinya. "Ya, masuk akal juga. Lagian kamu sudah jenuh belajar kali, ya?"             "Enggak juga sih. Cuma yaaaa, aku pingin bisa tarik napas lebih lega aja." "Di UNSW juga nggak gampang lho."             Aku tersenyum kecil. "Itu untungnya punya kamu, Joe. Aku kan jadi bisa tanya-tanya kamu." Joseph merangkul bahuku sambil mengusap-usap rambutku. Ditatapnya aku dengan hangat.             Aku tersenyum ke arahnya sambil memegang lengannya yang dirangkulkan ke bahuku. "Inget, nanti bantu aku lho kalau aku butuh bantuan kamu."             Joseph mencubit pipi kiriku dengan tangan satunya. "Pasti. Kamu jangan khawatir."             Kusandarkan kepalaku ke bahu Joseph. Aneh, rasanya senang sekali bermanja-manja dengan Joseph. Beda sekali waktu pertama kali dia datang.             Waktu aku masih asyik melamun, pintu kamar Joseph diketuk. Joseph segera bangun untuk membuka pintu. Belum sempat dia sampai pintu, tiba-tiba pintu itu sudah dibuka dari luar. Seorang perempuan dengan tinggi sebahu Joseph tersenyum manis sekali padanya. Segera kumenjauh dari Joseph.             "Joseph, I miss you so much, Darling!" Sesudah itu, perempuan itu memeluk Joseph.             Aku tercengang memperhatikannya. Perempuan yang baru masuk barusan cantik sekali. Langsing, rambutnya pirang panjang. Bule jejadian tentunya. Dia memakai baju dengan mode terbaru, sepertinya orang kaya karena dari atas sampai bawah terlihat serasi dan mahal. Anting dan kalung berlian yang dipakainya bersinar-sinar. Sackdress merah tanpa lengan dengan panjang setengah paha yang dipakainya tambah menguatkan kesan menggoda. Wedges 15 cm yang dipakainya menambah kesan jenjang pada tungkainya.             Joseph tampak kaget melihat perempuan itu. "Jasmine, kok lu bisa ke rumah gue?"             "Iya dong, Sayang. Masa aku nggak bisa ke rumah kamu. Kamu pulang ke Indonesia nggak bilang-bilang. Aku kan kangen." Jasmine lalu mengecup pipi Joseph sambil menatapnya dengan mesra. "Belum cukuran? Kamu jadi tambah keren aja." Diusapnya dagu Joseph sambil berkedip-kedip manja.             Aku bergerak gelisah di tempatku. Rasanya tidak rela Joseph dekat dengan Jasmine. Apa dia pacar Joseph?             Jawaban dari pertanyaanku datang dengan cepat. Joseph memegang bahu Jasmine dan mendorongnya pelan. Seperti menjaga jarak pantas dengan Jasmine. "Kedip-kedip mulu. Mata lu kelilipan? Lu ngapain sih ke rumah gue? Nggak bilang-bilang lagi. Aryo tahu lu ke rumah gue?"             Jasmine tidak bergeming. Sambil cemberut dipukulnya lengan atas Joseph dan bergelayutan. "Iya, kelilipan. Tiupin dong, Sayang? Aryo? Tahulah."             "Hah! Ngaco aja! Tiup sendiri sana!" Joseph mendorong pelan Jasmine. Gerah mungkin digelendoti dari tadi. "Lah, trus? Lu berdua tuh aneh, ya? Pacaran tapi kayak nggak pacaran."             "Nggak usah bahas Aryo. Basi tahu nggak sih? Mending ngomongin tentang kita aja." Joseph mengibaskan tangan Jasmine. "Sudah, lu nggak usah pegang-pegang gue. Risih tahu! Nggak malu lu dilihatin adik gue?"             Jasmine seperti yang baru tersadar kalau ada aku di situ. Dengan gaya yang dibuat-buat didekatinya aku. "Halo Adiknya Joseph! Nama kamu siapa, Sayang?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN