Adolf POV °♢°)/"
Ku tarik pelatuk, mengulang tembakan entah ke beberapa. "Sial! Benda sialan!" Mengumpat kesal tiap kali papan sasaran bergerak itu tak kukenai.
Aku benci menembak, benci memanah dan benci semua jenis pertarungan jarak jauh.
"Gagal lagi? Kau payah Adolf." Sangat benci pada Leane, kakak perempuanku yang sangat diakui Ibu sebagai sniper terbaik dalam keluarga kami.
Dia muda, cantik, berbakat dan s**t s**t bastard lainnya. Tapi bagiku ia hanyalah pengecut yang tidak berani berhadapan langsung dengan target.
"Diam kau b***h! Mengendap-endap di belakang dan menembak mati target dari jauh adalah cara seorang pecundang. Aku tak sudi kau hina!" Balasku kasar, melemparkan pistol sialan itu ke mukanya.
Wajahnya langsung memerah marah menangkap pistol itu. "Kau yang diam adik sialan! Hanya sampah yang tak bisa menghargai nilai senjata miliknya! Kau tak pantas di sebut seorang hitman keluarga Hunt!"
"Heh! Senjataku cuma gladius ini. Senjata yang pantas dipakai oleh seorang pemberani seperti ku." Memalukan sekali tingkahnya, sungguh mengherankan kenapa Ibu bisa begitu sayang padanya.
"Sombong, kenapa tak biarkan duel yang menentukan siapa yang terbaik." Dia bahkan terlalu mudah tersinggung, payah.
"Kenapa tidak? Siap-siap wajah jelekmu itu jadi lebih jelek, b***h!" Aku tak terpancing, hanya bersikap jantan menerima tantangan.
"Bocah cebol sialan!" Teriaknya, penuh fitnah dan langsung menembak padaku.
"Aku tidak cebol! Kau yang tiang listrik dengan d**a tripleks!" Aku yang cekatan ini tentu saja bisa mengelak dari tembakannya, sambil berlari ke arahnya untuk membuat perempuan sial satu ini merasakan gladiusku yang tajam.
Di saat itulah pengganggu datang, laki-laki yang menyebutkan dirinya ayahku mengambil posisi di antara kami, memukul mundur kami ke arah berlawanan. "Hentikan perkelahian anak-anak kalian, kau sudah cukup dewasa untuk tidak terpancing perkataan adikmu, Leane. Begitu juga dengan kau, Adolf. Hormati kakakmu, setidaknya selama peringkat keberhasilan misimu masih di bawahnya." Beromong kosong seperti biasanya.
"Cih! Persetan soal peringkat sialan itu!" Itulah kenapa reputasi keluarga Hunt bisa jatuh, karena orang-orang yang menjadi Kepala Keluarga selalu saja seperti itu. Beranggapan kalau hasil lebih penting daripada sumber dayanya, mereka bahkan memakai tipu daya dan mengkhianati kesepakatan demi keuntungan materi.
Memalukan! Aku tidak akan mau menjilat pecundang seperti itu.
"Tutup mulutmu! Aku punya tugas untukmu, bibimu Samantha mengirimkan ini untukmu, gunakan dengan bijak. Pergi dan raih kepercayaan Calon Kepala Keluarga mereka, dan kembalikan kepercayaan antar kedua keluarga yang sudah hilang." Aku bahkan tak sudi mengambil map hitam yang ia sodorkan padaku.
"Aku tak mau. Kepercayaan itu hilang karena kau dan Kepala Keluarga sebelumnya yang seenaknya menggunakan Bibi demi keuntungan pribadi dan mencoreng kepercayaan mereka. Sekarang, setelah mereka berhenti memintamu mengirimkan Calon Asisten, kau jadi takut kalau kerja sama di antara kalian juga akan hilang begitu Bibi mati bukan? Karena jika bukan karena pernikahannya, mereka sudah tak akan mau mendukung persenjataanmu lagi. Kenapa? Kau marah? Karena kata-kataku benar bukan?"
Hahaha.. Tepat sekali, Pak Tua itu langsung bungkam dengan tangan yang terkepal erat. Aku puas sekali bisa menghinanya, sekarang saatnya pergi dan mencari hiburan yang menyenangkan.
"Tunggu dulu Adolf, jangan pergi." Tapi begitu mendengar suara Ibu yang mendekat aku langsung berubah pikiran.
"Ibu, akhirnya kau pulang juga!" Riangku, berlari ke pelukannya. Harum, lembut dan amat cantik, dialah oasisku. Satu-satunya alasan kenapa aku masih mau tinggal di tempat para pecundang itu berkumpul.
"Iya, dan aku setuju dengan usul ayahmu, pergilah ke sekolah itu dan buat mereka mengakui kemampuanmu dan memintamu secara pribadi untuk menjadi Asisten Utama Kepala Keluarga berikutnya. Ibu percaya kau bisa melakukannya, dan kau mau melakukannya untukku bukan?" Argh! Pak Tua sialan! Sekarang dia tersenyum congkak di belakang Ibu, menyombongkan diri karena menggunakan seorang perempuan seperti itu.
Sungguh busuk!
"Tolonglah Adolf, ini kesempatan emas untuk memperbaiki hubungan kerja sama yang sudah terjalin ratusan tahun. Kita akan kesulitan jika mereka berhenti menyuplai persenjataan kita. Kupikir bibimu juga beranggapan demikian hingga memutuskan untuk mengirimkan undangan ini. Kau mau pergikan?" Dan aku benar-benar tak sanggup menolak permintaan Ibu, apalagi mengecewakan harapannya.
"Baiklah, aku akan berusaha. Tidak, aku pasti akan menjadi Asisten Utama yang dipilih langsung Calon Kepala Keluarga mereka. Aaron bukan? Tidak sulit mengambil hati sepupu cengeng itu." Silakan tertawa sekarang, Pak Tua. Suatu saat nanti aku akan membalasnya berkali-kali lipat.
Dengan terpaksa aku menerima map hitam itu darinya dan dengan senang hati menerima map lain dari Ibu. Sambil melemparkan tatapan merendahkan padanya, aku mungkin setuju demi Ibu, tapi aku tak akan pernah tunduk padanya!
"Bukan, mereka mengumumkan putri dari anak perempuan bungsu yang menjadi calon. Datanya ada di map pemberianku, pelajarilah dan pergi ke start point yang tertera dalam map seminggu dari sekarang. Selamat berjuang Adolf.." Segera berfokus pada Ibu setelah mendengar penjelasan itu.
Anak perempuan? Yang benar saja! Aku bahkan tak tahu mereka punya anak perempuan lain selain Emery. Ini sungguh lelucon sialan! Tapi itu berarti misi kali ini akan menjadi lebih mudah, hati perempuan yang rapuh lebih mudah disusupi.
Aku pun pergi ke kamarku untuk berkemas, berniat mengunjungi sepupuku yang lain sebelum pergi ke start point, kupikir berangkat dari start point di Miami lebih baik daripada yang di Boston ini. Jika melihat alamat yang mereka tunjuk, alamat rumah seorang kakek yang pernah menebar bom di kediaman kami saat insiden perusakan kepercayaan itu terjadi.
Hanya orang t***l yang mau ke sana dan memberi alasan pada kakek bau tanah itu untuk memulai pertikaian. Aku terlalu malas melakukan hal membuang-buang waktu seperti itu.
Ku masukan map-map itu ke dalam koper, berniat membacanya nanti nanti setelah sampai ke Miami, tapi rasa penasaran membuatku gatal ingin mengintip seperti apa targetku. Perempuan cantik? Jelek? Berotot? Kuharap cantik.
Kubuka map pemberian Ibu, membacanya sedikit..
'Feyrin, enam belas tahun. Seorang tipe petarung jarak jauh dan jarak dekat, sangat ahli menyusup, menguasai belasan bahasa asing, menguasai penggunaan ratusan jenis senjata, menguasai puluhan cabang ilmu beladiri, mampu mengoperasikan berbagai kendaraan darat, udara dan laut.' Apa-apaan ini? Data ini sungguh ngaur! Tak ada manusia sesempurna ini!
Setidaknya aku akan membaca sedikit lagi, lagi pula aku ingin tahu senjata tanda pewarisnya. Pedang yang menunjukkan kesan elegan, pisau yang menunjukkan kesan licik, atau pistol yang menunjukkan kebrutalan?
Dan apa yang kudapatkan? Ada apa dengan pemilihan senjata ini? Busur(cupid) dan anak panah? Apa maksudnya kata dalam kurung itu? Sial! Generasi sekarang memang lebih aneh!
Lalu apa ini, keterangan tambahan? 'Mempunyai kecepatan, penglihatan dan kemampuan penyembuhan sepuluh kali lebih baik dari manusia normal setelah mengalami mutasi tingkat sel akibat eksperimen ilegal yang ia terima saat balita.' Pasti ini ulah ayah Juvenal!
Lembar berikutnya menjelaskan tentang aktivitasnya selama ini, tergabung dalam puluhan komunitas pendukung LGBT dan b**m? Bahkan ada listnya. Pembuat sebuah website temu jodoh pasang gay, pendiri dua buah klub pencinta gangbang.
Sudah cukup! Menjijikkan sekali perempuan ini! Aku bahkan tak sudi membacanya lagi. Langsung melemparkan map itu ke dalam koper.
Suatu penghinaan bagiku jika tak sanggup menarik manusia hina sepertinya ke jalan yang benar dan membuatnya tunduk di bawah kakiku.
Dan dengan obsesi itu, aku memutuskan untuk segera berangkat, pergi mencari tiket penerbang tercepat yang bisa kutemukan.
Seminggu setelahnya aku kembali menyeret koperku memasuki sebuah galeri raksasa yang ditunjuk sebagai start point.
Di aula utama, ada sebelas laki-laki bertubuh tinggi dipenuhi otot berlebihan. Dengan penampilan serampangan khas petarung jalanan, gangster, atau manusia brutal yang tahunya menggunakan otot. Tipe kesukaan sepupuku yang cebol dan aneh itu.. dan tentunya Si Cebol juga ada di sini, makan es krim sambil berbaring malas di lantai?
"Hei! Sangat memalukan bagi seorang Tuan Muda bertingkah seperti gelandang." Tegurku, menendang kakinya ogah-ogahan.
Ia langsung berguling, merayap naik ke pundakku. "Adolf! Kau kangen sama aku ya? Ada bawa kakak cantik?" Berbicara m***m seperti biasanya.
"Tidak, mana ayahmu? Aku mau ikut berangkat dari start point yang ia jaga." Ku turunkan dia, menjitak kepalanya.
Anak itu langsung menadahkan tangan. "Start point ini sudah jadi tanggung jawab aku! Daddy terlalu malas buat urus hal sepele kayak gini. Bayar pajak dulu, bahan bakar pesawat itu mahal tahu! Jatah angkutan aku harusnya cuma dua belas!" Mulai memeras, sungguh mengherankan kenapa Tuan Muda sepertinya bisa bersikap seperti kalangan bawah yang terobsesi pada uang.
"Pas kan? Mereka cuma sebelas orang, nih. Dasar anak matre." Balasku, refleks memberinya uang saat bertatapan dengan mata berbinar-binar penuh harap itu.
"Nay! Richard pasti datang! Sebentar lagi, dia rekrutan favorit aku. Kuota aku sudah penuh, tambah bayarannya kalau mau aku angkut! Salah sendiri tak mau berangkat dari rumah Grannie!" Malah serakah.
"Baiklah, ini. Jadi kapan kita berangkat?" Terserahlah, itu cuma uang tak seberapa.
"Setelah Richard datang! Ah! Ada kakak E cup! Aku pergi ajak kencan dulu! Dadah Adolf!!" Tapi kenapa sifatnya bisa seburuk itu? Langsung berlari seperti anak anjing saat melihat seorang pengunjung galeri berpakaian minim.
Sial. Itulah kenapa aku malas berurusan dengan keluarga mereka, prioritas mereka selalu sangat menyimpang dari manusia pada umumnya.
Pada akhirnya aku hanya duduk dan menunggu keberangkatan seperti sebelas orang lainnya. Hingga pada akhirnya seorang remaja berwajah seperti buronan, kelihatan tua dan bertubuh paling tinggi dari yang lainnya datang sambil memegang peta.
"Aku tersesat, alamat yang kau berikan sangat membingungkan Bocah c***l!" Ia langsung memukul kepala sepupuku yang sedang asyik melakukan pelecehan pada perempuan E cup tadi.
"Akhirnya kau datang! Kau sangat menarik seperti biasanya, aku makin menyukaimu!" Sedangkan Juvenal malah tak peduli soal pukulan itu, matanya berbinar-binar antusias.
Menjengkelkan sekali. "Cih! Jadi kami harus menunggu hanya karena kau tersesat? Manusia otot payah!" Aku langsung mencibirnya.
Orang itu murka, berpaling padaku dan melemparkan tatapan mengerikan. "Apa masalahmu, Pendek?" Tapi sayangnya itu tak berpengaruh pada pembunuh profesional seperti ku dan malah aku merasa terhina olehnya.
"Ukuran badan bukan tolak ukur kekuatan seseorang, gunakan otakmu b******n! Biar kuhabisi kau!" Ayo bertarung sampai mati di sini!
"Kalian berhenti! Kalau mau duel pergi ke sekolah, pakai Colosseum! Nanti Mommy aku marah, galerinya lecet dan kotor oleh darah kalian! Dasar orang-orang bar-bar! Kalian mau ganti rugi berapa hah? Ikut aku ke lantai lima puluh, ada landasan helikopter di sana!" Tapi, ah sudahlah.
Juvenal benar, itu bukan tujuanku kemari, misiku bisa kacau kalau sampai terbawa emosi pribadi.
Sepertinya dia juga punya alasan tersendiri, memilih mundur saat ini dan melanjutkan masalah ini nanti, setelah tiba di pulau.
Aku sungguh tak sabar menantikan saat-saat menyenangkan menghabisinya, setidaknya sekolah ini tak seburuk itu.