Mendominasi

3119 Kata
Raisa berasa sedang mengangkut karung goni, dia menyered Juan supaya bisa naik ke atas ranjang dan mengobati lukanya. Dia mau menangis saja rasanya karena sudah berani memukul pria ini sampai berdarah, sepertinya tuntutan yang akan Juan berikan padanya adalah pasal berlapis. Banyak sekali kerugian yang didapatkan pria itu. “Ampun, Pak. Saya gak punya uang, jangan peras saya,” ucapnya sambil mengobati pria itu. Raisa bahkan mencoba membantu Juan memakai pakaian, khawatir akan masuk angin. “Gimana gue pakein celananya ini? si bapak udah pake sempak belum ya?” bertanya sendiri seperti itu. Raisa menelan salivanya kasar, tangannya terangkat untuk membuka handuk tersebut dan… “Huaaaa Bundaa! Ada cacing!” teriaknya sambil menutup mata dengan jemari. Tangannya yang lain menutupi kembali bagian s**********n Juan. Gila! Besar sekali membuat Raisa malu dan juga merasa tidak suci. “Hiks… melorot. Atau perlu pakein celana aja ya? bodo ah yang penting gak telanjang.” Tidak memakaikan celana dalamnya dulu, karena Raisa tidak mau bersentuhan dengan benda yang sedang tidur itu. dia hanya memakaikan celana, lalu setelahnya menghela napas dalam. “Huft, tidur yang nyenyak ya, Pak. Besok kita ngobrolnya.” Raisa lelah, dia ingin tidur di kamarnya yang bahkan belum dia bereskan. Koper masih dimana mana, Raisa mencuci muka dan melakukan night routine sebelum akhirnya tidur tengkurap. “Anjir enak banget ini apartemen, nyaman aman gimana gitu,” gumamnya sambil tersenyum beberapa kali. Raisa bermimpi indah, dia berada di taman bunga yang begitu harum. Sampai tiba tiba angin besar tertiup ke arah wajahnya, dia memejamkan mata beberapa kali dan mencoba untuk lari menghindar, tapi kenapa angin it uterus mengejarnya dan hanya mengenai wajahnya saja? Perlahan, kesadaran Raisa terangkat, dia membuka matanya. Angin itu ikut ke dunia nyata? “Bangun kamu, Raisa. Kamu harus tanggung jawab,” ucap seseorang itu sambil terus meniupkan udara ke wajah Raisa. “Arrgghhh! Bapak ngapain?!” teriak Raisa kaget dan langsung beringsut mundur memeluk dirinya sendiri. “Kenapa bapak di kamar saya?!” “Enak ya kamu, orang abis pingsan karena kamu malah ditinggal. Ini kepala saya sakit, belum makan, dipakein baju gak bener pula.” Sorot matanya marah, Raisa tau dirinya dalam masalah. “Pak…, maaf tadi saya reflex soalnya kan bapak sendiri yang bikin saya takut.” “Bangun, angetin makanannya. Saya lapar.” Begitu Juan keluar, baru Raisa berani turun dari ranjang. Ini baru pukul satu maalam, kenapa dirinya tidak bisa tidur dengan tenang? Dengan Juan yang memperhatikannya di ruang keluarga, Raisa memanaskan makanan itu. “Jangan ke kamar, kamu harus temenin saya makan di sini. bentuk tanggung jawab kamu itu.” “Iya, Pak.” Raisa mengambil beberapa camilan, tidak mungkin dia menunggu Juan dengan diam saja. karena pria itu tidak complain, maka Raisa memakan ice creamnya dengan tenang. “Kamu kenapa pukul saya?” “Kan udah saya bilang kalau bapak nakutin saya, kayak om om m***m, p*****l yang bikin saya takut tau!” “Ya gak harus mukul juga kan? Lihat kepala saya sekarang?” “Udah saya obatin, udah saya perban. Pak saya benar benar minta maaf, kan salah bapak sendiri yang nakutin saya,” ucap Raisa dengan memohon. “Nah kan kamu bikin saya luka, jadi kamu harus rawat saya juga.” “Iya, Pak.” Enggan membantah. Daripada terkena masalah, tidak apa apalah. “Asalkan bapak jangan m***m m***m sama saya. Soalnya saya takut.” “Lah, kamu sendiri m***m sama saya. Kamu yang pakein saya baju sama celana kan?” “Ya kan saya gak ada maksud m***m, saya kasian sama Bapak masa gak pake apa apa nanti kalau masuk angin gimana?” Juan menggelengkan kepalanya. “Kamu juga gak pakein saya celana dalam! Gimana kalau itu saya masuk angin?” “Pak!” “Tuh, kamu sendiri yang m***m kan pasti udah liat? Kamu harus tanggung jawab pokoknya, kamu nikah sama saya.” “Plissss! Jangan bahas itu! niat saya baik loh, Pak.” “Ck, padahal makan ice cream, tapi mukanya merah gitu,” ucap Juan menggoda. Membuat Raisa semakin kesal dan memilih untuk memalingkan wajahnya, tidak sopan! “Kamu bisa saya tuntut kalau terus terusan bikin ulah, Raisa.” “Iya, Pak.” Kemudian bergumam, “Lama lama saya tertekan karena bapak.” “Kalau gak mau tertekan, jadi istri saya, nanti saya kasih semuanya buat kamu.” Raisa tidak menanggapinya, dia yakin pria itu hanya main main. Benar benar tidak menyangka kalau sosok Juan ternyata m***m dan juga menyebalkan seperti ini. “Pak, boleh saya tanya sesuatu?” “Tanya aja.” “Mamanya Kenzo kemana? Maaf nih, penasaran.” “Ada, kok.” “Oh ya? jadi bapak cerai ya sama istrinya?” “Hah? Ini mamanya Kenzo ada di depan saya.” Seketika sadar apa yang dikatakan Juan, Raisa langsung memalingkan wajah menahan kesal. Pria itu tertawa seenaknya. *** “Morning gantengnya, Tante.” “Morning, Tante,” ucap anak laki laki berusia lima tahun itu melingkarkan tangannya di leher Raisa kemudian mengecup pipinya. Raisa terkekeh dan menggendong Kenzo ke dalam kamar mandi, membantu menyikat gigi sebelum menyuruhnya mandi sendiri. “Nanti bajunya disimpen sama Tante di sana ya, Kenzo pake sendiri oke?” “Oke. Nanti mau bekel makan siang ya?” “Boleh.” Untung saja Raisa bukanlah type anak yang tidak pernah pergi ke dapur meskipun dirinya adalah anak orang kaya. Dia bisa memasak dan juga mengkondisikan rumah. Merasa kalau Juan belum bangun, Raisa memilih membangunkannya, dia tidak ingin menjadi masalah lagi. Setelah mengetuk tiga kali dan tidak mendapatkan jawaban, Raisa memberanikan diri masuk. Kaget melihat pria itu tidur tanpa memakai atasan. “Pak, bangun ini udah mau jam tujuh. Bapak harus siap siap kan?” “Hmm? Iya siap siap nikah sama kamu.” “Ih apaan. Lepasin, Pak.” Mulai panic ketika Juan memegang pergelangan tangannya, pria itu membuka mata dan tersenyum. “Duh, enak banget kalau tiap pagi dibangunin sama cewek cantik kayak kamu. Bikin saya betah.” “Pak, lepas gak?!” Ketika Juan melepaskannya, Raisa tersungkur ke belakang. Meskipun terjatuh pada karpet bulu, tetap saja pantatnya terasa sangat sakit. “Bapak ih! Sakit tau!” “Lagian salah sendiri minta dilepasin. Siapin baju ya, sama jam tangannya sekalian, Cantik.” Baru juga satu hari, Raisa sudah merasakan takut minta ampun. Kali ini dia menatap Juan supaya tidak mengunci dari dalam dan membuatnya terkurung. Namun sialnya, pria itu selesai mandi ketika Raisa masih membereskan ranjang pria itu. “Duh, simulasi jadi istri ya?” “Pembantu, bukan istri.” Geram juga lama lama dengan tingkah pria itu yang seenaknya padanya. “Pak, jangan aneh aneh deh.” “Aneh apanya? Wong saya lagi pake baju. Kalau kamu mau yang aneh aneh boleh deh, kebetulan saya juga tertarik sama kamu.” Bergidik sekali mendengarnya. Buru buru keluar dari sana dan memeriksa lagi sarapan yang dibuatnya. Sengaja memasak makanan yang mewah dan enak, kan Raisa juga ikut makan. “Kenzo?!” “Iya bentar.” “Sini, Nak. Makan dulu.” “Bentar,” ucap anak itu. Juan yang baru saja keluar merasa heran, biasanya sang anak sudah makan duluan karena di jam ini sudah lapar. Jadi Juan memeriksa Kenzo untuk melihat apa yang sedang dilakukan anak itu. “Kenzo?! Kok itu bajunya kotor? Kenapa mainin tinta?” Anak itu kaget, dia tidak berani menjawab dan malah menyembunyikan balpoin di belakang tubuhnya sambil menatap Juan dengan manik yang berkaca kaca. Dia takut dengan kemarahan papanya itu. Raisa sendiri yang mendengar keributan langsung datang mendekat, kaget juga melihat seragam Kenzo yang dipenuhi tinta. “Kenzo, bajunya kotor kenapa?” Yang pertama kali Raisa lakukan adalah mendekat padanya kemudian memegang kedua pundak anak itu, menatap matanya dalam. “Di belakang Kenzo itu apa?” Kenzo perlahan memperlihatkan apa yang dirinya sembunyikan. “Kenapa?” masih bertanya dengan suara yang lembut. “Tadi mau buang ini soalnya tintanya gak keluar. terus mau dibuka dulu mau tau isinya. Tapi kena baju. Maaf ya, Tante.” Menunduk mengakui kesalahannya. Sebelum menanggapi, Raisa menarik anak itu ke dalam pelukannya. “Gak papa, lain kali hati hati ya. sekarang kita ganti dulu bajunya okey?” Kenzo menganggukan kepala dengan menggemaskan, dia tidak memalingkan wajahnya dari Raisa yang memberikan nasihat. Demi menaikan mood anak itu lagi, Raisa mengatakan, “Nanti kita cuci bareng bajunya yuk. Biar bersih lagi?” “Bisa?” “Bisa dong, nanti ya kalau pulang sekolah okay?” “Okay, Tante!” seketika mood nya naik lagi. Menggantikan pakaian pada Kenzo, Raisa kemudian menggendongnya dan melewati Juan yang masih berdiri di sana. “Ayo sarapan dulu, Pak.” Jujur saja merasa kesal pada Juan, Raisa tau bagaimana rasanya dibentak oleh seorang Ayah dan itu menyesakan sekali. Juan sendiri sadar dimana letak kesalahannya, jadi dia menarik napasnya dalam menatap sang anak yang masih enggan melihatnya. “Kenzo lihat.” Juan menunjuk perban di bagian kiri keningnya. “Sama ya kayak Kenzo? Papa juga kena.” “Papa luka?” anak itu terkejut. “Kenapa, Pah?” “Kena timpuk sama Tante Ica, makannya sakit gini.” “Ih sama kayak Kenzo ya? kenzo juga gini karena Tante Ica!” anak itu menunjuk lukanya juga. Raisa hanya tersenyum dengan penuh tekanan, dua anak dan ayah itu kembali akur dengan dirinya sebagai penghubung. “Tante, mam siangnya mana punya Kenzo?” “udah disiapin, nanti sama Tante dimasukin ke taas Kenzo ya.” mengambil tissue untuk menyeka saus yang ada di sudut bibir anak tersebut. “Makannya pelan pelan, Nak.” Mengatakan seperti itu. Melihat bagaimana pemandangan yang langka, Juan semakin terpacu untuk memiliki Raisa. Tidak ada salahnya menjadikan sosok itu sebagai ibu sambung Kenzo, dia tidak terlihat terpaksa, ada ketulusan di matanya saat merawat sang anak. Raisa sendiri melakukan itu kaarena dia tahu bagaimana sesaknya hati ketika tidak mendapatkan kasih sayang dari sosok ibu. “Mau disuapin aja sama Tante.” Tunggu, kenapa anaknya jadi manja begini? Juan bertanya tanya dalam benaknya sendiri. *** Ini hari rabu, hari terakhir kuliah sebelum siap siap berada di kandang singa lagi. Sebelumnya Raisa enggan berada di kampus, tapi ssekarang dia lebih betah di sini. ingin berlama lama tapi ingat ada anak yang harus dirinya jemput. Kasihan kalau mengabaikan anak tersebut, dia pasti mencarinya. “Gak mau hang out dulu sama yang lain?” tanya Arum ketika Raisa buru buru pulang. “Nggak, sekarang gue punya kerjaan. Bokap gue usahanya lagi turun, jadi gue nyari kerja.” “Kerja dimana lu sekarang?” arum terlihat kaget. “Gue kerja jadi pengasuh, jadi gak tentu. Bayaran sama panggilan gitu deh,” ucapnya enggan ditanya lebih jauh. Arum menggelengkan kepala, tidak menyangka kalau sahabatnya ini akan mengasuh anak. Ditepuknya bahu Raisa yang sedang membereskan buku. “Ca, gue gak semiskin itu kok. Kalau lu butuh bantuan, jangan sungkan minta sama gue ya.” “Apasih, Anjiir gue juga bisa, gak mau nyusahin lu. Soalnya gue lagi gak susah, nanti bikin lu repotnya biar gak nanggung.” “Kampret. Gue pulang duluan dah. Bye.” Melambaikan tangannya pada Arum. Raisa itu banyak tekanan, belum lagi dirinya harus test lisan agar mata kuliah yang nilainya tidak keluar itu mendapatkan minimal nilai B supaya bisa mengikuti mata kuliah selanjutnya. Untuk sekarang mencoba focus dulu pada Kenzo, enggan bermasalah lagi dengan Juan. Dalam perjalanan, Raisa memakai bus. Ini sudah lima menit lewat untuknya menjemput Kenzo, khawatir anak itu akan kesal padanya. Namun kenyataannya tidak. Begitu Raisa masih di dalam bis, dia mendapatkan pesan dari gurunya Kenzo mengatakan kalau anak itu bertengkar dengan anak lain. Sontak saja dia kaget, bagaimana kalau anak itu terluka? Bahkan Raisa sampai berlari dari halte menuju ke sekolah Kenzo dimana anak itu ada di ruangan guru. Ada anak yang lainnya juga bersama dengan ibunya. “Kenzo, sini, Nak.” Pertama tama Raisa memeluk anak itu dulu, menenangkannya meskipun tidak tau apa yang terjadi. “Ibu Raisa, silahkan duduk di sini,” ucap sang guru kemudian mulai menjelaskan kronolgis dimana teman Kenzo itu mengejek karena Kenzo tidak punya Mama hingga membuat Kenzo kesal dan berakhir memukul temannya. Keduanya sama sama salah, jadi anak yang mengejek yang pertama kali meminta maaf. “Kenso maaf.” “Kenzo.” Anak itu malah mengoreksi namanya sendiri. “Iya, maaf ya, Kenzo.” Kenzo masih berada di dalam dekapan Raisa, dimana dia membujuk anak itu untuk meminta maaf juga. “Nak?” Akhirnya Kenzo mau, dia menoleh pada anak tersebut dan mengatakan, “Maaf udah mukul, makannya lain kali jangan ejek, nanti kena bogem.” “Kenzo.” Raisa kaget bukan main mendengar hal itu. “Gak papa, Bu Raisa. Anak saya emang salah, sekali lagi minta maaf ya.” Untungnya, ibu dari anak itu tidak menuntut sama sekali. Raisa meminta waktu kepada ibu guru untuk tetap di ruangan itu, dia ingin bicara dengan Kenzo. “Ayo pulang.” “Kenzo tau gak kenapa Kenzo salah?” Anak yang berada di pangkuan Raisa itu mengangguk, dia menjauhkan wajahnya dari d**a Raisa dan menatap lawan bicaranya. “Mukul Gio. Tapikan Gio yang ngejek.” “Tapi mukul juga gak baik, gak boleh ya.” “Terus gimana biar Gio gak ngejek lagi?” “Coba bilangin baik baik sama Gio biar dia gak gitu lagi.” Menggenggam tangan Kenzo kemudian memukulnya. “Tangan ini kalau nyakitin orang lain, kita sendiri yang rugi. Tuh liat, ada lecet di sini kan?” “Katanya Kenzo gak punya Mama, Kenzo tau kok emang gak ada Mama, tapi kesel aja kalau dibilangin kayak gitu.” “Bilang aja sama Gio, Kenzo emang gak punya Mama, tapi Kenzo punya Papa, punya Tante ica, Punya Bibi Nita, punya siapa lagi?” Anak itu tiba tiba bersemangat dan mengatakan, “Punya Eyang Putri! Punya Eyang sepuh!” “Nah itu kan, banyak yang sayang sama Kenzo kan?” Anak itu mengangguk antusias dan memeluk Raisa dengan erat. Tanpa mereka sadari, kalau Juan ada di ambang pintu sejak tadi. Mendengar anaknya memukul temannya, Juan langsung datang untuk menyelesaikan masalah ini. dan ini yang dia dapati. “Ekhem!” Keduanya berhenti berpelukan dan menoleh. “Papa,” ucap Kenzo dengan pelan, dia khawatir dimarahi. Namun ternyata Juan malah berjongkok dan merentangkan tangannya. “Makan siang diluar yuk sama Papa? kita beli ice cream?” Seketika Kenzo berontak dari pangkuan Raisa dan berlari menuju sang Papa. memeluk Juan dengan erat dan mengangguk kuat. “Mau mau! Sama Tante ica juga?” “Iya, sama si cantik,” ucap Juan yang didengar oleh Raisa. “Ciee cantik. Papa suka ya sama Tante Ica?” “Suka dong, kan baik. Emang Kenzo gak suka?” “Suka! Kenzo juga suka!” Raisa memalingkan wajahnya, anak dan ayah itu membuatnya salah tingkah. Dan Raisa tidak suka berada di kondisi yang seperti ini. *** Raisa pikir dirinya akan diajak ke sebuah restaurant terbuka yang membuatnya khawatir. Ternyata tidak, Juan dan Kenzo membeli makan siang di luar tapi tetap memakannya di apartemen dengan Raisa yang membawa banyak barang dikarenakan Juan menggendong Kenzo. “Padahal Kenzo tadi udah mam siang banyak di sekolah, tapi mau mam lagi.” “Ya gak papa kalau Kenzo mau mam lagi, Papa juga tadi udah makan siang di kantor. Tapi sekarang udah mau mam lagi.” Melihat keharmonisan ayah dan anak itu, Raisa hanya terkekeh kesal. Dirinya menderita membawa ember ice cream yang jumlahnya bukan hanya satu. “Raisa, langsung masukin ke kulkas biar gak cair ya. terus nanti makan siangnya hidangkan.” “Iya.” Untung saja Raisa juga diizinkan memilih makanan dan ice cream oleh Juan, jadi dia mendapatkan imbalannya. Setelah menghidangkan semuanya, Raisa memanggil ke kamar Kenzo. “Tuh, makanannya udah siap. Ayok makan dulu.” “Okee…” Kenzo kini melangkah menuju Raisa meninggalkan Juan di belakang sana. Jika dilihat sesaat, mereka seperti keluarga kecil. Seperti dalam mobil, Kenzo memaksa Raisa untuk bisa duduk di bangku depan sambil memangkunya. Sama seperti sekarang, Kenzo meminta dipangku oleh Raisa dan makan dengan disuapi oleh perempuan itu. “Papa liatin mulu, pasti mau disuapi ya?” “Iya nih, suapin dong.” Pria itu dengan pedenya membuka mulut dan mengarahkannya pada Raisa. “Pak.” Raisa syok melihat pria berkacamata itu menjadi sosok yang lain, yang berbeda dan lebih menakutkan. “Mana suapan buat saya?” Terpaksa Raisa melakukannya, karena kasihan jika harga diri Juan jatuh di hadapan anaknya sendiri. “Makasih, Ica.” Ihhh! Geli mendengarnya, Raisa langsung focus pada Kenzo saja. “Abis ini boleh mam ice cream?” mengadah menatap Raisa yang sedang memangkunya. “Boleh, tapi jangan banyak banyak ya.” Anak itu mengangguk. Ketika Raisa membereskan piring, Kenzo dan Juan sudah lebih dulu ke ruang keluarga untuk makan ice cream sama sama. Raisa heran, ini masih jam kerja dan kenapa Juan tidak berangkat ke kampus lagi? “Tante sini deh!” panggil Kenzo ketika Raisa baru saja membuka kulkas mengambil ice creamnyaa sendiri. Datang ke sana sambil memakannya. “Kenapa?” “Liat, ini Tante.” Menunjuk sebuah buku album. Raisa menunduk dan kaget melihat bagaimana sosok dalam foto itu begitu mirip dengannya, hanya gaya rambutnya saja yang berbeda. “Woahhh, ini siapa?” “Itu Eyang Purtrinya Kenzo.” Sontak langsung menatap Juan. “Ibunya Bapak?” “Iya! Makannya Kenzo suka deket deket sama Tante. Soalnya kayak nenek nenek,” ucap Kenzo yang membuat Juan terbahak karenanya. Anak itu bahkan sekarang berpindah tempat untuk duduk di pangkuan Raisa lagi. “Mau nyobaik ice cream punya Tante.” Sambil menyuapi, Raisa melihat foto foto tersebut. “Whoa, kok bisa semirip itu ya? apa jangan jangan kita ada hubungan darah, Pak?” “Jangan mimpi kamu. Ibu saya keturunan Belanda, kamu enggak kan? Miripnya juga sedikit, diamah western banget kamu enggak. Mau banget disamain kayak ibu saya.” “Bukan gitu maksudnya!” teriak Raisa kesal. “Jangan berisik kamu,” ucap Juan menatap kesal. “Kenzo tidur itu.” “Eh, cepet amat?” Raisa menunduk, mendapati Kenzo sudah memejamkan mata dengan napas yang teratur. Reflex, Raisa mengecup puncak kepala Kenzo sebelum menyimpan ice cream itu di meja. Raisa membenarkan posisi tidur Kenzo di pangkuannya supaya lebih nyaman. “manis banget,” gumam Juan saat melihatnya. “Apa, pak?” “Kamu lah, udah cocok kamutuh punya anak. Apalagi kalau anaknya dua. Beuh, udah mantep cocok pokoknya buat kamu. Apalagi kalau saya suaminya, lumayan bisa memperbaiki keturunan. Kamu kan pesek.” Raisa menahan napasnya kemudian tersenyum. “Permisi ya, Pak. Saya mau tidurin Kenzo dulu. bapak kalau mau kerja lagi gak apa apa, saya baik baik aja ditinggal di sini sama Kenzo.” Kemudian melangkah meninggalkan Juan di sana. Pria itu berdecak dan mengikuti Raisa. “Raisa kita perlu ngomong.” “Gak ada, Pak, kita gak perlu ngomong.” “Kamu lupa kalau kamu punya hutang test lisan? Katanya nilai kamu mau berubah dalam waktu satu minggu?” Mampus! Pria itu menggunakan kekuasaannya untuk memonopoli dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN