Wiuuu~
Suara sirine meraung-raung memenuhi jalan. Kendaraan beroda empat itu menembus kerumunan manusia yang melingkari tempat kejadian perkara. Mereka yang melihat mobil polisi datang, segera menepi memberi jalan.
Pada subuh dini hari, seorang pria yang hendak sholat berjamaah dikejutkan dengan darah yang berceceran di trotoar sepanjang dua meter. Dan pada paginya sekitar jam 8, pria itu bergegas melapor ke polisi, menjelaskan kejadian yang ia lihat.
Kedua polisi berbadan tegap dengan raut wajah tegas keluar dari mobilnya, menghampiri tempat kejadian.
Mereka yang menyaksikan itu pun melangkah mundur, membiarkan polisi mendekati TKP.
Sontak kedua polisi itu mengamati dengan seksama, ceceran darah yang memanjang di sepanjang jalan.
Polisi yang memiliki Nametag bernama Setiyoso berjongkok, memandang darah itu dengan kening berkerut, lalu membuka suara, "Sepertinya ini tabrak lari. Kalau pembunuhan tidak mungkin darahnya berceceran sepanjang ini," ucapnya menduga-duga.
Temannya yang berdiri di samping bernama Jamil membalas, "Kita tidak bisa menyimpulkan itu dengan mudah. Bisa saja ini pembunuhan, sang pelaku menarik korban sejauh dua meter lalu menghilangkan jejaknya."
Sutiyoso mengangguk, "Benar," ucapnya lalu berdiri.
Kedua polisi itu pun bergegas melintangkan garis kuning di TKP. Menghindarkan tempat ini dari sentuhan tangan manusia. Bagaimanapun tempat ini masih dalam penyelidikan.
Kejadian ini tentu saja tidak luput dari pemberitaan media. Kamera menyoroti setiap detail-detail peristiwa. Dan juga seorang reporter yang turut andil ke lokasi, memberitakannya. Kejadian ini tersebar sampai ke Televisi dan media sosial.
"Peristiwa mengejutkan dan misterius terjadi di jalan Raya Angkasa 2, setelah seorang pria paruh baya yang hendak pergi sholat berjamaah menemukan darah yang berceceran sepanjang 2 meter. Kejadian ini ditemukan pukul subuh dini hari. Belum diketahui penye-"
Klip.
"Yaah kok dimatiin?"
Sena yang asyik menonton berita memberengut kesal, saat Dion menekan remot. Mematikan siaran.
"Makan dulu," ucap Dion memotong apel menjadi bagian-bagian kecil.
Sena mengerucutkan bibirnya, "Tapi aku udah kenyang …"
"Habisin dulu apelnya," ucap Dion menyuapkan satu potongan apel.
Sontak Sena menggeleng cepat, lalu menutup mulutnya dengan telapak tangan, "Gak mau …"
"Kalau apelnya nangis gimana?"
"Emang apel bisa nangis?"
Dion tersenyum, "Bisa."
Sena melepaskan tangannya, "Gimana coba?"
Dion melengkungkan bibirnya ke bawah, menirukan orang menangis, "Huuuuuuu."
"Ih mana ada!"
"Ada. Tuh tadi apelnya nangis. Jadi makan dulu ya," Dion menyodorkan satu apel ke mulut Sena, namun gadis itu kembali menggeleng dan menutup mulutnya.
"Eleh eleh anak muda. Lagi di rumah sakit, siang bolong gini mesra-mesraan. Rumah sakit woy! RUMAH SAKIT. Jangan lupa di koridor sebelah ada kamar mayat. Kuping mereka panas denger keuwuan ini. Kanan kiri malaikat raqib atid, mencatat perbuatan kalian. Dan Yang maha kuasa menatap kalian, yang bukan mahram duduk berduaan di satu ranjang! Ber-dua-an. Beeeeeuh. Huuuh," ucapnya heboh.
Dion menghela sebal. Ia tahu siapa pemilik suara paling menyebalkan di dunia.
"Bacot Mario Bross."
Dion menurunkan potongan apelnya ke dalam piring kecil. Lalu meletakan piring itu ke atas nakas. Netranya menatap sesosok pria berkulit kuning langsat, dengan rambut kribo memakai setelan kaos ungu, dan celana training.
"Yee, jomblo-jomblo gini banyak yang naksir ye," Mario melesat masuk membawa dua kantong plastik minimarket Alfimart. Lalu meletakkannya di atas nakas.
"Siapa yang naksir? Nenek-nenek palingan."
Buk…!
Satu pisang mendarat di ubun-ubun Dion. Membuat pria itu mengaduh.
"Hei anda … Belum aja dilempar kulkas. Ini baru pisang aja, nanti sekalian sama pohonnya."
Dion terkekeh, lalu meletakan pisang itu ke atas nakas.
"Udah, gausah dengerin. Jomblo gitu. Hatinya selalu panas. Gak bisa liat yang mesra dikit … bawaannya dengki."
Sena tertawa. Kelopak matanya yang indah menyipit, membentuk bulan sabit. Deretan giginya yang rapih, membentuk sebuah senyuman.
Senyuman termanis di dunia yang Dion lihat.
Sejenak Dion terpana. Jika dimitologikan Sena terlihat seperti seorang Dewi di matanya. Dewi Psyche. Dewi paling cantik dalam mitologi Yunani. Yang kecantikannya terkenal, membuat siapapun pria yang melihatnya jatuh cinta.
"Woy!"
Dion tersentak, hampir saja ia terjatuh dari atas ranjang. Mario sia-. Huh hampir saja ia ingin berkata kasar, kalau tidak ingat ada Sena disini.
Sena sekarang seperti kertas putih. Polos. Yang ia ajarkan, perlihatkan, dan yang ia bicarakan harus baik-baik. Ya dia seperti pulpen sekarang. Jika ia mencoret kertas dengan hal yang baik, maka kertas itupun isinya akan yang baik.
Lagipula, ia juga tak ingin mengajarkan Sena kata yang kasar.
"Apasih jomblo. Ganggu aja."
"Bengong mulu. Gue panggil daritadi ga denger-denger. Mikirin apa lu?"
Dion menggaruk tengkuknya yang tak gatal, "Ya-ya …" mendadak ia gugup, tidak mungkinkan ia mengatakan bahwa ia memperhatikan Sena.
"Mikirin jorok ya!" Celetuk Mario.
"Sembarangan kalo ngomong," protes Dion.
Mario terkekeh, lalu mengeluarkan beberapa belanjaan yang ia beli di minimarket. Seperti beberapa roti, dan camilan.
Juga beberapa buah, dan minuman sehat.
"Keadaan kamu gimana?" ucap Mario buka suara sembari menyusun belanjaan yang ia beli di atas nakas.
Sena tersenyum, "Baik."
Mario mengangguk-angguk, "Syukur deh. Nanti kalau udah sembuh kamu bisa pulang."
"Iya," ucap Sena mengangguk tersenyum.
"Yon, si Roni nyariin lu tadi tuh. Dia nelpon gue, katanya nomor lu ga aktif."
Dion menepuk dahinya, "Oh iya! Gue lupa mau bicarain soal rapat minggu depan."
Mario tersenyum kecil, "Sibuk ya ketua BEM."
"Selalu," ucap Dion singkat, lalu beranjak dari ranjang mengambil kunci mobilnya yang bertengger di atas nakas.
"Mar, gue titip Sena."
"Iya selow, gue jagain."
"Awas lu ye. Jangan sampai gue liat ada setitik luka lecet di kulit Sena."
"Iya iya bawel banget kayak ibu kos."
Dion sedikit menunduk, lalu mengusap pucuk kepala Sena lembut.
"Sen aku pergi dulu ya. Nanti aku kesini lagi."
Sena tersenyum lebar, "Iya hati-hati."
Dion membalas senyuman itu, lalu beranjak pergi menuju pintu.
*
*
Seorang ibu paruh baya menangis di kantor polisi, menunjukan foto anak gadisnya yang tak pulang-pulang. Pria paruh baya yang berada di belakangnya, mengusap-usap pundak istrinya. Berharap istrinya akan berhenti menangis.
"Sudah Bu, jangan menangis lagi. Biar pak polisi yang tangani ini."
Istrinya menoleh ke belakang, dengan mata memerah, "Bagaimana aku bisa tenang pak? Anak kita hilang," ucapnya sesenggukan.
Polisi dengan perawakan muda itu mengulum bibirnya, memperhatikan foto gadis cantik yang hilang itu, "Jadi dari kapan anak ibu hilang?"
"Hiks hiks kemarin pak. Hape nya juga tidak bisa dihubungi. Tolong temukan anak saya pak. Saya mohon. Hiks hiks."
"Bu, Bu udah. Jangan nangis kayak gitu terus toh. Ndak enak di dengar orang," ucapnya mengusap-usap bahu istinya.
Polisi itu mengangguk pelan, "Iya Bu, nanti kami pihak kepolisian akan menyelidiki kasus ini lebih dalam," ucapnya lembut dan tenang.
Ibu yang tadinya menangis sesenggukan, meraih tangan polisi itu. Merasa ada secercah harapan, untuk menemukan anaknya, "Tolong pak. Tolong temukan anak saya. Tolong temukan Davina."
"Iya Bu. Pasti …" ucap polisi itu tersenyum, lalu menepuk-nepuk pelan tangan ibu Davina.
"Tante, Om tenang aja. Semuanya akan baik-baik saja kok. Jangan khawatir, aku juga sebagai sahabatnya Davina juga bantu cari," ucap seorang gadis yang berdiri di sebelah ayah Davina. Chika. Sahabatnya Davina dan juga satu-satunya teman yang dianggap bagian dari keluarga.