PART 3 - SENA

1005 Kata
"Kamu udah sadar?" ucap Dion tersenyum senang, akhirnya ada secercah harapan. Ia benar-benar tak bisa tidur kemarin. Wanita itu menoleh ke sumber suara. Kepalanya masih terasa berat, dan sakit. Netranya menangkap dua orang pria yang berdiri di samping kirinya. Pria putih dan tampan berambut spike, dan pria berambut kribo, berkulit kuning langsat. "Kenapa aku di sini?" ucap wanita itu ingin duduk, tapi Dion mendorong pelan bahu ringkih itu agar berbaring kembali. "Jangan kamu masih lemah." Wanita itu melihat ke duanya dengan tatapan bingung, "Aku dimana?" Mario menggigit kuku jempolnya, mulai panik. Harusnya ia menarik Dion pergi dari sini. Bagaimana jika diagnosis dokter tentang amnesia itu salah. Kehidupannya akan berakhir disini. Ia bahkan tak bisa membayangkan, jika wanita itu ingat bahwa ia dan Dion adalah pelaku tabrak lari. Reputasi masa mudanya bisa hancur. "Rumah sakit," jawab Dion menarik selimut wanita itu sampai batas d**a. "Kamu inget ga, nama kamu siapa?" tanya Dion penasaran. Wanita itu mencoba mengingat tapi nihil. Ia tak ingat apapun. Wanita itu menggeleng lemah. "Rumahmu dimana?" Mario buka suara. "Rumah?" Wanita itu berpikir keras, namun ia tak bisa ingat apa-apa. Mario bernafas lega. Diagnosis dokter itu ternyata benar. Wanita itu menatap keduanya penuh dengan tanda tanya,"Kamu siapa?" ucapnya menunjuk Dion. "Oh aku," Dion menunjuk dirinya sendiri, lalu melanjutkan kembali ucapannya, "Dion … Dion Fawaz Al Gibran. Panggil aja Dion." "Oh Dion," wanita itu mengangguk, lalu menunjuk pria di samping Dion, "Kalau kamu?" "Mario Dewa, panggil aja Mario. Kata ibu, cowo yang paling ganteng yang pernah dilahirkan. Soalnya anak tunggal." Bukk…! Dion memukul lengan pria kribo itu, "Jangan ngomong yang aneh-aneh bangsut." Wanita itu tertawa kecil melihat interaksi keduanya. Namun tawanya terhenti, ketika dia merasa bingung akan sesuatu. "Kalau aku … namaku siapa? Aku ga inget." Dion dan Mario saling tukar pandang, kebingungan menjawab pertanyaan yang satu ini. Mario yang memandang ke arah lain, dan Dion yang menggaruk-garuk tengkuknya. "Nama yaa … Ehm nama- oh, nama kamu-" Dion berpikir keras. "Namaku siapa?" "Nama kamu …" Wanita itu menunggu, "Iya?" "SENA." "Hah?" Mario menganga, menatap sahabatnya. "Iya Sena, nama kamu Sena," ucap Dion gugup, jujur saja ia hanya ngasal. Toh, wanita itu juga tak ingat namanya sendiri. Jadi tidak apa-apa, kan mengarang. Bukk…! Mario memukul lengan pria itu keras, lalu membisik, "Gila lu ndro, maen Sena aja," "Yaaa abisnya gue harus jawab apalagi, kambing," jawab Dion setengah membisik. "Terus ini anak orang mau lu tampung di mana?" "Apartment gue lah." "Ebussett, maen apartemen aja. Belum halal ye cowok cewek bukan mahram tinggal satu rumah." "Udah lu diem aja, kambing. Bawel amat." "Jangan cari kesempatan lu yee, gue tandain muka lu." "Yeee emangnya gue cowo apaan." "Emang lu cowo apaan?" tanya Mario. "Cowo normal lah. Gila kali." "Yaaa justru karna lu cowo normal, Saepudin Ahmad Jalaludin makanya ga boleh satu rumah! Nih ye, kalo ada cowok sama cewek berduaan, yang ketiganya setan." "Ga bakal gue apa-apain selow. Gue pria yang menjujung tinggi harkat dan martabat wanita," jawab Dion percaya diri. Mario menyilangkan kedua lengannya di depan d**a, "Kaga percaya gue ame lu." Dion mendekatkan wajahnya ke Mario,"Iri?" Lalu melanjutkan lagi,"Bilang bos! Hahaha." "Bangsuutt." Wanita yang baru saja memiliki nama Sena, memandang lucu perdebatan tidak penting ini. ***** Pria bersurai legam yang memakai kemeja putih menatap kosong. Ia duduk sendirian di taman pekarangan kampus. Menatap para mahasiswa yang berlalu lalang. Ada yang duduk di bawah pohon, berteduh. Ada yang duduk di rerumputan, mengerjakan tugas. Pria itu tercenung. Mengingat kejadian kemarin. Hal yang paling ia sesali seumur hidup. Saat dimana ia melanggar kepercayaan orang yang mencintainya. Hubungan yang ia bina selama 5 tahun hancur berkeping-keping. Hidupnya seakan runtuh. Pria itu menunduk, bersalah. Terbayang dosa dan pengkhianatan yang ia lakukan. Terlebih lagi, setelah kejadian itu. Gadis itu menghilang. Tak bisa dihubungi. "Sayang." Ia sedikit tersentak, saat kedua matanya ditutup dari belakang. Ia tersenyum lebar, mengusap-usap tangan lembut itu. Ia yakin, gadisnya kembali. Karena hanya gadis itu yang selalu mengucapkan kata sayang. Ia melepaskan tangan halus itu. Lalu menoleh ke belakang. Namun, bukan orang yang ia harapkan. Raut mukanya berubah dingin, "Ngapain kesini?" Wanita yang memakai bandana merah mengerucutkan bibirnya, "Ya nemuin kamu lah, kan kangen." Wanita itu tiba-tiba saja menyosor ingin mencium bibir, namun pria itu memalingkan wajahnya. Sehingga ciuman itu mendarat di pelipis. "Kenapa nolak?" tanya wanita itu. "Kita ga ada hubungan apa-apa." Wanita itu tersenyum sarkas, "Ga ada hubungan apa-apa? Terus selama setahun ini apa?" "DANIEL." "Aku udah berjuang mati-matian buat kamu. Kita udah pacaran satu tahun, kamu lupa?" Pria itu menatap tajam wanita di hadapannya, "Pacaran apa Chika? Aku sama sekali ga pernah menganggap kita pacaran. Cuma kamu yang anggap itu." "Ga anggap?! Kamu nge-lupain aku demi cewek murahan itu?" Daniel berdiri, tak terima, "Jaga ya ucapan kamu. Gara-gara kamu semuanya berantakan," ucap Daniel menunjuk wajah wanita itu. Chika melipat kedua lengannya di depan d**a, menatap marah, "Gara-gara aku? KITA. Gara-gara kita! Bukan aku. Kita berdua selingkuh di belakang Davina." "Aku ga selingkuh. Kamu yang goda aku." "Oke anggap aku yang goda. Terus selama satu tahun kita berhubungan, kamu ga anggap apa-apa?" "Aku suka sama kamu sebelum Davina. Aku suka sama kamu udah lama! Udah lama, Dan! Tapi kamu milih jadian sama Davina. Harusnya kamu ngerti perasaan aku!" "Cukup, Chik. Aku pusing. Davina hilang!" "Davina lagi, Davina lagi. Kenapa sih cuma Davina aja di ingatanmu?! Kita udah pacaran satu tahun, Dan. Apa salahnya kamu ngertiin perasaan aku juga. Aku udah ngasih segalanya buat kamu. Segala yang aku punya," wanita itu mendadak emosional, tangisannya tumpah di tengah kemarahan yang memuncak. Daniel memotong ucapannya, "Davina itu sahabat kamu." "Dulu, sekarang engga. Aku ga terima kamu diambil Davina. Kamu cuma milikku." Daniel meremat rambutnya frustasi, menghela nafas lalu menghembus pelan,"Kita putus aja Chik." Kita putus. Dua kata yang menghantam relung hatinya. Mata gadis itu memerah, menahan air mata yang mengumpul di pelupuk mata. Tangannya mengepal menahan marah, sedih, kecewa bercampur jadi satu. "Kamu jahat, Dan." Tik..! Air matanya tumpah tanpa disuruh. "Aku suka kamu dari umur 10 tahun. Davina cuma orang baru yang datang di kehidupan kamu. Tapi kalian jadian tanpa ngerti perasaan aku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN