10

1423 Kata
"Gugurkan janin itu, Gyorintt," ucap Drew penuh dengan penekanan. Aku bergidik ngeri, namun refleks, dengan keras aku menampar pipi sebelah kirinya. Plakkk Dia memegangi satu pipinya yang merah akibat tamparan keras dariku. Matanya membara, dipenuhi oleh amarah. Ya, ini konsekuensinya bila aku ingin mempertahankan bayiku. Hal yang sudah sangat lama aku impikan. "Dengar Mr. Smart yang sangat pintar. Aku tidak akan menggugurkan anak yang tidak berdosa seperti dia. Tak apa jika kau tidak mau mengakuinya, aku akan merawatnya sendiri. Karena aku tahu bagaimana rasanya menjadi anak yang tidak diinginkan," kataku membalas tajam padanya. Dia terdiam sejenak, namun kemudian menatap datar ke arahku. "Jika kau tak melakukannya, bagaimana kalau aku yang membantu?" Aku bersumpah aku melihat senyum licik yang timbul di wajah Drew. Apa yang terjadi padanya? "Sebelum kau melakukannya, aku yang akan meninggalkanmu terlebih dahulu, Drew," ucapku berusaha mengeluarkan nada dingin. Flashback on Aku menatap nanar pada benda pipih berwarna putih tersebut. Disana bertuliskan tanda positif berwarna biru. Sial! Aku tak ingin semua ini terjadi! Entah apa yang akan dilakukan Drew jika tahu aku sedang mengandung anaknya. Anaknya. Percakapan kami tadi siang mengingatkanku jika Drew sama sekali tak ingin memiliki anak dalam waktu dekat. Padahal kami hanya berhubungan badan satu kali. Walaupun hal itu juga yang menjadi neraka bagiku sendiri. Aku melangkah keluar dari kamar dengan mengendap-endap. Berharap Drew belum berada di kamar. Namun sepertinya kesialan sedang berpihak padaku karena sekarang Drew disana, duduk diatas ranjang kami. Namun saat melihatku dia berdiri menghampiri. "Are you okay?" Tanyanya dengan suara serak. Acara kencan kami tadi siang sebetulnya setengah gagal karena tiba-tiba aku merasa sekujur tubuhku tidak enak. Drew yang mendengar hal itu memutuskan untuk tidak keluar dari kamar yang kami sewa untuk beristirahat. Aku menjawab Drew dengan gumaman mengiyakan. Tiba-tiba Drew memelukku dari belakang dan membenamkan wajahnya pada kulit leherku. Ada gelenyar aneh yang timbul karena gesekan antar kulit kami. Namun aku berusaha tak mengindahkan hal tersebut. "Kau tahu, beberapa hari yang lalu aku bermimpi bermain dengan seorang gadis kecil yang wajahnya mirip denganmu. Sangat mirip. Aku mengira dia adalah dirimu, tapi ternyata aku salah karena kau juga ikut muncul didalam mimpiku dalam versi wanita dewasa." Aku tercekat. Benarkah? Apakah ini pertanda bahwa Tuhan memberi tahu pada Drew perlahan? Aku masih diam karena rasa kaget yang tiba-tiba muncul. Drew masih berada dalam lekuk leherku sesekali memberikan sengatan-sengatan kecil yang menggairahkan. Tidak, Drew tidak boleh menyadarinya. "Lalu menurutmu siapa anak itu?" tanyaku serupa dengan bisikan. "Anak kita," katanya santai. Dia membalikkan tubuhku agar menghadap ke arahnya dan berkata, "anak kita untuk 5 tahun ke depan, Gior. Belum sekarang." "Bagaimana jika aku mengatakan kalau aku sedang hamil?" "Apa? Jangan bercanda! Itu benar-benar tidak lucu!" desisnya yang membuat aku langsung menciut. Aku menunduk, "Tapi aku tidak bercanda, Drew ... " "Aku hamil, anak kita." Flashback off "Bagaimana bisa?" Dia mengacak rambutnya frustasi. Sesaat kemudian mengguncang tubuhku keras. Sangat keras sampai sekilas aku bisa merasakan pusing di kepalaku. "Kenyataannya kau melakukannya, Drew. Dengan paksa!" teriakku kencang. Dia mendesah. "Gugurkan, G. Karena aku tidak akan pernah mengakui kehadiran anak itu, sekarang ataupun nanti." "Kalau begitu, jangan pedulikan. Dia anakku. Dan kau tak boleh menyentuhnya sama sekali. Satu lagi, Drew, aku akan memegang perkataanmu untuk tidak mengakui anak ini," kataku sinis. Drew melepaskannya dari tanganku dan berbalik. Namun tak lama dia berhenti dan mengatakan hal yang membuatku tercengang. "Kalau begitu lindungilah anakmu, aku tidak peduli!" ∞∞∞ Satu minggu sudah semenjak malam itu. Kami juga sudah kembali ke rumah orang tua Drew. Drew bersikap seperti biasanya padaku ... namun jauh dari harapan jika dia akan memperhatikan anak kami. Bukan, anakku. Mengingat dia tak mengakui calon anak kami membuatku merasa pilu dan meradang. Kenapa dia harus takut jika aku melahirkan? Bukankah setiap wanita memiliki masalah berbeda saat melahirkan? Bahkan di antara mereka tak memiliki masalah. Belum tentu apa yang dialami Laura akan aku alami juga. "Kau akan terus mengaduk makananmu?" tanya Drew saat kami sedang berada di meja makan. Aku mengangkat bahu acuh. "Perutku bergolak saat ada makanan yang masuk." Dia tertawa sinis dan berkata, "Sudah aku bilang, G. Anak itu hanya akan menyusahkan kita untuk saat ini. Saat di mana Smart sedang dalam masalah, yang artinya aku tak bisa mengurusmu untuk 24 jam karena pekerjaan yang menumpuk." "Lalu?" Aku bertanya dengan nada paling menjengkelkan. Biarkan saja, emosiku memang naik turun beberapa hari ini. "Dia akan menyusahkanmu, G. Menyusahkanmu sama artinya dengan menyusahkan aku. Apa kau pikir aku tidak peduli padamu? Aku hanya tidak peduli pada janin sialan itu!" Janin sialan. "Well, menurutku ayahnya lebih sialan. Bahkan bisa dikatakan lebih b******k. Dan semoga ayahnya yang b******k itu akan mendapat pengampunan dari Tuhan." Aku bangkit berdiri membawa piringku dan piring miliknya yang hampir kosong. Tak peduli dia sudah selesai makan atau belum. Tanpa diduga, Drew melemparkan gelas miliknya tepat pada tembok yang berada beberapa senti dari kepalaku. Saat hal mendengar bunyi pecahan kaca, aku tersentak kaget dan ikut menjatuhkan tumpukan piring yang ada di tangan. Piring-piring tersebut berjatuhan hingga beberapa serpihannya menancap tepat di kaki. Aku meringis saat melihat darah segar perlahan mengalir dari sana. "Kenapa?! Kenapa kau selalu seperti ini, Andrew Smart? Tidakkah kau diajarkan oleh ibumu bagaimana caranya menekan emosi pada seorang perempuan? Apa salahku sebenarnya sampai kau selalu marah dan bersikap kasar padaku?! APA?!" Aku berteriak kencang kearahnya, tak peduli lagi bagaimana rasa sakit yang berasal dari pecahan kaca tersebut. Biarlah hari ini saja. Hari ini saja aku akan berteriak. Ini untuk yang terakhir kali. Untuk anakku. Drew berdiri hendak mendekapku yang semakin histeris. Bahkan aku tak menyadari jika tingkah laku yang sekarang aku lakukan sangat persis seperti orang gila. Berteriak. Marah. Dan melempar apapun yang ada di depanku. "Lepaskan aku b******k!!!" teriakku kembali sambil meronta. Namun sialnya dekapan pria itu lebih kuat. "Tenanglah! Tenanglah, G. Okay? Jangan seperti ini, jangan membuatku panik okay?" ujar Drew berusaha menenangkan. Aku berdecih dan kembali meronta. "Tenang kau bilang?! Sudah lebih dari satu bulan kau merenggut semua kebebasanku! Tak ada ponsel, teman, bahkan pekerjaan. Siapa dirimu sebenarnya, Drew?! Kenapa kau merebut semua yang aku miliki! Aku kesepian Drew ... aku kesepian ... " "Aku merindukan saat di mana aku bisa berbagi masakan denganmu, atau sekedar mengganggumu saat sedang bekerja. Tapi semenjak kau membawaku kesini, semuanya tak lebih dari penjara! Tidak tahukah kau, Drew? Aku hanya ingin kau menyempatkan sedikit waktumu untuk memanjakanku seperti Rush memanjakan Laura. Atau bahkan Sam yang memanjakan aku seperti dulu. Semua yang kau berikan tak lebih dari sekedar amarah dan rasa sakit." Drew mendekapku semakin erat. Rasanya terlalu lelah untukku kembali meronta. Kali ini aku pasrah kepada keadaan yang seolah-olah mempermainkanku. "Lakukan, Drew! Lakukan apapun yang kau mau. Aku memang bonekamu. Kau ingin membunuh anak ini 'kan? Maka lakukan!" Drew masih mendekapku dalam diam namun aku merasakan dekepannya melonggar. Kesempatan itu juga yang membuatku bisa menyentak tangannya hingga terlepas. Aku mengambil sebuah serpihan piring yang berasal dari lantai dan menempatkannya tepat di depan perutku. Dia menatapku tak percaya. Aku tersenyum sinis dan menegakkan kepalaku. "Kau ingin aku melakukannya? Baik." Drew maju beberapa langkah saat aku mulai mengeratkan genggaman tanganku pada serpihan tersebut. Sambil mundur mengantisipasi gerakan tiba-tiba Drew. Aku menatap nyalang kepada sesosok pria menyedihkan yang ada di depanku. Siapa lagi kalau bukan seorang Andrew Smart. "Jangan! Jangan coba-coba lakukan itu, G. Kau sedang emosi. Tenangkan dirimu, kita akan rawat bayi itu sama-sama tapi jangan lakukan itu." Dia kembali maju dan aku pun melakukan hal yang sebaliknya. Aku tak peduli seberapa memohonnya dia padaku. Tekadku kali ini sudah benar-benar bulat. "Kau ingin dia mati? Maka aku akan ikut bersamanya, Drew. Hidupku akan lebih bahagia daripada menjadi seorang tahanan." "Kau tidak akan berani." Drew tiba-tiba maju tanpa diminta. Berusaha merebut serpihan piring tersebut. Namun gagal karena serpihan itu telah menancap terlebih dahulu. Tetapi bukan pada perutku, melainkan sebuah tangan kecil yang menghalangi perutku. "Jangan bunuh adik bayinya ... Aunty." Bisik anak itu yang untuk pertama kalinya memanggilku dengan sebutan Aunty. "AIDEN!" aku menoleh dan melihat ada beberapa pelayan rumah dan kedua orang tua Drew menatapku kaget. Pastilah mereka keluar mendengarkan suara ribut-ribut yang kami timbulkan mengingat ini sudah hampir pukul sepuluh malam Mereka berteriak saat melihat darah segar keluar dari telapak tangan kecil itu. Aiden mendekapku dari belakang. Aku benar-benar tak tahu sejak kapan anak itu berada disana. Namun dilihat dari reaksi Drew. Aku tahu jika Aiden muncul secara tiba-tiba karena pria itu pun sama kagetnya denganku. Dia berlari dan mengambil Aiden yang masih setia mendekap perutku. Bahkan dia tidak menangis. Saat itu pula aku mendapatkan kesadaranku secara total. Apa yang sudah aku lakukan? Ya Tuhan... aku benar-benar tidak sengaja. Drew menggendong Aiden. Sebelum berjalan, dia menoleh ke arahku sebentar dan memberikan tatapan yang paling aku benci. Tatapan kekecewaan itu. Pria itu berjalan menjauh. Seiring hal itu, pandanganku mulai buram. Bayangan-bayangan masa lalu tiba-tiba keluar begitu saja. Hanya suara teriakan yang aku dengar sebelum kegelapan itu benar-benar datang. ∞∞∞ "Kau bukan lagi anakku, G." Pria itu. Pria yang membuat aku bisa hadir didunia ini. Pria yang selalu aku buat kecewa karena ulahku. Tatapan terlukannya menyiratkan kekecewaan yang sangat dalam. Bawa aku bersamamu, Daddy. Aku ingin tenang. ∞∞∞
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN