Chapter 4

1020 Kata
Heinz POV °♢°)/" Aku baru saja meninggalkan rumah, berniat menghabiskan masa liburanku dengan bermain seperti anak-anak lainnya. Setidaknya itulah niat ku pada awalnya.. Sebelum aku bertemu dengan mereka di depan pintu rumahku, orang-orang yang mengaku dikirim oleh Dewan Keamanan PBB. Sebelum akhirnya mereka membawaku ke sebuah kamar hotel, diperlakukan seperti seorang tamu penting meski sebenarnya aku bahkan tidak mengenal mereka. Aku menatap meneliti, memilih tak mengatakan apapun sambil mengamati tingkah laku mereka. Hingga salah satu dari mereka yang kelihatan seperti pemimpin mereka angkat suara terlebih dahulu, menyodorkan sebuah kartu nama, lencana penugasan dan sebuah map berisikan data-data sebuah sekolah yang sangat kukenali. "Saya Agen Gisele, tujuan kami menemui anda adalah untuk meminta kerja sama dalam masalah kami, Tuan Quirin." Ucapnya serius, menunjuk pada map itu. "Ah, tolong panggil Heinz saja. Tapi kurasa aku tidak bisa membantu apapun, aku hanyalah seorang remaja yang baru saja lulus Sekolah Menengah dan kenapa harus aku?" Kuputuskan untuk menolak, meski sedikit penasaran tapi aku sama sekali tak berniat terlibat dengan hal besar seperti ini. Tuan Gisele, masih tampak tenang dan berwibawa. Dia menatap mataku, "Anda bisa, karena kami sendirilah yang memilih anda dari ribuan siswa yang lulus Sekolah Menengah Wallace tahun ini. Kami percaya penilaian kami tak salah, anda punya kemampuan yang kami butuhkan dan anda memiliki tiket untuk ke sana. Akademi Wallace, sebuah sekolah militer internasional yang baru saja dibuka tahun ini, selain anak-anak yang lulus dari Sekolah Menengah yang sama, hanya orang-orang rekrutan keluarga pendiri sekolah yang bisa masuk ke sana. Tentunya kami tidak bisa memilih anak-anak yang direkrut secara khusus tersebut dan kami juga tidak bisa memasukkan agen kami sebagai seorang staf pengajar di sana karena mereka sangat berhati-hati dalam merekrut staf pengajar. Akan tetapi kami butuh data, butuh informasi yang didapat dari pihak ketiga sebagai pengamat sebelum bisa memutuskan bahwa sekolah tersebut termasuk ancaman global atau tidak. Itulah kenapa kami membutuhkan kerja sama anda sebagai pihak ketiga tersebut, Tuan Heinz." berbicara seolah-olah ia mempercayaiku, seperti mereka sedang terdesak. "Tapi ini hanya sebuah sekolah, dan bukannya mereka sudah mendapatkan izin dari negara-negara di sekitar pulau itu? Kudengar seperti itu sebelum lulus." Hanya saja tidakkah kecemasan mereka terlalu berlebihan? "Yang kita bahas sebuah sekolah militer, fasilitas yang setara dengan fasilitas Pasukan Elit Dunia, pemilik tunggal dan terisolasi. Ditambah lagi, pemiliknya mendapatkan izin tersebut dengan cara yang licik, setengah mengancam beberapa Pemimpin Negara tersebut, kami khawatir kalau sekolah hanyalah kedok, khawatir kalau-kalau anak-anak tersebut dilatih sebagai pasukan pribadi untuk tujuan yang buruk. Tapi sebagai sebuah organisasi yang dipercaya, kami tidak bisa seenaknya mengambil kesimpulan sebelum mendapatkan informasi yang akurat. Singkatnya kami ingin mengirim anda sebagai mata-mata, setidaknya selama setahun sebelum kami bisa bertindak secara terbuka." Tapi setelah mendengar penjelasannya, kupikir itu masuk akal. "Apa yang harus kulakukan?" Kalau memang sekolah itu cuma kedok, maka aku akan membongkarnya. "Syukurlah kita sepemahaman, anda hanya perlu mendaftar ulang seperti anak-anak lainnya, belajar dan berbaur di sana sambil mengumpulkan bukti dan informasi. Kemudian berikan data-data yang anda kumpul pada saya musim gugur nanti, menurut informasi kami, mereka akan membuka sekolah untuk umum saat festival tahunan sekolah." Aku pun menyetujui permintaannya. Menghabiskan beberapa jam berikutnya dengan mendengarkan informasi, instruksi dan pelajaran singkat yang ku butuhkan. Barulah aku menandatangani surat perjanjian kerja sama sementara ini, membahas bayaran dan bersumpah untuk menjaga kerahasiaan. Kemudian kami berpisah seolah-olah tak pernah bertemu sebelumnya. Pulang ke rumah, membaca ulang map pemberian mereka kemudian membakarnya untuk menjaga kerahasiaan dan pergi menemui orang tuaku untuk membicarakan keputusanku memasuki sekolah tersebut. "Ayah, Ibu, bisa kita berbicara?" Tanyaku saat mereka tengah berkumpul dan membicarakan hal-hal remeh seperti biasanya. "Tentu saja, ada apa Heinz?" Ayah yang menjawab, memanggilku untuk ikut duduk bersama dengan mereka. Hanya kami bertiga, karena kakak-kakak ku yang lain sudah pergi ke asrama universitas, sedangkan yang sulung sudah menikah dan tinggal dengan suaminya. "Aku ingin mengubah pilihan sekolah lanjutanku." Aku menjawab secara langsung tanpa keraguan, menunggu dengan tenang keputusan mereka. "Tapi kenapa? Kau sudah bersusah-payah mengikuti ujian tes masuknya. Lagi pula ini sudah terlalu terlambat untuk mendaftar ke sekolah lain." Ternyata Ibu tak langsung memberikan jawabannya, ia menghampiriku dan mempertanyakan alasan ku baik-baik. Aku terdiam sejenak, berusaha memikirkan alasan yang masuk akal karena tak mungkin bisa mengatakan alasannya. Di saat itulah, teman masa kecilku, Tifa Lockhart yang kebetulan selalu satu sekolah denganku datang tanpa diundang, tanpa dibukakan pintu seperti biasanya. "Bantu aku berkemas Heinz!! Aku lupa kalau besok hari terakhir keberangkatan dari Negara kita!! Aku tidak mau ketinggalan pesawat dan mengulang tahun depan." Tanpa ia sadari kalau ia telah memberikan sebuah alasan bagiku, padahal sampai saat ini aku bahkan belum tahu kalau dia berniat melanjutkan ke sekolah itu. "Sebenarnya aku selalu mencemaskan Tifa, makanya kuputuskan untuk pergi ke sekolah yang sama dengannya, Ibu. Kalau mengenai masalah pendaftaran tak masalah, kami tak perlu melewati tes dan bisa langsung registrasi ulang." Alasan yang terdengar masuk akal dan bisa dimengerti orang tuaku. Bila mengingat bagaimana mereka juga selalu mencemaskan Tifa yang serampangan, terlalu liar dan suka lupa kalau dia seorang perempuan. "Oh, ternyata begitu. Kalau begitu bukankah kau juga harus berkemas sekarang? Pesawatnya berangkat besok bukan? Meski kami agak terkejut kau masih mau kembali ke sekolah dengan peraturan seketat itu, tapi kami percaya pada pilihanmu." Kedua orang tuaku tersenyum tulus. Sedikit membuatku merasa bersalah, tapi aku tidak akan goyah pada keputusanku sendiri. "Eh, kok kau tahu aku mau masuk Akademi Wallace, malah ikutan masuk sana. Jangan-jangan kau naksir aku ya!!" Canda Tifa setelah kami berpindah ke kamarku. Niatnya ia mau membantuku berkemas, baru setelah itu aku yang akan membantunya berkemas. Karena laki-laki itu bawaannya sedikit dan perempuan butuh lima koper untuk membawa keperluannya, itu kata Tifa. "Karena aku takut kau pulang-pulang sudah jadi seperti laki-laki, mana mau aku lihat adikku ini jadi hitam dan lusuh. Hahaha.." Balasku sambil bercanda, kemudian mengalihkan pembicaraan sebelum ia bertanya terlalu banyak. Entah seperti apa kehidupan sekolah kami nanti, tapi yang jelas aku punya firasat kalau semua itu tak akan sama dengan masa Sekolah Menengah dulu. Semoga saja kekhawatiran Tuan Gisele cuma sekedar dugaan belaka, kuharap sekolah itu sama saja seperti jenjang sebelumnya. Hanya sekolah militer biasa yang mencetak calon prajurit berbakat dan mengembalikannya ke negara mereka masing-masing setelah masa pelatih berakhir.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN