Masih memaksa

2111 Kata
Setelah menidurkan Kenzo, Raisa terdiam sejenak. Malas sekali menemui pria itu, mungkin saja Juan tidak akan ingat kalau dirinya tetap berada di sini. namun saat Raisa berniat untuk ikut berbaring bersama dengan Kenzo, sosok itu kembali masuk ke dalam kamar dan mengetuk pintu. “Kamu gimana sih, saya tungguin dari tadi kok gak keluar keluar dari kamar,” ucapnya terdengar begitu kesal. “Pak, sebentar ini anaknya belum tidur pules deh.” “Cepetan, Raisa.” “Iya iya,” ucap Raisa dengan kesal. Dia akhirnya keluar kamar dan duduk di sofa, menatap Juan yang sedang membuat kopi. “Ayok, Pak, katanya mau ngomong.” “Sebentar, kamu gak liat saya lagi ngapain?” bahkan Juan malah menawarkan. “Mau kopi?” “Enggak, makasih,” ucap Raisa menunduk dan memainkan jemarinya. Mulai gugup juga saat Juan datang. Di sini nilainya dipertaruhkan bukan? Ketika Juan duduk, perempuan itu langsung bertanya, “Jadi gimana, Pak?” “Sabar ya ampun, kamu gak tahan banget ya mau ngomong sama saya?” pria itu menaik turunkan alisnya. Benar benar berbeda dengan ekspektasi mahasiswa hukum tentang pria ini yang begitu tenang dan juga dingin, di sini Raisa ingin menemparnya karena begitu m***m. “Jadi tentang nilai kamu, mau gimana?” “Ya mau berubah lah, Pak. Jadi A misalnya?” “Tergantung sama kapasitas otak kamu. Saya mau mulai hari ini kamu bisa test lisan. Bisa?” “Sekarang banget?” tanya Raisa takut, sungguh dia tidak memiliki waktu untuk membaca. “Pak, saya baru aja pulang jemput Kenzo, saya baru punya waktu sekarang buat baca baca. Masa bapak gak kasih waktu sih.” “Yaudah nanti malem aja ya?” senyumannya yang mencurigakan malah menambah ketakutan untuk Raisa. “Nanti malem?” “Iya, nanti malem. Saya sekarang mau berangkat lagi soalnya. Ada tamu katanya di prodi.” “Tamu siapa, Pak?” “Dari Yayasan yang mau ninjau beberapa hal. Kamu jangan khawatir, bukan selingkuhan saya kok.” “Maksud?” Raisa kesal mendengarnya. “Ya kan saya laporan sama calon istri. Kamu baik baik di rumah ya, jaga Kenzo. Kalau nanti saya pulang dan kamu bilang mau nikah sama saya, masa depan kamu aman pokoknya. Termasuk nilai kuliah kamu.” Baru juga Raisa hendak menjawab, rambutnya lebih dulu diusap oleh Juan dan pria itu pergi meninggalkan Raisa yang bertanya tanya di sana. “Nggak nggak mungkin, itu pasti Cuma modusnya dia aja mau bodohin gue. Lagian gue gak mau punya suami aki aki plus mesuman kayak dia.” Mengingatnya saja membuat Raisa bergidik. Hell! Juan itu umurnya sudah mau kepala empat, dirinya baru dua puluh tahunan. “Lagian gue sukanya sama cowok yang muda, bukan kayak bapak.” Selagi waktu luang, Raisa memilih untuk memilah tugas tugasnya. Filsafat hukum, hukum pemilu, dan hukum kesehatan. Semua tugas itu belum dikerjakan sama sekali padahal dosen mengatakan kalau waktu pengumpulan berpengaruh kepada nilai. “Sabar, gue kudu sabar.” Ditambah lagi saat Raisa membuka ponselnya, dia melihat pesan dari teman temannya yang saling bertukar kabar perihal judul skrispi yang sudah mereka miliki. “Gue udah ngumpulin lima judul skripsi, nanti mau konsultasi sama dosen. Gue ambil study wilayah sih biar seru aja, hehehe.” “Kalau gue ambil study putusan, mau ditekan di bagian analisis yuridisnya.” Seketika Raisa menutup ponselnya, menarik napas dalam dan menggelengkan kepala berulang kali. “Gak ngertiiii! Gue gak ngertiiii!” teriaknya pada semua mata kuliah hukum yang sudah dia acuhkan sejak dua tahun yang lalu. “Bundaaa! Capekkk iduppp!” “Tante?” panggil seseorang yang mana membuat Raisa langsung diam, dia lupa ada anak kecil di tempat ini! “Sayang, bobok lagi yuk.” Duh, baru saja Raisa hendak menjahit masa depannya. *** Sekarang ini, Raisa sedang mencoba menghafal apa yang diperintahkan oleh Juan. Tidak mudah untuknya menghafal materi yang sangat tidak dia sukai seperti ini. dengan dunia hukum, dia sudah merasa muak. Sayangnya, tinggal dua semester lagi sampai dirinya mendapatkan gelar sarjana. Sayang sekali jika tidak berjuang. “Tante?” “Iya, Nak? Eh udah bangun?” Mendekat pada Raisa yang sedang duduk di ruangan televise, anak itu merebahkan kepalanya di pangkuan Raisa dan merasakan kenyamanan di sana. “Kenapa? mau makan?” “Mau mandi, mau jalan jalan keluar yuk. Bosen di sini.” Terkekeh mendengarnya sebelum akhirnya mengangguk. Oke, Raisa juga butuh merileks-kan otaknya dari semua ini. jadi dia memilih untuk jalan jalan di sekitaran apartemen bersama dengan anak kecil yang menggemaskan ini. Sementara itu di sisi lain, Juan kembali ke kampus untuk menyelesaikan beberapa pekerjaannya lagi. Dia sudah tidak memiliki jadwal mengajar, tapi dirinya memiliki pekerjaan sebagai seorang dekan. Dimana sekarang dirinya sedang berdiskusi dengan wakil dekan I (yang merupakan bagian akademik) tentang bagaimana mereka membantu anak anak yang memiliki IP di bawah standard. Bukan hanya mahasiswa yang harus berjuang, tapi juga dosen. “Lulusan dari fakultas hukum sudah mendapatkan pandangan yang baik. Mereka selalu di cap sebagai orang orang pintar, sesuai rapat yang kita lakukan minggu lalu, saya sudah merekap siapa saja orang yang memiliki IP di bawah standar. Namun sekarang saya memilih memfokuskan pada mereka yang akan lulus saja, Pak. Saya akan memberikan mereka peringatan supaya bisa mengambil semester pendek dan memperbaiki nilai. Saya butuh tanda tangan bapak untuk meluncurkan surat ini kepada mahasiswa yang bersangkutan.” Juan menerimanya. “Kapan diluncurkannya?” “Besok rencananya, Pak. Kita panggil mahasiswa yang bersangkutan.” “Satu per satu?” “Tidak, Pak. Kita panggil mereka saja bersamaan supaya mengefektifkan waktu.” Juan menandatanganinya, hingga ada satu nama yang dia kenal. “Untuk mahasiswa atas naama Raisa ini, biar saya yang mengurusnya. Kebetulan dia sedang memperbaiki mata kuliah yang dinaungi oleh saya.” “Baik, Pak.” Wakil dekan I meninggalkan ruangan tersebut. meninggalkan Juan yang membuka surat yang akan dilayangkan pada Raisa, disertai dengan nilai nilainya yang jelek. Juan menghela napasnya dalam, bagaimana bisa nilai Raisa sejelek ini? apa saja yang dia lakukan dua tahun terakhir ini hingga membuat nilainya turun drastic? Baru juga Juan hendak menghela napasnya lega dan akan pulang, sekretarisnya masuk dan mengatakan wakil dekan II ingin bertemu. Oh, ini akan menjadi pembahasan yang akan panjang apalagi masalah keuangan. “Hallo, Pak. Maaf mengganggu waktunya. Ada yang harus saya bicarakan dengan bapak.” Menjadi dekan fakultas itu kurang lebih sama dengan kepala sekolah, menaungi semua dan memastikan semuanya berjalan dengan lancar seperti ini. “Tentang pembangunan, Pak.” “Boleh, silahkan duduk, Bu.” Banyak sekali pekerjaan, apalagi dirinya menjadi pengacara yang terkadang selalu membantu orang orang untuk berkonsultasi secara gratis. Melipat dulu surat untuk Raisa dan menyimpannya di dalam laci. *** Saat Juan dalam perjalanan hendak memasukan mobil ke basement, dia melihat anaknya yang sedang berjalan jalan dengan Raisa. Mereka bergandengan tangan dan masuk ke mini market yang ada di sekitaran gedung apartemen. Membuat Juan mengurungkan niatnya untuk pergi ke basement, dia ingin bergabung ke sana. Sepertinya dua orang itu tidak menyadari, Kenzo tengah mencari makanan yang dirinya inginkan dan Raisa sedang berdiri sambil menatap ponselnya. Penasaran apa yang sedang dilihat olehnya, Juan mengintip dari belakang kemudian menahan tawanya, “Pfftt… lagi hafalin materi?” “Huaa!” Raisa kaget, reflex hampir memukul Juan. Untungnya pria itu memundurkan langkah dengan cepat menghindar. “Pak! Jangan bikin saya kaget.” “Gak usah teriak, Raisa. Kamu bikin saya malu aja,” ucapnya dengan mata yang melotot kesal. Raisa menghentakan kakinya malas. “Bapak sejak kapan ke sini?” “Baru aja. kamu kenapa ngajak anak saya jajan mulu? Jangan jangan ga sehat dia selama sama kamu ya?” “Heh, bapak ngomongnya jangan ngasal ya! saya itu selalu memperhatikan apa yang dimakan sama Kenzo tau.” “Jangan teriak teriak,” gumam Juan yang membuat Raisa sadar, dia mengedarkan pandangannya melihat ke sekitar. Orang di minimarket itu bukan hanya mereka saja, membuat Raisa tersenyum dengan hampa pada mereka. “Hallo, maaf.” “Maaf ya, pacar saya ini kadang gak tau tempat kalau teriak.” “Whoa, Pak Juan sekarang punya pacar ya?” tanya sang kasir mini market yang sudah mengenal Juan. “Doakan saja ya, Bu.” Raisa ingin protes, tapi Kenzo lebih dulu datang sambil memeluk kakinya. “Mau ini, Tante?” “Gak boleh, Nak. Ini gak baik buat gigi kamu. Cari yang lain aja yuk.” “Tapi mau ini.” “Gak boleh. Nanti perutnya sakit.” Kemudian berjongkok dan berbisik. “Nanti Papa marah..” Barulah anak itu sadar kalau di sana papanya juga, matanya langsung berbinar dan tangannya merentang. “Papa gendong!” “Nggak, kenapa beli itu?” Tatapannya menunduk melihat tangannya sendiri yang memegang permen. “Mau ini, Paaa.” “Gak boleh.” “Aaaa, mau ini. kan Kenzo udah sering sikat gigi.” “Gak boleh.” Dengan cepat, Raisa menggendong anak itu dan membawanya menjauh dari Juan. Salahnya sendiri tidak mendampingi Kenzo yang sedang memilih makanan. juan menghela napasnya dalam, dia menunggu di kursi yang ada di dalam mini market. “Lucu ya, cepat cepat sebar undangan. Kenzo udah cocok sama gadis itu, Pak Juan.” “Ah ibu bisa saja.” “Tuh, liat aja sekarang Kenzo bawa air mineral ke sini. nurut banget ya sama calon ibunya.” Memang benar, Kenzo sekarang memegang air mineral tanpa wajah yang sedih. Bahkan setelah membayar, anak itu mendekati Papanya dan berkata, “Ayok, Pah! Mau jajan diluar, ini beli minumnya.” Senyuman Juan luntur seketika, sama saja anaknya nanti jajan sembarangan di luar sana. “Ayok, Pah!” kenzo ingin menggenggam tangan Raisa dan Juan secara bersamaan. Dengan dirinya yang ada di tengah tengah, Kenzo senang sekali melakukan ini seperti anak anak yang suka bermain di taman. “Mau main ke taman itu ya.” “Nggak, di dalem apartemen aja yu. Kan Kenzo punya banyak mainan di sana.” “Ihhh mau ke sana, Pah.” Tidak tega melihat anak itu murung, Raisa ikut membujuk. “Duduk doang, Pak. Di sana nunggu Kenzo main, lagian lagi pada kosong. Emangnya kenapa sih kalau di sana nunggu sama saya?” “Cie, mau saya temenin kamu?” “Ih, bukan gitu maksud saya.” *** Juan tidak bisa berhenti menatap Kenzo yang sedang bermain di taman bermain apartemen. Kenzo memang sering ke sini bersama dengan pengasuhnya, tapi tidak dengannya. Hampir tidak pernah karena sibuk dan terus bekerja. “Pak, titip Kenzo ya.” “Heh, kamu mau kemana? Enak aja ninggalin tanggung jawab dengan begitu mudahnya.” “Apasih, Pak? Orang aku mau beli cilok. Nanti ke sini lagi juga. Bapak mau?” “Nggak. Jangan pedes pedes, nanti kamu sakit perut.” “Iya,” ucap Raisa segera pergi dari sana. Saat sedang menatap sang anak yang bermain, Juan mendapatkan telpon. Itu dari Ibunya, enggan untuk menjawab dan memilih tidak mengangkatnya saja. “Mengerikan banget,” ucap Juan jika sampai dia mengangkat panggilan itu. “Papa?! sini main.” “Enggak, kamu aja sendiri.” Juan dengan pakaiannya yang masih formal itu melonggarkan dasi, jarang sekali untuknya bersantai. Bahkan minggu depan dia akan berbicara dengan seseorang yang dia wakili di pengadilan nanti. Dikarenakan berbentrokan dengan pekerjaannya sebagai dekan, Juan akan meminta temannya yang lain untuk menggantikannya menjadi kuasa hukum. Dulu dirinya memang focus menjadi kuasa hukum, sampai pihak Yayasan memintanya untuk mengajar di fakultas hukum. Sampai sekarang akhirnya Juan menjadi dekan, bukan perjalanan yang begitu mudah untuk sampai di sini. “Pak? Jangan ngelamun, nanti kesambet setan.” Juan menoleh melihat Raisa yang membawa dua kantong plastic cilok dengan bumbu yang berbeda. “Kan saya udah bilang kalau saya gak mau.” “Ini buat Kenzo.” Berucap dengan santai dan memanggil anak itu. Juan mendengus kesal. “Kok kasih Kenzo makanan yang kayak gitu? Emang itu sehat?” “Sekali sekali, Pak. Kasian dia liatin ini mulu dari kemaren. Lagian gak pake pedes kok. Abis ini nggak lagi dikasih yang beginian,” ucapnya tersenyum saat Kenzo datang. “Tante itu apa?” “Cilok. Mau?” “Mau. Suapin tapi.” Membuka mulutnya dengan ceria dan kembali bermain di sana. Senyuman Raisa ikut terbit, senang melihat Kenzo yang seperti itu. “Hati hati mainnya.” “Iya!” Hingga tiba tiba pria yang ada di sampingnya merangkul Raisa, kemudian mengatakan, “Anak kita udah gede ya, Sayang.” Menatap horror pada Juan yang focus pada Kenzo. “Pak, lepasin gak? Mau saya colok?” “Lah, masa kamu nyolok. Saya dong yang nyolok kamu.” “Ih, Pak! Lepas!” Tapi Juan malah menarik Raisa lebih dekat dengannya. “Hujan, sini teduhan biar deketan.” “Lepas gak?” “Nggak, kalau kamu mau jadi istri saya, baru saya mau lepas. Mau tau gak cara bikin Kenzo makin bahagia? Yaitu dengan dibikinin adik.” “Pak!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN