PART 77 - MENGEMBALIKAN INGATAN

1011 Kata
Dion menghentikan langkahnya di depan pintu yang terbuat dari kayu jati. Selesai berbelanja di pasar, ia memutuskan kesini untuk mengecek keadaan Dimas. Memastikan apakah kondisi Dimas baik-baik saja, atau semakin parah. Tok tok tok "Dim." Glenn dan Dimas yang tadinya berdebat di atas ranjang, pun berhenti. Setelah mendengar suara ketukan pintu dan suara dari orang yang baru saja mereka perbincangkan. Glenn dan Dimas saling bertukar pandang, "Dion." Dimas mendadak panik, "Aduh, Dion denger ga ya tadi?" "Lu si b*go. Pake bahas ginian." "Terus gimana dong?" Dimas mengacak-acak rambutnya panik. "Gue ga mau terlibat ye anj*ng sama rencana gila lu itu." "Cuma sebentar doang Glenn, 12 hari. Lu cuma bantuin gue deketin Dion sama Chika. Bayarannya juga gede, untungnya bisa kita bagi dua." Tok tok tok "Dim, ini gue Dion. Gue boleh masuk?" Glenn beranjak dari ranjang, dan menatap Dimas tajam, "Mau gue dibayar 1 milyar sekalipun. Gue ogah dapet duit dari membisniskan perasaan temen. Makan aja duit tu sama lu." Glenn menjauhi ranjang, namun beberapa langkah, ucapan Dimas menghentikannya. "Yaelah Dim, duitnya bisa lu pake buat pengobatan Mama lu, kan?" Tok tok tok "Dim?" Dimas pun menyahut, "Iya Yon. Sebentar." Glenn mengepalkan tangannya, memandang lurus ke arah pintu, "Pengobatan mama gue bukan urusan lu," ucap Glenn dingin. "Apa lu tega ngeliat mama lu sakit parah kayak gitu?" "Bukan urusan lu," jawab Glenn dingin lalu berjalan ke arah pintu. Dimas hanya bisa menghela nafas sebal. Rencana yang ia buat untuk mengajak Glenn bekerjasama gagal. Padahal hanya Glenn satu-satunya teman yang dapat membantunya. Mereka bertiga adalah teman dekat squad yang sering berkumpul dan nongkrong bareng. Lagipula jika Glenn membantunya, lebih bisa meyakinkan Dion untuk jadian sama Chika, dibandingkan meminta bantuan dengan orang lain. Lagi pula kapan lagi dapat uang puluhan juta yang tugasnya cuma jadi mak comblang. Masalah teman suka atau tidak, hal belakangan. Yang penting cuan dulu. Di dunia ini, semua butuh uang. Kalau ada kesempatan, buat apa disia-siakan. Cklek..! Glenn membuka pintu, terlihat sosok Dion yang berdiri di hadapannya membawa dua plastik belanjaan warung. "Oh, lu udah pulang?" tanya Glenn dengan nada datar. Ia memang tipe-tipe pria Tsundere yang selalu dingin. Dion mengangguk, "Udah." Glenn menggeser tubuhnya, memberi Dion lewat. Dimas kembali tertidur, dan menarik selimutnya. Kembali berpura-pura. "Belum sembuh, Dim?" Dion berjalan mendekati ranjang Dimas. Dimas menggeleng, "Belum, Yon." Sementara di ambang pintu, Glenn menghela nafas, "Haah," Ia bahkan malas untuk ikut campur lagi dengan rencana Dimas. Tapi ia sudah terlanjur terseret. Ingin pergi dari sini, tapi takut Dimas akting keterlaluan, jadi lebih baik ia mewanti-wanti saja. Dan pada akhirnya Glenn menutup pintu, dan bersandar di daun pintu, sambil melipat dua lengannya di depan d*da. Ia menatap datar dua insan yang berada di atas ranjang Dion duduk di tepi ranjang, dan meletakan dua keranjang plastiknya di bawah lantai. "Tadi gue beli obat-obatan." "Thanks," jawab Dimas lemah. Dion menunduk, mencari obat-obatan di dalam plastik. Setelah ketemu, ia meletakkannya di atas nakas, samping ranjang. Dan tak lupa satu botol air minum 100 ml. "Diminum, Dim." Dion beranjak dari ranjang, menatap sahabatnya yang terkulai lemas. Dimas mengangguk, "Iya makasih,Yon. Sorry gue ngerepotin." Dion menggeleng, "Engga kok. Yaudah lu istirahat aja. Gue cuma sebentar doang jenguk, ada kegiatan lain." Dimas mengangguk, "Sorry, gue ga bisa ikut kegiatan hari ini." "Hah," lagi-lagi Glenn cuma bisa menghela nafas. Jika tidak ada Dion disini, mungkin ia akan memberi pelajaran yang tertunda untuk Dimas. "Iya. Yaudah gue duluan." Dion beranjak pergi, namun ucapan Dimas menghentikan langkahnya. "Yon?" Dion menoleh ke belakang, "Hmm?" "Menurut lu Chika orangnya gimana?" Dion mengernyitkan dahi, "Chika?" "Iya Chika … menurut lu orangnya gimana?" Dion berpikir sebentar, memberi jeda, "Yaaa … ga gimana-gimana." "Masa ga gimana-gimana?" "Ya emang harus gimana?" Dion menaikan satu alis. "Emangnya lu ga ada perasaan apa-apa?" ***** "Aduh, kok motong wortelnya kayak gini sih?" protes seorang panitia wanita, melihat hasil potongan Chika yang amburadul. Chika memang memotong wortelnya tidak niat. Dan malas-malasan. Siapa suruh menyuruhnya memasak. Jadi terserah ia dong memotong bentuknya seperti apa. Tak! Tak! Suara keras memotong wortel di atas talenan membuat sang panitia wanita tambah kesal. Pekerjaan yang tadinya harus selesai, jadi lama. "Kita itu mau bikin sayur sop. Gimana caranya coba kalo motong wortelnya tebal-tebal gini?" Ia mengambil satu potong wortel yang dipotong Chika. Yang jika diukur panjangnya 6 cm. "Yaudah si, yang penting makan." "Motong wortel itu harusnya serong tipis-tipis. Bukan panjang-panjang kayak gini. Siapa yang mau makan kalo bentuknya kayak gini? Ngeliatnya aja takut." "Makan tinggal makan." "Ini tuh buat makan bersama. Bukan buat perut kamu sendiri. Kalo kamu ga mau makan ya terserah kamu. Tapi kalo semuanya ga mau makan karena wortelnya di potong kayak gini. Akhirnya kebuang jadi Mubazir." "Kan gue bilang. Kalo mau makan yaudah, kalo ga mau makan ya terserah." Jawaban Chika membuat aliran darahnya naik. "Udahlah Chik, ga usah kerja!" Chika menghempaskan pisau dan wortel di tangannya, "Dari tadi kek. Ngabisin waktu gue aja." Mario duduk di salah satu kafe kopi. Ia duduk di paling ujung dekat jendela sambil menatap pemandangan di luar jendela. Dan menerawang jauh perkataan dokter tentang Sena. "Bisa kita bicara sebentar pak Mario?" Mario mengangguk, "Oh iya, Dok." "Kita bicarakan ini di ruang tamu aja." "Oke Dok." Dokter keluar kamar setelah meminta izin dari Mira. Mira pun mengangguk. "Mir, gue keluar dulu ya. Jagain Sena." Mira mengangguk, "Iya, Mar," jawabnya dengan perasaan dag-dig-dug. Ia penasaran dengan apa yang terjadi dengan Sena. Meskipun ia dan Sena baru kenal belum cukup satu bulan. Tapi Sena sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, bukan sekedar murid yang belajar bersamanya. Mario dan dokter wanita bersama Laras. Duduk berhadapan di sofa. Suasana mendadak hening, dan serius. Mario merasa jantungnya berdebar-debar, menunggu jawaban dari dokter. Semoga tidak ada vonis yang buruk tentang kondisi Sena. "Kapan benturan di kepalanya terjadi? Apakah baru?" Mario mengangguk, "Iya Dok, tidak sampai satu setengah bulan." Dokter Laras menarik nafas, dan menghembuskannya, "Apa dia mengalami amnesia?" Mario menelan ludah, "I-iya." "Satu hal yang seharusnya tidak kalian lakukan kepada penderita amnesia. Jangan paksa mereka untuk mempercepat ingatannya kembali. Itu akan menyakiti otaknya. Dan itu sangat menyakitkan." Mario termenung. Mengingat-ingat kembali, bagian mana yang membuat dia memaksa Sena mengembalikan ingatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN