PART 76 - SENA KENAPA

1064 Kata
"Mas ganteng, pasti nyari aku ya?" ucap Mira mengedipkan matanya berkali-kali, dan bergelayut manja di daun pintu. Ia memandang Daniel dengan tatapan err- sedikit, nakal. Siapa yang tidak tergoda disuguhkan pria tampan yang modelannya begini. Entah pria ini siapa, tiba-tiba saja datang ke apartemen. Apa jangan-jangan pria ini ditakdirkan Tuhan untuknya, setelah menjomblo sekian lama. Kalau begitu ia akan sujud syukur ribuan kali. Akhirnya Tuhan memberikannya jodohnya yang tertunda selama ini. "Hah," Daniel menghela nafas. Baru tadi ia berdoa pada Tuhan agar tak mempertemukannya lagi dengan wanita ini. Tapi malah bertemu lagi. Ia secara sukarela menumbalkan dirinya kesini. Daniel menunduk, memijat pelipisnya, pusing. Sekarang harus bagaimana, belum saja ia memulai, sudah terkena serangan mental kedua kalinya. "Mas ganteng … so sweet banget sih kesini lagi. Pasti mau ngajakin nikah ya?" Mira mengedipkan mata mautnya. "Idih," ujar Mario merinding. Mira yang gombal, kok ia yang geli ya. Baru kali ini, ia melihat sosok Mira yang lebih menggelikan dari biasanya. Biasanya bikin malu, sekarang— tambah bikin malu. "Aku siap kok, kalau diajak nikah sekarang juga," Mira mengedipkan matanya berulang kali. "Ngapain ngedip-ngedip kayak gitu, cacingan?" Wajah Mira berubah masam, "Ganggu aja sih, orang lagi kasmaran." "Lagi lu ngapain kayak gitu Maemunah, gatel banget kayak ulet bulu pohon nangka. Nyosor mulu …" "Yang namanya jatuh cinta, dunia hanya milik berdua kayak lirik lagu aja bulan madu di awan biru. Lagian sirik aja deh. Ga bisa ngeliat orang lagi kasmaran. Aku tuh lagi jatuh cinta sama mas ganteng. Jadi please, don't speak." "Hadeh ... suka-suka lu dah, Mirasantika. Apa si kurangnya gue dibandingkan orang ini? Palingan cuman kurang … kurang tinggi aja, kurang ganteng, kurang mobil, kurang-" "Kurang semuanya," sahut Mira yang kembali memulai lagi dunia pergelutan. Dan sudah bisa ditebak, apa yang terjadi. Jika Mira dan Mario berdebat. Benar, pergelutan. Pergelutan ronde dua dimulai. Tingkah mereka berdua tak luput dari sorotan Daniel. Ia mungkin tidak terlalu memperhatikan Mira, karena perempuan itu tak ada urusan dengannya. Tapi laki-laki yang berdiri di hadapannya menjadi sorotan terbesarnya. Pria yang di hadapannya, adalah pria yang menculik gadis-nya sampai tak pulang berminggu-minggu. Pria yang berani-beraninya membuat gadis-nya pergi tak kembali. Pria yang lancang, membuat gadis-nya tinggal bersama. Cinta murni yang dulunya Daniel persembahkan untuk Davina, sekarang berubah menjadi obsesi. Ia gila akan cintanya. Bukan ia yang menaklukkan cinta, tapi cinta lah yang menaklukannya sampai hilang akal. Daniel bahkan sampai sekarang tak akan mengerti tentang hukum alam. Bahwa semakin erat kita menggenggam pasir, maka semuanya akan terlepas. "Mana Davina?" ucap Daniel to the point. Tak mau bertele-tele. Sontak mereka berdua berhenti bergelut. Memandang Daniel dengan tatapan heran. "Davina?" ujar mereka bersamaan. Mira dan Mario saling bertatapan, Mira menatap Mario memberikan kode Davina siapa. Tadi Mario hanya mengendikan bahu, membalas kode tidak tahu. "Mana Davina?" "Lah mas ganteng? Yang namanya Davina mah ga ada disini. Adanya Mira. Ini bidadari yang berdiri di hadapan mas ganteng." "Minggir!" Daniel yang tidak ingin bertele-tele, berusaha menerobos masuk ke dalam apartemen. Namun tubuh Mario menghadangnya. "Lah lah, apa-apaan ni. Ga ada angin, ga ada ujan main nyelonong aja," jawab Mario menghalangi tubuh jangkung Daniel. "Saya tau, kalian berdua bersekongkol, kan menculik Davina?!" Daniel mencoba menerobos lagi, namun Mario mendorong bahu Daniel hingga ia mundur beberapa langkah "Et et, tunggu dulu! Maksudnye ape nih? Tuh, kan logat Betawi gue keluar. Ini gue kalo dalam tahap ga suka maksimal, logat Betawi keluar nih. Lagi nih ape si dateng kucuk kucuk, ga ngenalin diri. Tiba-tiba nanya Davina. Yaa mana gue tau Mulyadi." Daniel mengepalkan tangan, geram, "Mana Davina?!" Daniel mengeraskan suaranya, membuat dinding gemetar. Mira mendekatkan tubuhnya ke Mario, tersentak mendengar bentakan dari pria itu, "Mas ganteng ... kok marahin Angel? Hati Angel terluka." "Davina Davina. Davina sape si Imron? Kenal sama Davina aje kaga," jawab Mario frustasi sendiri. "Minggir!" Lagi-lagi Daniel ingin menerobos masuk, tapi badan Mario menahannya. ***** Setelah beberapa menit berdebat dengan orang aneh yang memaksa masuk mencari Davina. Mario pun menutup pintunya. Dan Mira, ia berlari menangis ke kamar yang baru saja ditolak takdir. Ia kira Daniel adalah takdirnya. Seperti drama-drama di film awalnya tersasar ke rumah orang, ujung-ujungnya malah tersasar ke hati. "Davina?" Mario mengernyitkan dahi, mengingat kembali nama Davina. "Kayak ga asing namanya." Mario memutar otaknya, mencari nama Davina. Selang beberapa detik ia seperti teringat sesuatu. "Oh iya, tadi Sena, juga nyebut nama Davina. Terus cowok tadi nyebut nama Davina juga. Sebenernya Davina siapa si? Pada nyari Davina," Mario menggaruk-garuk rambutnya, menyambungkan ucapan Sena dan ucapan Daniel seperti benang merah. Berulang kali Mario bertanya-tanya pada otaknya siapa Davina. Namun otaknya belum bisa memecahkan pertanyaan tersebut. "Pusing gue." Mario mengacak-acak rambutnya sampai tak terbentuk. "Kenapa gue harus mikirin Davina yak, mendingan mikirin–" "Oh iya Sena! Sena pingsan! Astaga kok bisa lupa ... telepon dokter, telepon dokter," ucap Mario panik, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celana. Bisa-bisanya ia lupa Sena pingsan, karena sibuk bergelut dengan Mira, dan meladeni pria aneh itu. Daniel mencengkeram erat setir kemudinya, hingga kukunya memutih. Peristiwa-peristiwa tadi memutar di otaknya seperti kaset yang saling terhubung. Di mulai dari pertemuannya dengan Davina yang sedang jalan dan tertawa dengan pria itu. Dan pria yang ia lihat jelas tepat di depan matanya. Daniel meraih ponselnya di atas dashboard, mencari nomor kontak detektifnya. Ia menekan tombol speaker, menunggu jawaban dari ujung sana. "Halo tuan Daniel." "Tolong cari tahu seluk-beluk Mira wanita yang berada di rumah Dion. Dan temukan juga foto Dion malam ini." "Baik, tuan Daniel. Siap laksanakan." Tatapan Daniel berubah. Wajahnya berubah datar, tanpa ekspresi. Ia semakin erat mencengkram setir. "Dan cari tau pria berambut kribo yang berada di rumah Dion." ***** Dokter wanita memeriksa denyut jantung Sena dengan stetoskopnya. Setelah selesai, ia melepaskan stetoskop dari telinganya, dan mengalungkannya di leher. "Gimana keadaannya, Dok?" tanya Mira khawatir. Begitupun dengan Mario, ia juga sama khawatirnya. Meskipun awalnya ia menolak kedatangan Sena untuk dirawat Dion dan tidak peduli pada Sena takut dirinya terseret hukum, sekarang ia menjadikan Sena sebagai prioritasnya. Menjadikan Sena bagian dari hidupnya. Melihat Sena sakit saja membuat Mario panik setengah mati. Mario menatap wajah Sena yang tertidur tenang. Cahya mentari membias wajahnya yang indah. Kenapa setiap kali ia melihat wajah Sena tertidur, luka lamanya kembali terbuka. Pikirannya selalu menerawang pada saat kejadian itu. "Apa dia pernah mengalami benturan di kepala?" Mario dan Mira saling bertukar pandang. Mario mengangguk, "Iya Dok." Dokter wanita itu menghela nafas. Melihat reaksi dokter seperti itu, membuat Mario ketar-ketir ketakutan, "Ken-kenapa reaksi dokter kayak gitu, Sena kenapa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN