Episode 7

1996 Kata
              Sadar kalau aku belum menjawab pertanyaan Mama, aku buru-buru mengangguk. Kukecup pipi Mama. "Iya, Ma, pasti kalau ada yang Alice suka, bakal kenalin ke Papa dan Mama. Makasih ya, Ma. Alice sayang Mama."               "Iya, Sayang. Mama juga sayang kamu," angguk Mama sambil tersenyum manis.               Sepertinya masih banyak yang Mama harus kerjakan di taman, jadi aku kembali ke kamarku. Tadi Mama menyebut-nyebut soal kemungkinan Anthony menyukaiku. Sepertinya tidak mungkin, tapi memang agak aneh undangannya ini. Lagipula Mama mestinya lebih berpengalaman dan lebih tahu daripadaku. Apa mungkin benar kata Mama?               Tanggal 16 tinggal 2 hari lagi. Aku sedang asyik memilih-milih gaun yang akan kupakai di pesta ulang tahun Dessy waktu ada ketukan di pintu kamarku. Waktu kubuka ternyata Joseph yang mengetuk. "Eh, Joe, ada apa?"               Joseph masuk, kemudian langsung duduk di ranjangku. Dia memperhatikan ranjangku yang penuh dengan beberapa gaun yang kukeluarkan dari lemari. "Kok kayak kapal pecah gini kamar kamu, Alice? Kenapa ini baju-baju semua dikeluarin? Buat apa memang?"               "Adik temenku ulangtahun dua hari lagi. Aku diundang ke pestanya. Jadi sekarang aku cari-cari dulu baju yang aku mau pakai nanti."               "Ooooo." Joseph mulai melirik ke kanan dan kiri, menginspeksi bajuku satu-satu sepertinya.               "Ih, ngapain sih lihat-lihat baju-bajuku?" protesku sambil memutar bola mataku.               Joseph malah cuek. Dia mulai mengangkat bajuku satu per satu untuk lebih jelas melihat bajuku. "Hmmm..., ini jangan dipakai, jelek. Ini juga, yang itu juga." Satu demi satu bajuku diperiksanya dan dinilainya. Sampai tinggal tiga gaun yang tersisa di ranjangku. Sisanya ada di lantai semua.               "Aduhhhhh! Kamu ini, Joe, ngapain ini gaun-gaunku dibuang semua ke lantai. Nanti kalau kusut atau kotor, kan aku berabe lagi. Mana tinggal 2 hari lagi acaranya," omelku sambil cemberut. Buru-buru kuangkat gaun-gaunku yang terserak di lantai. "Ini kan bagus," bantahku tidak terima sambil menunjukkan gaun warna merah dengan panjang setengah paha dan tali-tali di bahu.               Joseph malah menatapku dingin. "Gue bilang jelek! Jangan berani-berani pake baju kaya gitu."               Aku mengerutkan dahiku, tetap tidak terima dengan perkataan Joseph. Dilihat dari potongannya, gaun ini tidak terlalu terbuka, masih banyak teman-temanku yang suka memakai gaun yang jauh lebih terbuka dibandingkan gaun ini. "Ini bagus! Jelek dari mana?" bantahku sambil berkacak pinggang, menantang Joseph untuk menjelaskan lebih jauh.               Joseph tidak menjawab, langsung mengambil gaun yang kupegang dan melemparnya ke lantai lagi. "Pokoknya gue bilang enggak boleh pakai. Kalau mau pakai baju, jangan yang terbuka-terbuka gitu. Nggak sopan, Alice."               "Ckckck, ini ke pesta, bukan ke kuburan, Joe. Lagipula yang pakai lebih seksi dari ini banyak kok."               "Sudah berani ngelawan ya, sekarang? Apa susahnya sih tinggal pilih 3 baju yang di atas ranjang aja?" Tatapan Joseph seperti ingin menembus kepalaku. Mungkin kalau sorot mata bisa membunuh, aku sudah mati dari tadi.               Dengan ogah-ogahan, akhirnya kulihat 3 gaun yang tersisa di ranjang. Tidak jelek, tapi aku suka sekali dengan gaun merah tadi. Baru aku mau buka mulut lagi untuk menyanggah omongan Joseph, dia sudah keluar dengan membawa gaun merahku.               Eh, mau dibawa ke mana gaunku, Joe. Sini balikkin!"               "Mau gue simpen di lemari, biar kamu nggak curi-curi pergi dengan pakai baju ini."               Dengan sigap, kukejar Joseph dan kurebut gaunku. Kupeluk erat-erat gaun merahku, tidak mau diambil lagi olehnya. Di luar dugaanku, Joseph tidak mengambilnya. Secepatnya aku berlari ke kamarku, menyelamatkan gaunku dari rampasan Joseph. Kupikir masalahnya sudah selesai. Ternyata belum!               Joseph kembali lagi ke kamarku, menatapku dengan pandangan paling dingin yang dia punyai. "Kalau sampai kamu berani pakai baju itu, lihat sendiri akibatnya. Jangan berani-berani ngelawan gue, Alice!"               Tanganku bergetar, jantungku berdegup kencang. Aku tidak berani balas menatapnya. Akhirnya sesudah menarik napas beberapa kali, kulepaskan gaun merahku ke kursi. "Aku nggak bakal pakai gaun ini. Puas!" teriakku dengan nada tinggi, walau tanganku lunglai.               Sebenarnya kalau Joseph memintaku dengan baik-baik, mungkin aku juga tidak akan memaksa untuk memakai gaun merah itu. Toh dari tiga gaun yang lolos pemeriksaan Joseph, aku sudah punya pilihan tersendiri mengenai gaun yang akan kupakai. Sayangnya karena Joseph memaksaku untuk mematuhinya, jiwa pemberontakku kumat.               Kuambil gaun-gaun lain yang bertebaran di lantai, kuraup dan kusatukan dengan gaun merahku yang tersampir di kursi. Kumasukkan ke lemari lagi. Kutarik napasku dalam-dalam, mencoba menenangkan hati yang kesal bukan main.               Tiba-tiba Joseph mendekatiku. Masih kesal padanya, kubentak dia. "Mau apa lagi?"               Joseph malah tertawa terbahak-bahak. Dicubitnya pipi kananku, lalu dipeluknya aku.               "Lepas! Ngapain peluk-peluk aku?" Kudorong d**a Joseph, tapi tidak sesenti pun beranjak. Seolah-olah aku mendorong gunung batu saja.               Joseph memelukku erat-erat sambil mengelus-elus rambutku. "Bisa marah juga kamu ternyata. Ternyata kucing kecilku bisa berubah jadi macan." Dia tertawa lagi, sangat riang. Membuatku menengadahkan kepala, tertarik melihatnya.               Matanya mengecil karena tawanya. Waktu Joseph merasa aku mendongakkan kepala, dia mengecup puncak hidungku. "Kalau kamu mau pakai baju yang tadi, boleh aja. Tapi nanti, waktu keluar sama gue."               "Kenapa? Kenapa kalau sama kamu boleh pakai?"               "Kamu nggak ngerti kalau cowok itu gimana, Alice. Gue cuma mau ngejagain kamu, seperti janji gue ke Papa." Lagi-lagi dielus-elusnya rambutku.               Aneh, begitu dipeluk dan dielus-elusnya rambutku, amarahku langsung surut. Aku cuma mengangguk-angguk kecil. Walau dalam hati, aku masih saja protes. Cowok? Kamu bukannya cowok juga, Joe?               Joseph terbahak-bahak tiba-tiba. Kuangkat lagi kepalaku. "Apa yang lucu?"               "Muka kamu tuh, terlalu ekspresif. Gue bisa baca yang kamu pikirin. For your information, gue bukan cowok, tapi laki-laki. Bedanya jauh. Cuma gue nggak akan pernah biarin siapapun nyakitin kamu."               Aku tidak menjawab. Hanya hatiku berdesir mendengar ucapannya yang lembut barusan. Pada saat itu juga, pikiranku kembali berperang. Termasuk kamu juga?               Kali ini tidak ada lagi pembicaraan. Joseph memelukku beberapa saat lamanya. Kami menikmati berdekatan seperti itu dalam diam yang nyaman.               Hari ulang tahun Dessy tiba juga. Aku bersiap dari sore. Mama juga ikut sibuk di kamarku. Malah sepertinya Mama yang lebih antusias ketimbang aku. Begitu aku tunjukkan gaun yang akan kupakai, Mama mengangguk-angguk. "Bagus gaunnya, Sayang. Apa perlu bantuan Mama untuk make up?"               "Wah, boleh banget, Ma. Aku nggak gitu bisa make up soalnya."               "Coba Mama lihat dulu peralatan make up kamu, Alice. Kalau ada yang kurang, nanti Mama ambil punya Mama." Beberapa saat Mama melihat-lihat peralatan make up-ku, lalu berkomentar lagi, "Kurang eye liner, pelentik bulu mata, dan maskara. Sebentar ya, Mama ambil dulu punya Mama. Kamu sudah mandi kan, Sayang?"               "Iya, sudah kok tadi, Ma."               Mama keluar dari kamarku. Beberapa menit kemudian Mama kembali dengan membawa tasnya.               "Wah, Mama banyak banget peralatannya!" seruku.               Dengan cekatan Mama langsung merias wajahku. Sengaja Mama tidak membolehkanku untuk melihat cermin dulu. Mama juga asyik menata rambutku. Padahal aku tidak memintanya. Sesudah 45 menit, baru Mama mendorong bahuku lembut ke arah cermin besar di kamarku.               Di cermin itu kulihat bayangan seorang gadis muda dengan rambut agak ikal. Dia menatapku balik dengan mata yang berbinar-binar. Terpana, tak sangka sama sekali kalau itu aku.               "Gimana? Suka dengan riasan Mama?"               "Maaaaa, ini keren banget! Apalagi rambutnya juga Mama tata sekalian. Makasih banyak ya, Ma!"               Mama menatapku dengan bibir tersungging lebar. Seperti seorang ibu yang bangga melihat anaknya, membuat mataku mulai berkaca-kaca. Tiba-tiba saja aku teringat Ibu lagi. Aku yakin, Ibu pasti bahagia melihatku sekarang ini.               "Eh, Alice kok malah mau nangis. Kenapa?"               Buru-buru kumenengadahkan kepala ke atas supaya air mataku tidak tumpah. Kupaksakan seulas senyum kecil ke arah Mama. "Aku teringat Ibu, Ma. Ibu pasti bahagia lihat aku sekarang. Makasih banyak, Ma, sudah terima aku sebagai anak Mama."               Mama ikut berkaca-kaca juga mendengar perkataanku. Dipeluknya aku perlahan, lalu dibisikkannya di telingaku, "Nggak usah bilang makasih, Alice. Kamu anak Mama, selamanya anak Mama."               Air mata yang tadi sudah mengering, mulai muncul lagi dan mengancam turun. Jadi kupaksakan diriku keluar dari situasi yang mengharu-biru itu. "Iya, Mama memang luar biasa. Selamanya Mama adalah mamaku." Mama tertawa sambil terisak pelan. Bendungan itu jebol, beberapa butir air matanya lolos juga. Perlahan mengalir membasahi pipi Mama yang mulus.               Kuusap air mata yang sudah menjadi sungai kecil di pipinya. "Jangan nangis, Ma. Kan tadi Mama bilang ke aku supaya jangan nangis. Kenapa sekarang malah Mama yang nangis."               Mama mencubit pipiku gemas. Dibelainya rambutku perlahan. "Iya, iya. Mama terharu. Dari dulu Mama selalu pingin punya anak perempuan, tapi nggak pernah dapat. Waktu Mama lihat kamu pertama kali di Bali Cafe, Mama tahu dengan pasti. Kalau Mama punya anak perempuan, Mama mau yang seperti kamu."               Akhirnya air mataku yang sekarang giliran tumpah tak tertahankan lagi. "Huaaa, Mama nih. Aku jadi nggak tahan pingin nangis."               Kami berdua tertawa lebar diiringi isakan tangis. Sesudah puas, Mama buru-buru menyuruhku mencuci wajahku dan kembali merias wajahku. Kali ini Mama menyuruhku langsung memakai gaunku sebelum aku sempat melirik penampilanku. Supaya jadi kejutan katanya.               Baru saja aku selesai keluar dari kamar mandi, aku malah hampir bertabrakan dengan Joseph. Pandangan kami beradu dan kulihat dia tertegun. Akhirnya dia berdeham. "Lumayan. Hari ini pestanya?"               Aku mengangguk. Baru dua tiga langkah, tanganku ditarik Joseph. "Biar aku yang antar kamu."               "Uhm..., Anthony, temenku yang bakal jemput aku. Sudah janjian, Joe, dari dua minggu lalu."               Joseph menatapku lekat-lekat. Ada sesuatu yang lain dalam sorot matanya. Tatapannya yang biasa hangat, dingin, atau terkesan iseng, berubah menjadi sesuatu yang berbeda. Misterius. Sekejap pandangannya kembali biasa, tapi nada suaranya tetap seperti tadi. Tajam, tak mau dibantah. "Telepon dia sekarang, mumpung masih dua jam lagi. Bilang kalau kamu bakal diantar aku."               "Ta-tapi....."               Belum selesai aku bicara, Joseph sudah membalikkan badannya dan masuk ke kamarnya. Termangu-mangu aku hanya bisa menatap punggungnya dari tempatku berdiri. Kuembuskan napas panjang. Selalu begitu. Kalau dia sudah buat keputusan, tidak ada satu pun argumenku yang bisa membuatnya berubah pikiran. Benar-benar khas Joseph.               Dengan enggan aku berbalik ke kamarku. Mama sudah menunggu dari tadi. "Kok lama, Sayang. Eh, ada apa?" Sepertinya Mama melihat perubahan raut wajahku.               "Joe, Ma. Dia ngotot kalau aku harus pergi diantar dia. Padahal aku sudah janji sama Anthony dari 2 minggu lalu."               "Oh, ya?" Mama menatapku berlama-lama sambil mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagunya. "Barangkali Joe pingin pastikan kalau kamu sampai di sana baik-baik aja, Alice. Sudah, kamu kabarin Anthony aja sekarang."               Tidak ada pilihan lain, aku segera menelepon Anthony dan mengabarinya kalau aku tidak jadi minta dijemput. Anthony tidak menyahut beberapa saat walaupun aku sudah meminta maaf beberapa kali. Akhirnya dia memaafkanku juga.               Benar-benar situasi yang tidak mengenakkan buatku. Padahal Anthony sudah berniat baik mau menjemputku. Nada suaranya waktu memaafkanku terdengar agak kecewa. Setidaknya yang tertangkap di telingaku begitu. Apa benar kata Mama? Lagi-lagi kuembuskan napas panjang.               Sejam kemudian aku sudah siap. Aku tampak cantik dengan gaun hitamku yang sepanjang lutut. Rambutku yang sebahu tampak mengembang manis. Yah, walaupun bagi Joseph aku hanya terlihat 'lumayan'. Terselip sedikit rasa kecewa mendengar komentarnya itu. Aku berharap..., ah, sudahlah!               Ketukan di pintu kamarku menyentakanku dari lamunan. Joseph menjulang di ambang pintu kamarku. "Siap?"               Aku tidak siap untuk melihat kakak angkatku tampil begitu mengesankan. Dia memakai jas hitam dengan kemeja putih. Sepatu hitam mengilatnya melengkapi penampilan elegan nan formalnya dengan sempurna.               "Wow!" Komentar spontanku melompat tanpa dapat kutahan.               Joseph segera menyodorkan lengannya, tanpa kata menyuruhku untuk meraihnya. Dengan menggamit lengannya, kami berjalan beriringan.               Di ruang tamu, Mama sudah menunggu kami. Begitu melihat kami, Mama bertepuk tangan keras-keras. "Tunggu! Jangan pergi dulu! Mama mau foto kalian."               Sembari menunggu Mama, Joseph memperhatikan penampilanku lagi dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perlahan bibirnya melengkung kecil ke arah atas. Belum sempat aku bertanya, Mama sudah kembali.               "Ayo pose yang bagus," perintah Mama.               Lengan kiri Joseph segera meraih pinggangku. Spontan tanganku terulur memegang tangannya yang di pinggangku. Terasa hangat di pinggangku sentuhannya.               "Siap? Senyum!" perintah Mama.               Kilau blitz mengabadikan pose kami. Baru aku mau membuka pintu, gerakan tanganku terhenti oleh ucapan Mama.               "Sekali lagi. Ganti pose!"               Joseph merangkul bahuku. Membuatku terpaksa menyenderkan kepalaku ke bahunya. Kali ini tidak ada aba-aba, lampu blitz menyala.               Mama tersenyum puas. "Joe, pulang jangan malam-malam, ya?"               "Iya, Ma. Mama tenang aja. Ada Joe yang jaga Alice."               "Aku pergi dulu, Ma," ujarku.               Mama mengecup pipiku. "Selamat bersenang-senang, Sayang!"               Lagi-lagi Joseph merangkul pinggangku tanpa canggung. Aku bingung juga melihat sikapnya. Lebih heran lagi, Mama juga tidak berkomentar mengenai tingkah Joseph.               Joseph membukakan pintu mobil untukku. Begitu aku masuk, ditutupnya pintu lalu bergegas masuk. Baru aku menarik sabuk pengaman, tangan Joseph menyentuh tanganku yang sedang memegang sabuk pengaman.               Aku menatapnya dengan heran. Dia menatapku empat lima detik, masih sambil menggenggam tanganku, dengan perlahan didekatinya wajahku lalu dikecupnya keningku. Perlahan dia kemudian berbisik di telingaku. "Cantik!"               Tanpa sadar pegangan tanganku melonggar pada sabuk tangan, yang segera diambil alih oleh Joseph. Dipasangkannya sabuk pengamanku, sambil menatapku lagi beberapa detik dengan pandangan misterius. Baru kemudian, Joseph mulai berkonsentrasi menyetir.               Sepanjang jalan aku tak sanggup berkata-kata. Terlalu tenggelam dalam pikiranku sendiri. Joseph juga tidak mengajakku bercakap-cakap. Jadi dalam diam, kami menempuh perjalanan itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN