Gior POV
Dadaku bergerak naik turun seiring deru nafas berat yang aku keluarkan. Tubuhku terasa panas dingin dengan keringat yang terus turun dari arah pelipis.
Beberapa kali Laura mengomeliku karena merusak riasan yang telah dibuat dengan apik. Namun, aku bisa apa?
Hari ini adalah hari penantianku dan Drew. Hari di mana kami akan terikat janji suci pernikahan yang terus berlangsung selamanya. Ya, itu harapanku.
Tarik nafas, hembuskan...
Ayolah Gior, kau bahkan pernah melakukannya di dalam scene film pertamamu.
Ini bukanlah hal yang sulit, kau tinggal berjalan menuju altar saja. Aku merapalkan doa itu berulang-ulang mencoba mencari sebuah ketenangan dalam diri.
Laura muncul membawakan sebuah rangkaian bunga mawar putih yang sangat cantik. Meskipun tampak sangat sederhana jika dilihat dari bunganya, pernikahan ini tetap saja terlihat megah. Para penata yang berasal dari wedding organizer yang Drew sewa melakukan semua sesuai keinginanku dan Drew.
Drew. Ah pria itu mungkin saat ini sedang menungguku di altar. Seharusnya aku sudah keluar saat ini jika kami menuruti jadwal yang telah dibuat. Namun entah apa yang terjadi sehingga orang-orang ini membuatku terjebak di dalam ruangan ini lebih lama.
Hell, ini makin membuatku gugup.
"Ahh!" aku merintih saat merasakan tendangan dan pukulan kecil di dalam perutku. Ya, aku tahu jika bayi kami pun merasakan ketegangan dan kesenangan orang tuanya.
Usia kandunganku yang menginjak bulan keenam sejujurnya membuatku sedikit mudah lelah. Terlebih lagi porsi makanku yang selalu bertambah setiap harinya. Dan hal itu pula yang membuatku harus memesan gaun dengan tiga ukuran di atas ukuranku saat masih menjadi model.
Aku tak bisa membayangkan akan seperti apa aku saat berdiri berdampingan dengan Drew nanti.
"Kau okay?" tanya Laura khawatir. Aku tersenyum kepadanya sebagai permulaan jawaban terbaik.
"Apa itu okay yang kau maksud?" Aku bertanya dengan cicitan yang nyaris tak terdengar. Sialnya wanita didepanku malah tertawa keras.
"Kau tidak okay ternyata," ujarnya di sela-sela tawa.
Aku mendengus. "Padahal aku ingat sekali saat kau menikah pun kau juga gugup, Laura."
Belum sempat Laura menjawab, seorang utusan dari wedding organizer menyela. Orang itu berkata jika sebentar lagi acara akan dimulai. Kontan saja jantungku kembali berdegub dengan kencang.
Sialan sekali. Umpatku dalam hati.
∞∞∞
Semua orang melihatku dengan tatapan yang tidak aku mengerti. Tatapan mereka seperti ingin melenyapkan aku dari muka bumi. Aku berdiri kikuk sambil menggenggam erat bouquet bunga mawar putih tadi.
Dari sudut mataku, aku melihat Drew berdiri dengan tuxedo pernikahan di atas altar. Dia tampak rapi, dengan rambut yang disisir ke belakang. Kacamatanya pun tampak berbeda, aku tahu dia baru saja menggantinya. Kemarin, b****g besarku tanpa sengaja menduduki benda tak bersalah itu.
Siapa suruh meletakkan kacamata di atas kasur? Itu yang aku katakan ketika Drew misuh-misuh kesal karena kacamatanya yang sudah tak berbentuk.
Seseorang di belakangku memberikan aba-aba untuk segera berjalan. Sejujurnya momen ini adalah bagian yang paling ingin membuatku menangis. Aku menikah tanpa Dad karena dia masih harus menjalani terapi. Padahal Drew sudah mengunjunginya berkali-kali dan memohon kepada perawat agar diperbolehkan hadir.
Sedangkan Mom, aku sudah melihatnya tadi. Dia datang bersama Carry dan Dokter Gerald. Dua hari yang lalu, aku baru mengetahui alasan kenapa Dad meninggalkan Mom malam itu. Malam itu, ternyata Mom dipergoki sedang berselingkuh dengan Uncle Peter. Kecewa? Tentu saja! Tetapi itu biarlah jadi masalah mereka. Berpisah mungkin memang jalan terbaik.
Aku mulai melangkah dengan hati-hati menuju ke altar. Drew sejak semalam terus mengingatkan agar aku berhati-hati saat berjalan. Dan dia hanya mengizinkanku memakai heels setinggi lima sentimeter untuk mengurangi kemungkinan buruk yang akan terjadi. Aku ingin marah pada saat itu, namun sekali lagi, aku ingat pada bayi kami. Memakai sepatu bertumit tinggi memang tidak dianjurkan.
Dengan lambat, langkahku menyusuri karpet merah dengan kelopak mawar putih. Aku terus membatin untuk berjalan lebih lambat daripada saat ini. Aku tak ingin mengingat pernikahanku yang buruk karena keseleo di atas karpet.
Drew tersenyum menyakinkan. Aku balas tersenyum meskipun dengan sedikit canggung. Seorang mempelai perempuan berjalan sendiri menuju altar dan tidak diantar oleh siapapun. Ini seperti mimpi Bella Swan saat pernikahannya dengan Edward Cullen. Di mana semua orang yang datang akan mati dan altar berubah menjadi lautan darah.
Baiklah... itu tidak mungkin karena sudah dipastikan antara Drew dan aku, kami berdua adalah manusia.
Tiba-tiba, saja seseorang meraih lenganku dan meletakkan pada sikunya yang kokoh. Aku mendongak hanya untuk memastikan jika bukan makhluk halus yang saat ini sedang menggandengku erat.
"Dad ... " lirihku dengan nada tak percaya. Pria itu kini menunduk dan tersenyum lembut padaku.
"Jangan menangis sebelum janji pernikahan. Karena tangisanmu pada hari ini hanya untuk rasa haru pada ikatan yang baru," ujar Dad saat mataku sudah mulai berkaca-kaca.
Ini adalah kejutan yang paling tidak pernah aku sangka. Drew pasti sudah membohongiku.
Dad mengangguk meyakinkan, aku tersenyum dan ikut mengangguk. Akhirnya kami berjalan kembali menuju Drew yang sudah menungguku dengan sabar.
Langkah kami terhenti pada undakan tangga altar. Dad menatapku lama lalu mengecup keningku. Dia menghembuskan nafasnya berat. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya saat ini.
Akhirnya, tautan tangan kami terlepas, lalu Dad menyerahkanku pada Drew. Dad menatapku sekali lagi sebelum ikut duduk di bangku untuk tamu undangan.
Aku melirik Drew, pria itu kini sedang menatapku lekat. Pria itu akhirnya menggiringku untuk naik ke atas altar.
"Kau sangat cantik, G," ucapnya di sela-sela langkah kami.
Aku bersemu dan berkata, "Kalau begitu kacamata yang bagus, Smart."
Dan kami berdua terkekeh.
∞∞∞
"Aku tidak mengerti. Sebenarnya apa fungsi berdansa saat pesta pernikahan? Ini benar-benar membuang waktu. Bukankah lebih baik aku langsung membawaku ke atas ranjang?" rutuknya kesal yang aku balas dengan injakan kaki.
"Gyorintt!! Apa yang kau lakukan pada suamimu ini?" Aku tertawa. Entah kenapa sejak tadi aku selalu ingin membuat Drew marah-marah hingga menggerutu tak jelas.
Ya, jika kalian tidak lupa, aku dan Drew tidak akan melakukan s*x hingga menikah. Bisa dibayangkan bagaimana frustasinya suamiku saat ini karena belum juga diperbolehkan pergi dari pesta.
"Bersabarlah sayang ... mungkin semua itu baru akan terwujud saat anak kita lahir," ujarku dengan nada menggoda.
Drew mendelik, dengan cara yang sama saat kami pertama kali bertemu. Sepertinya aku harus mengucapkan beribu terima kasih pada Laura karena telah meminjamkan apartemennya saat itu. Dan juga kandasnya hubunganku dengan Sam yang akhirnya membawaku pada pernikahan ini.
Dan Sam, pria itu juga hadir dalam acara pernikahan kami. Aku tak tahu apa maksudnya, yang jelas dia datang membawa seorang gadis yang aku kenal sebagai model Elisa.
"Baiklah tak apa jika harus menunggu hingga anak kita lahir. Itu sudah cukup membuktikan bahwa kau milikku," kata Drew sombong.
"Ya, aku milikmu. Dan akan selalu begitu," balasku tak kalah sombong.
Drew dengan gemas menarikku ke arahnya. Bibir kami bersentuhan dengan keras hingga tak memperdulikan jika saat ini perhatian semua orang tertuju pada kami. Sorak-sorak terdengar, dan suara Laura yang paling mendominasi.
Dan bahkan suara Aiden masih bisa kudengar. "Berhenti memakan Uncle Drew, Aunty!"
Drew bahkan tertawa saat mendengar nada protes dari keponakannya itu.
Suara berat berdeham, mengalihkan perhatianku dan Drew hingga menghentikan ciuman panas kami.
Dad berdiri disana memandangku dan Drew sambil bergidik. "Bolehkah aku meminta sedikit waktu dengan Gior kecilku sebelum kembali ke rumah sakit?"
Drew mengangguk, namun sebelum pergi dia menatapku dan membisikkan kata cinta.
Romantis sekali!
"Kalian tampak ... sangat bahagia," ujar Dad sambil tersenyum.
Aku mengangguk dan balas tersenyum lirih.
Kami diam beberapa saat sampai aku angkat bicara, "Maafkan aku, Dad. Aku terlalu egois untuk mengalah padamu. Aku masih ingin menjadi anakmu. Saat kau mengatakan aku bukan lagi anakmu ... itu adalah luka terbesar." Mataku terasa panas. Rasanya air mata akan jatuh kalau saja Dad tidak merespon dengan cepat.
"Aku minta maaf untuk yang waktu itu, G. Aku sudah menarik ucapanku kembali. Hanya saja saat itu sulit menerima fakta bahwa putriku menjadi seorang model pakaian dalam. Dan ... aku bangga memiliki putri sepertimu, siapa pun dirimu. Kau tetap putriku, putri kecilku yang sama dengan dua puluh tujuh tahun yang lalu." Dia mengusap wajahnya.
Akhirnya air mata itu menetes juga. Semua beban dalam hidupku terasa perlahan menghilang. Mom, Dad, Carry, Drew dan calon anak kami bagaikan pelengkap semua ketidaksempurnaan.
Ternyata banyak cinta yang aku dapatkan ketika cinta yang lama mulai pergi.
Aku memilih kebebasan dengan caraku. Mencari kebahagiaan berdasarkan rasa. Cintaku tumbuh seraya pengobatan luka.
Drew seperti paket lengkap. Dia pria baik hati yang bersedia membantuku memperbaiki semua keadaan. Bahkan dengan senang hati membatuku menata hati kembali. Meskipun dengan egois, dan sifat pemarahnya. Drew tetap menjadi pilihanku, dan anak kami kelak.
"Semoga kau berbahagia, G. Dengan caramu. Rasanya waktu kita hanya sebentar dan aku harus menyerahkanmu pada pria itu," ucap Dad. Dia menarikku ke dalam pelukannya. Memelukku erat dan memberikan rasa nyaman serta kehangatan yang sangat nyata.
"Terima kasih karena sudah membuatku ada di dunia ini, Dad." Aku menahan isak, "Terima kasih karena sudah membuatku hadir ke dunia ini dan bertemu dengan pria bernama Drew."
Dia pria hebat, dan sanggup melewati semua keadaan bersamaku. Rasanya sempat tak percaya jika hatiku akhirnya berlabuh pada Drew.
Drew. Pria berkacamata yang sangat aku cintai. Dia pria, satu-satunya pria yang pantas menjadi ayah dari anak-anakku.
∞∞∞