Carlise dan para ballerina lainnya memberikan hormat pada pelatih setelah sesi latihan rampung. Setelah itu, Carlise pun beranjak untuk masuk ke dalam ruang ganti bersama rekan-rekannya. Tentu saja semua orang sudah merasa lelah dan memilih untuk segera berganti pakaian lalu pulang untuk istirahat dengan nyaman di rumah mereka masing-masing. Hal itu pula yang Carlise pikirkan. Sembari membereskan barang-barangnya, Carlise berbincang ringan dengan teman-temannya yang terbilang satu atau dua tahun lebih senior daripada dirinya.
Namun, meskipun Carlise lebih muda daripada mereka, para senior sama sekali tidak memperlakukan Carlise dengan berlagak. Mereka berpikir jika kemampuan Carlise bahkan lebih baik daripada mereka, dan Carlise tidak pantas mendapatkan perlakuan buruk dari siapa pun. Carlise memang terlahir untuk menjadi ballerina, dan sebesar itu pula rasa cinta Carlise pada bakatnya itu. Carlise permisi dan menjauh untuk menerima telepon dari ayahnya. “Halo, Ayah,” sapa Carlise saat tiba di sudut aula latihan yang sudah kosong. Carlise memang membutuhkan ruang yang lapang dan sepi untuk mengangkat telepon dari ayahnya.
“Halo, Sayang. Maafkan Ayah, hari ini Ayah tidak bisa kembali menjemputmu. Ada rapat yang tidak bisa Ayah tinggalkan,” ucap Baskara penuh penyeselan.
Carlise yang mendengar hal tersebut tentu saja agak kecewa, karena akhir-akhir ini sang ayah sering absen untuk menjemputnya dari tempat latihan. Namun, Carlise sendiri tahu jika ayahnya memang tengah sibuk, dan dirinya tidak boleh merengek seperti anak kecil. Setidaknya, sekarang Carlise tahu jika ayahnya tidak akan menjemput, dan dia bisa meminta sopir pribadi ibunya untuk datang dan menjemputnya. Tentu saja, Carlise harus mengambil tindakan pencegahan sebelum Daniel yang datang untuk menjemputnya.
Carlise tidak mau kejadian terakhir kali kembali terjadi, atau akan ada kejadian yang lebih parah daripada itu. Selain itu, Carlise juga harus menghindari Daniel, karena Carlise yakin pria satu itu pasti sudah memikirkan rencana untuk membuat dirinya kesal dengan membatalkan keinginan Carlise menuntut ilmu di Rusia. Apa pun caranya, Carlise harus berhasil mendapatkan izin dari ayah dan ibunya untuk menuntut pendidikannya di akademi ballerina terbaik di dunia ini.
“Tidak apa-apa, Ayah. Lise bisa pulang dijemput oleh Pak Karman. Ayah bisa meminta Pak Karman untuk menjemput Lise, bukan?” tanya Carlise.
“Ah, tidak perlu. Tadi Daniel kebetulan ada bersama dengan Ayah, dan dia menawarkan diri untuk kembali menjemputmu,” ucap Baskara membuat Carlise benar-benar kesal.
“Lise tidak mau dijemput Uncle Daniel, Ayah!” seru Carlise jengkel.
“Sayang, kenapa kamu terus memanggil Daniel dengan panggilan Uncle? Dia belum setua itu, Lise. Jika ada yang mendengar apa yang kamu katakan, pasti akan berpikir jika Daniel memang sudah berusia lanjut tetapi mengoperasi wajahnya agar tetap terlihat muda,” keluh Baskara karena tingkah putrinya yang sungguh menggemaskan. Ya, bagi Baskara tingkah Carlise ini sungguh menggemaskan. Padahal sejak kecil, Carlise benar-benar menempel pada Daniel, dan memanggil-manggilnya sebagai kakak. Namun, semenjak SMP Carlise mulai memanggil Daniel dengan panggilan uncle yang tentu saja kurang cocok untuk digunakan pada Daniel yang masih terlihat muda. Hal yang mendasari Carlise melakukan hal itu adalah hal sepele.
Carlise diledek oleh teman-temannya karena dirinya memanggil Daniel dengan panggilan kakak, padahal Daniel jelas-jelas berusia sangat jauh dengannya. Mereka mengatakan jika Daniel lebih pantas disebut sebagai paman atau uncle. Maka sejak saat itulah, Carlise lebih terbiasa memanggil Daniel dengan sebutan uncle. Tentu saja, Baskara dan Kartika tahu jika putra dari sahabat mereka itu merasa kesal dengan panggilan baru dari Carlise, tetapi dirinya menahan diri untuk tidak mengatakan apa pun.
“Memangnya kenapa? Toh Uncle memang sudah tua, dan pantas disebut seperti itu. Beda usia kami saja sampai sepuluh taun. Dulu, teman-teman Lise juga memanggil Uncle seperti itu,” ucap Carlise membela diri.
“Jadi, Ayah. Apa Ayah bisa meminta Uncle tidak menjemputku?” tanya Carlise lagi setengah berharap jika ayahnya mau mengabulkan permintaannya ini.
Hanya saja, bukannya Baskara yang menjab pertanyaan Carlise, malah sebuah suara yang berasal dari balik punggung Carlise. “Sayangnya hal itu tidak bisa dilakukan. Karena aku sudah ada di sini.”
Carlise menggigit bibirnya lalu berbalik dengan muka masam. Apa yang ditebak oleh Carlise benar adanya. Ternyata Daniel sudah sampai untuk menjemputnya, Daniel bahkan sudah berada begitu dekat dengannya. Sial, pikir Carlise.
***
Daniel membawakan tas Carlise dan mengikuti gadis manis tersebut memasuki ruangan khusus yang berisi perlekapan balet yang ia miliki. Baskara dan Kartika memang sangat mendukung Carlise dalam mencapai cita-citanya, karena itulah mereka menyiapkan berbagai fasilitas yang tentu saja akan mendukung semua yang Carlise inginkan. Hal itu dimulai dari sebuah ruangan besar yang diperuntukkan untuk menyimpan semua perlengkapan balet Carlise, mulai dari pakaian, sepatu, hingga aksesoris. Lalu, Baskara juga membuat satu bangunan terpisah dari bangunan utama kediaman sequis untuk dijadikan tempat berlatih bagi Carlise. Tentu saja, atas semua fasilitas tersebut, Carlise bisa mendapatkan ruang dan waktu yang berkualitas untuk berlatih.
Carlise duduk di salah satu sofa dan melepas cepolan rambutnya. Ia hampir lupa dengan keberadaan Daniel, dan menerima tas yang diberikan oleh pria itu. “Terima kasih, Uncle,” ucap Carlise.
Namun, Daniel sama sekali tidak menjawab ucapan terima kasih Carlise dan membuat Carlise berpikir jika dirinya marah. Carlise mengangkat pandangannya dan saat itulah netranya bertemu tatap dengan netra biru yang menyorot dingin. “Uncle marah?” tanya Carlise.
Daniel menggeleng. Pria itu berlutut di hadapan Carlise dan bertanya, “Apa kau benar-benar ingin pergi ke Rusia, Lise?”
Carlise pun mengangguk hingga helaian rambutnya yang sudah terurai jatuh ke sisi wajahnya dan menutupi pipi lembutnya. Daniel yang melihatnya, pada akhirnya mengulurkan tangan untuk menyelipkan helaian lembut tersebut ke balik telinga Carlise. “Memangnya kenapa kau berkeinginan sekuat ini?” tanya Daniel lagi.
Carlise benar-benar ingin menjawab dengan jawaban, “Karena aku tidak ingin bertamu dengan Uncle yang menyebalkan.” Namun, Carlise masih waras. Ia tidak mau membuat masalah dengan pria di hadapannya ini. Itu sama saja dengan cari mati, karena Carlise tahu jika Daniel selalu saja memiliki ide aneh yang membuatnya kesal setengah mati.
“Karena Lise ingin sekolah di akademi ballerina terbaik. Itu sudah cita-cita Lise sejak kecil,” jawab Carlise pada akhirnya. Toh, apa yang Carlise katakan memang bukanlah hal yang salah. Itu memang sudah menjadi cita-cita Carlise sejak kecil, dan Daniel sebenarnya sudah tahu hal itu. Sebenarnya, tidak berlebihan saat Daniel mengatakan jika dirinya mengetahui segala hal mengenai Carlise. Bahkan, Daniel saat ini saja tahu jika Carlise tidak mengatakan semua alasan yang mendasari keinginan dirinya untuk bersekolah di Rusia.
Namun, Daniel sama sekali tidak berniat mengungkapkan apa yang ia tahu tersebut. Daniel memilih untuk mengangguk dan berkata, “Kalau begitu, aku akan membantumu untuk meyakinkan Om Baskara.”
Mendengar hal itu, Carlise pun membulatkan kedua matanya merasa antusias. “Benarkah?” tanya Carlise.
Daniel mengangguk. “Ya. Om meminta pendapatku mengenai ini, tapi aku belum memberikan tanggapanku,” jelas Daniel semakin membuat Carlise merasa antusias saja.
“Kalau begitu, Uncle harus membantu Lise. Tolong yakinkan Ayah. Lise benar-benar ingin bersekolah di sana,” mohon Carlise dengan mengatupkan kedua tangannya dan menatap Daniel dengan kedua matanya yang bulat dan berbinar cantik.
Daniel menatapnya dalam diam untuk beberapa saat sebelum menghela napas panjang dan mengangguk. “Aku akan membantumu,” putus Daniel.
Carlise yang mendengar keputusan tersebut tentu saja bersorak dengan penuh kebahagiaan dan menerjang Daniel untuk memeluknya erat. Terjangan Carlise tersebut rupanya membuat Daniel hilang keseimbangan dan jatuh terbaring dengan Carlise yang berada di atasnya. “Terima kasih, Uncle memang yang terbaik!” seru Carlise sama sekali tidak menyadari bahaya yang sudah menunggunya di masa depan.
Daniel yang mendengar seruan Carlise tersebut, menyeringai. Pria itu mengulurkan kedua tangannya dan membalas pelukan gadis mungil yang berada di atas tubuhnya tersebut. “Sama-sama, Lise,” jawab Daniel dengan sekelebat binar aneh di kedua netra biru langitnya yang memancarkan aura sedingin es.