bc

Surat untuk Alicia

book_age16+
615
IKUTI
2.7K
BACA
second chance
student
drama
tragedy
sweet
campus
city
highschool
secrets
like
intro-logo
Uraian

[Completed Story].

Semuanya dimulai dari sepucuk surat yang ditemukan Alicia. Hanya satu surat saja, itu akan mengubah hidupnya.

“Aduhhh! Sakit, Kak!” Joseph sudah menarik tanganku dan menyeretku masuk ke kamarnya. Dia lalu mendesakku ke temboknya dan mengurungku dengan kedua tangannya.

“Gue cuma bakal bilang ini sekali aja. Bagi gue, lu bukan adik gue. Nggak akan pernah bakal jadi adik gue. Kalau lu panggil gue 'kakak' lagi, nanti lu bakal tahu akibatnya.”

“Memangnya kenapa?” tanyaku bingung.

Joseph tidak menjawab, tapi malah mendekatkan wajahnya ke wajahku.

“Kak? Kamu mau apa?” tanyaku panik.

“Lagi-lagi lu panggil gue 'kak'. Oke gue akan tunjukkin akibatnya. Setiap kali lu panggil gue kakak, ini yang akan gue lakukan.”

Dengan cepat Joseph, menaruh jarinya di daguku dan mengecup bibirku. Aku yang terlalu kaget tidak bisa bergerak. Dia bukannya berhenti, malah makin bersemangat menciumku sambil tangan satunya memelukku erat. Pikiranku kacau. Aku tidak bisa berpikir apa-apa dan malah balik membalas ciumannya.

chap-preview
Pratinjau gratis
Episode 1: Alicia POV
Hari itu kutemukan sepucuk surat. Ya, sepucuk surat yang mengubah hidupku. Kubuka dan k****a. Begini isinya:  “Teruntuk: Buah hatiku, Alicia Saat kamu menerima surat ini, aku sudah tidak berada di dunia ini, Anakku. Momen pertama ketika kusadari bahwa kamu telah hadir di dalam rahimku, itulah saat kebahagiaan yang penuh melanda. Anakku satu-satunya, Ibu ingin kamu tahu, betapa diberkatinya aku karena bisa menjadi ibumu. Selain itu, Ibu sangat menyayangimu. Ada banyak hal yang ingin kuceritakan. Akan tetapi, ada satu hal yang terutama ingin kubagikan padamu, Nak. Di dunia ini banyak hal yang bisa membuatmu hancur, tapi juga ada banyak hal yang bisa membuatmu terangkat tinggi. Salah satunya adalah kebahagiaan.  Aku menemukan kebahagiaan dalam harumnya rerumputan di kala pagi, juga melihat embun yang ada di ujungnya. Begitu juga kebahagiaan dalam hangatnya sinar mentari pagi yang menyapa. Aku terutama menemukan sejumput kebahagiaan saat setiap sore kureguk segelas teh melati tanpa gula. Harum dan hangat, mengisi mulut dan tenggorokan, perut, dan hatiku. Tidak sulit untuk menemukan secercah kebahagiaan. Kebahagiaan ada di tiap detik di hidupmu. Tidak perlu mencarinya terlalu jauh, dia ada di dalam hatimu, di dalam dirimu. Terlalu banyak orang mengejar dan mencari-cari kebahagiaan dalam materi dan hal-hal yang gemerlap. Itu tidak salah, Sayang, tapi pencarian itu seringkali mengecewakan.  Sayangnya tidak banyak orang tahu. Kebahagiaan itu sangat sederhana. Begitu sederhananya sampai sering terlewatkan. Tergerus dan tertutupi oleh begitu banyak deru kesibukan. Ada satu cerita tentang sekeping kebahagiaan yang ingin Ibu bagikan. Saat itu aku berusia 30 tahun. Untuk pertama kali dalam hidup, aku berjumpa dengan seorang pria yang benar-benar menjungkirbalikkan duniaku.  Keyakinan kami berbeda, tapi aku sangat mencintainya. Begitu pula dia. Sebelum bertemu dengannya, aku tidak pernah jatuh cinta pada seseorang dengan keyakinan berbeda. Namun, cinta itu begitu kuat, menyusup dengan lembut tanpa dapat kuelakkan.  Sejak perjumpaan pertama dengan dia, aku tahu bahwa kami tak mungkin bersama. Dia dari keluarga yang sangat terpandang. Orang tuanya telah menjodohkannya dengan gadis dari keluarga terpandang lainnya. Kami sudah 2 tahun bersama saat kutahu tentang perjodohannya dengan gadis itu. Suatu hari, dia menatap Ibu dan berkata, "Harinya sudah ditentukan." Maksudnya hari pertunangan dengan gadis yang dijodohkan itu.  Duniaku terasa hancur. Aku bisa saja memintanya untuk memilihku, tapi aku terlalu mengerti dirinya, bahkan mungkin lebih dari dia mengerti dirinya sendiri. Aku tak mungkin membuat dia tercerabut dari akarnya: dari keluarganya, dari komunitasnya, dari prinsip yang dia yakini.  Tidak, aku tidak bisa. Itu akan membuat dia tak bahagia. Padahal kebahagiaannya adalah hal yang benar-benar ingin kujaga, lebih dari apapun. Jadi saat itu, aku hanya terdiam.  Kuberikan senyumku yang terindah padanya sambil berkata, "Aku ingin menghabiskan satu hari di sebuah tempat istimewa bersamamu. Anggaplah itu akan menjadi saat terakhir kita."  Dia menatapku berlama-lama. Kulihat perlahan air matanya menetes. Lalu dia memelukku erat. Tiga hari kemudian kami menghabiskan saat terakhir kami di sebuah resort di Bali. Atmosfernya sangat teduh dan menyenangkan.  Segera kupesan grilled tuna. Dia memesan Calamary and Chip. Kami menunggu dalam diam. Dia terus menatapku, seakan ingin mengingat semua tentangku. Tak lama, pesanan kami datang. Kembali kami tenggelam dalam diam. Tiba-tiba, dia mengambil satu calamari dan disematkannya di jariku. Aku tertegun. "Walaupun kita tidak dapat bersama, aku ingin kamu berbahagia. Setiap kali melihat cumi-cumi, aku ingin kamu mengingat cincin calamari yang kusematkan di jarimu ini. Bahwa aku benar-benar mencintaimu, terlepas dari segala perbedaan yang kita miliki dan harapan keluarga terhadapku. Aku benar-benar mencintaimu. Tidak ada yang akan mengubah hal itu." Alicia, saat itu Ibu hanya dapat menunduk menatap cincin calamari di jari ibu. Berbagai rasa campur aduk dalam hatiku saat itu. Terlalu banyak yang ingin Ibu katakan padanya, tapi rasanya kata-kata tak cukup untuk menggambarkan gejolak hati Ibu.  Akhirnya aku hanya dapat berkata, "Aku pasti akan berbahagia. Aku juga sangat mencintaimu. Walaupun kita tidak dapat bersama, kebersamaan kita adalah salah satu saat yang paling membahagiakan dalam hidupku. Aku juga ingin kau selalu berbahagia. Berjanjilah, kau akan selalu berbahagia. Seperti aku, juga berjanji akan senantiasa berbahagia." Kuambil satu calamari dari piringnya dan kusematkan di jarinya. Air mata menetes begitu saja di pipiku. Dia menatapku dengan sorot mata pedih. "Baru saja berjanji akan bahagia, kau sudah menangis." Aku mengulas senyum kecil sambil menyeka air mata. "Aku berbahagia dalam tangis. Walaupun kita tak dapat bersama, aku akan menyimpan kenangan bersamamu sebagai sejumput kebahagiaan yang indah di hatiku, di hidupku. Aku tak akan melupakanmu." Dia menggenggam tanganku dengan erat. Udara pantai berembus mengisi rongga paru-paruku. Kami tetap duduk-duduk di situ, lama sesudah kami habis menyantap makanan. Hari terasa terlalu indah untuk dilewatkan. Jadi aku hanya menyandar di dadanya dan dia memelukku dengan erat. Kemudian dia membisikkanku puisi yang tak dapat kulupakan: Sejumput kebahagiaan bagaikan impian Kaulah bagian dari mimpi itu Hari saat aku bertemu denganmu adalah bagaikan takdir Tak pernah kusesali perpisahan ini Karena aku tahu kita tak pernah terpisah Di dalam jiwaku, ada jiwamu Karena kaulah belahan jiwaku Walaupun kita tidak bersama Bagiku kaulah satu yang kupuja Kaulah kebahagiaan dan impianku Malam akhirnya menjelang. Kami pun meninggalkan resort itu, tempat kenangan terakhir kami. Sejak saat itu, dia beberapa kali masih menemuiku, tapi kutolak. Aku tak ingin merusak kebahagiaan tunangannya. Aku ingin dia bisa berbahagia dengan tunangannya. Jadi aku menjauh.  Aku tetap mengikuti perkembangan tentangnya. Bahkan sampai hari pernikahannya pun aku tahu. Aku tak datang. Hanya mendoakan dari jauh. Pada hari pernikahannya, itulah saat pertama aku tahu bahwa kamu telah ada di dalam rahimku, Alicia. Dialah ayah kandungmu. Ketika tahu bahwa aku akhirnya benar-benar memiliki bagian dari ayahmu di dalam diriku, aku bahagia. Walaupun kami tak mungkin bersama, aku memiliki dirimu. Mungkin ini mengejutkanmu, tapi mungkin juga tidak. Satu bulan setelahnya, aku bertemu dengan ayahmu, ayah yang kau kenal. Dia mencintai Ibu, sangat mencintai Ibu. Cintanya begitu besar sampai membuat Ibu pun akhirnya belajar mencintainya. Dia tahu kamu ada dalam rahim Ibu dari sejak pertama kali bertemu. Akan tetapi, itu tidak membuatnya berpaling. Dia hanya memandang Ibu dengan cinta dan hormat. Kami lalu menikah. Ayahmu ingin mengakuimu sebagai anaknya. Aku terharu karena kebesaran hatinya. Sampai akhir, ayahmu memang tidak pernah memandangmu sebagai anak tirinya, bukan? Dia memang mencintaimu, setulus-tulusnya yang mampu diberikan oleh seorang ayah kepada anaknya.  Aku adalah wanita yang beruntung. Aku dihujani oleh cinta yang begitu besar. Cinta yang melindungiku dari apa pun. Menikah dengan ayahmu adalah bagian dari kebahagiaan terbesar dalam hidupku. Selama 10 tahun kami menikah, Ibu tidak dapat memberi adik bagimu. Ayahmu tidak pernah kecewa. Ibu sering merasa bersalah padanya, tapi ayahmu hanya meremas tangan Ibu sambil memandang dengan penuh cinta. "Kau dan Alicia saja sudah lebih dari cukup bagiku, Sayangku," begitu ujarnya. Hal yang paling menghancurkan hati Ibu, hanyalah waktu ayahmu tahu Ibu mengidap kanker p******a. Itulah pertama kalinya Ibu melihat ayahmu menangis. Padahal selama ini dalam menghadapi masalah apa pun, dia selalu tegar dan kuat. Ibu sampai memeluk ayahmu dan berkata padanya, "Aku tidak apa-apa. Tetaplah berbahagia. Aku akan sedih jika kau tidak berbahagia." Segera ayahmu menyeka air matanya. Sepertinya dia berusaha menguatkan dirinya demi Ibu, lalu dia memaksakan sebuah senyum kecil. "Aku akan tetap berbahagia: untukku dan untukmu, juga untuk Alicia. Kita pasti bisa menghadapi semua ini."  Tak diduga, ternyata malah ayahmu yang pergi lebih dulu. Kau tentu masih ingat, saat itu kamu baru sepuluh tahun waktu kecelakaan itu merenggut nyawa ayahmu. Kau menangis mencari-cari dirinya, tapi dia tak kembali. Kondisi Ibu sendiri waktu itu dengan pengobatan, masih bisa bertahan 5 tahun. Aku tahu waktuku tidak lama lagi. Ibu ingin kamu tahu, aku dan ayahmu sangat mencintaimu. Ibu tetap mengikuti kabar ayah kandungmu selama ini. Ayah kandungmu tidak memiliki anak. Dia pasti akan sangat bahagia jika tahu, kamulah anak kandungnya.  Ibu tidak memaksamu untuk mendatanginya. Namun, jika kamu ingin mengenalnya, Ibu akan sangat senang. Kamu memiliki mata dan hidung ayah kandungmu, tapi bibir ibu. Aku kira, ayah kandungmu akan segera mengenalimu begitu bertemu denganmu. Apa pun yang terjadi, Ibu ingin kamu tetap berbahagia. Apa pun yang kamu lakukan kelak, saat kamu beranjak dewasa, tetaplah berbahagia. Ibu yakin kamu akan menjadi seorang wanita yang hebat dan kuat.  Di saat akhir sebelum Ibu pergi, Ibu sudah mengirimkan surat untuk mengabari ayah kandungmu tentang kondisi Ibu dan tentang kamu. Mungkin sebentar lagi dia akan datang menemuimu. Dia sama sekali tidak tahu keberadaan dirimu, Nak. Jadi jangan terlalu keras padanya.  Peluk dan cium Ibu untukmu. Dari Ibu yang selalu mencintaimu. Tetaplah berbahagia. – Ibu –“ Membaca surat dari Ibu membuatku terhenyak. Siapa yang akan menduga bahwa aku bukan anak kandung ayahku? Ayahku sedari kecil selalu memanjakan dan menyayangiku. Sampai usiaku yang ke-18 tahun ini, banyak sekali orang yang mengomentari kalau aku lebih mirip ayah ketimbang ibu. Apa ibu berbohong? Tapi suratnya ini adalah surat terakhir.  Sambil menyeka air mata yang sudah turun dengan deras sedari tadi, kubalikkan amplop besar yang ada di atas meja. Dua helai foto jatuh dari dalamnya. Satu adalah foto ibu bersama dengan seorang laki-laki lain. Ibu terlihat masih muda. Kuperhatikan foto itu dengan saksama. Laki-laki itu .... Kuambil foto yang dipajang di atas meja belajar. Kubandingkan kedua foto itu. Aku menghela napas panjang. Kuambil lagi foto ayah dan ibu, lalu kubandingkan foto ayah dengan foto laki-laki itu. Ada sedikit kemiripan antara aku dan ayah, tapi lebih banyak kemiripan antara aku dengan laki-laki itu. Hanya ada satu ayah yang kukenal, dialah ayahku. Bukan laki-laki itu .... Akan tetapi, seperti yang ibu tulis di surat itu, dia tidak tahu bahwa aku ada di dunia ini. Mungkin bukan salahnya .... Lalu, salah siapa? Salah ibukah? Tapi saat itu seperti yang ibu tuturkan di suratnya, laki-laki itu sudah menikah. Ibu pasti tidak ingin merusak rumah tangga mereka. Bersyukur ada ayah yang mau menerima dan mencintai ibu dan aku. Kalau tidak, mungkin nasibku akan mengenaskan.  Telepon rumah berbunyi. Dengan enggan kuangkat. “Halo?” Beberapa saat tidak ada suara, lalu kudengar suara seorang laki-laki itu di sana. “Halo? Apa ini Alicia?” “Iya, betul. Siapa ini?” Lagi-lagi tidak terdengar jawaban di sana. Baru beberapa saat kemudian kudengar jawabannya. “Ini ... teman ibumu. Namaku Fendy. Bisa kita ketemu?” Jantungku berdetak kencang. Mungkinkah dia ayah kandungku? Tanganku mendadak menjadi dingin. Keringatku mengucur deras. Apa yang harus aku katakan?  “Alicia? Kamu masih di sana? Buru-buru kujawab. “Iya, di mana kita ketemu?” “Gimana kalau Om jemput kamu di rumah?” “Om tahu alamat saya?” “Ya, ya. Ibumu memberitahu Om tentang itu. Kamu sudah makan? Kalau belum gimana kita makan dulu di cafe sambil ngobrol?” “Belum, Om. Baik, Om. Mau jam berapa berangkat?” “Sekarang juga Om jemput. Tunggu, ya?” Kuletakkan telepon dengan tangan gemetar. Sepertinya memang itu dia. Perasaanku tak menentu. Sudah 18 tahun hidup tanpa tahu bahwa aku bukan anak ayah. Sekarang aku akan bertemu dengan ayah yang sesungguhnya. Apa dia akan menyukaiku?  Lamunan itu terputus waktu terdengar bel rumah berbunyi. Dengan cepat kutengok ke depan. Benar ... itu dia. Om Fendy adalah ayah kandungku.  Jantungku berdetak kencang. Dengan gemetar kucoba membuka pintu. Kunciku terjatuh. Sesudah menenangkan diri, buru-buru kupungut kunci, lalu membuka pintu itu. Dia menunggu di balik pagar.  “Alicia?” “Om Fendy?” “Iya, Nak. Sudah siap? Kita pergi langsung?” Aku mengangguk sambil mengunci pintu depan, lalu membuka pintu pagar dan masuk ke mobilnya. Kupandangi wajahnya. Dia benar ayah kandungku. Kemiripan di antara kami terlalu banyak untuk diabaikan.  Om Fendy tampak tertegun melihatku. “Alicia ... apa ibumu sudah memberitahu kamu?” Aku mengangguk. “Iya, Om. Ibu menulis surat untukku. Aku baru menemukan dan selesai membacanya waktu Om menelepon.” Om Fendy tampak berkaca-kaca. “Boleh Om memeluk kamu, Nak? Om nggak tahu ibumu mengandung kamu. Kalau Om tahu, pasti Om akan menikahi ibumu.” Air mata segera mengalir ke pipiku. Kupeluk Om Fendy. “Ayah .... Nggak apa-apa. Aku dan ibu selama ini bahagia. Ayahku baik banget pada kami. Dia menganggapku sebagai anaknya sendiri.” Tak kudengar jawaban dari ayahku. Hanya kudengar tarikan napas dan sedikit suara tangisannya. “Maafin Ayah, Alicia. Mulai sekarang gimana kalau kamu tinggal dengan Ayah dan ibu tiri kamu? Elsa baik, dia selalu ingin punya anak perempuan. Aku sudah cerita semua tentang kamu dan ibumu pada istriku.” Kugigit bibir bawahku. “Apa istri Ayah nggak marah, Yah?”   Ayahku menggeleng. “Awalnya dia kaget, tapi begitu tahu kamu sebatang kara, dia malah yang mengusulkan supaya kamu tinggal dengan kami.  Sesudah berpikir-pikir, aku akhirnya menjawab, “Kalau sudah ketemu ibu tiriku, aku akan putuskan akan tinggal dengan Ayah atau enggak. Yah, bolehkah aku memanggil Papa aja? Supaya aku tidak bingung menyebut antara Ayah dengan papa.” Ayah kandungku tersenyum. “Tentu! Apa artinya panggilan, Nak? Bisa bertemu kamu, Papa sudah senang sekali. Ibu tiri kamu kesepian karena satu-satunya anak angkat kami sudah besar dan sekarang dia tinggal di luar negeri.” Aku tertegun. “Tinggal di luar negeri, Pa? Dia laki-laki atau perempuan?” “Kakak angkatmu laki-laki. Namanya Joseph. Kamu pasti akan senang kalau bertemu kakakmu. Dia anak yang baik. Elsa sudah menunggu kita di Bali Cafe. Dia sengaja memberi kita waktu untuk berkenalan duluan.” Aku tidak menjawab dan hanya mengangguk.

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Destiny And Love

read
1.5M
bc

Mrs. Fashionable vs Mr. Farmer

read
429.8K
bc

FORCED LOVE (INDONESIA)

read
601.2K
bc

BRAVE HEART (Indonesia)

read
91.5K
bc

DIA, SI PREMAN KAMPUSKU ( INDONESIA )

read
473.8K
bc

Dua Cincin CEO

read
232.2K
bc

LAUT DALAM 21+

read
295.2K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook