PART 42 - HARI PERTAMA DI KELAS MELUKIS

1038 Kata
Part 42 - selesai revisi "Nah Sena … karena Sena baru disini, ayo maju ke depan perkenalkan diri," ucap Bryan ramah. Sena menggenggam tangan Dion erat, "Dion," ucap Sena memohon lemah. Ia tidak mau menjadi pusat perhatian. Ia benar-benar takut pada orang asing, terlebih lagi ia merasa bahwa orang asing adalah ancaman. Ia takut orang-orang asing itu memperlakukannya sama seperti wanita yang ia temui di Ancol. Karena itu Sena takut bertemu orang baru. Sungguh, ia masih tidak mengerti kenapa wanita itu jahat padanya. Padahal ia sama sekali tidak kenal. Dion menundukan badannya, membisikan sesuatu di telinga gadis itu, "Kalau kamu takut, anggap aja tidak ada siapa-siapa disini, kecuali aku." Dion memundurkan wajahnya, menatap mata bening gadis itu. Ia memberikan kepercayaan pada Sena melalui tatapan mata. Ia berharap lambat laun Sena akan menemukan kepercayaan dirinya. Sena menarik nafas dalam, dan menegakan wajahnya. 4 orang yang berada di depan, ia lihat kosong. Hanya ada bangku-bangku. Ia sedang membayangkan ucapan Dion. Tidak ada siapapun kecuali Dion. "Hal-halo," ucap Sena gugup. Dion dapat merasakan Sena mengeratkan genggamannya. "Nam-nama saya Sena." Dion tersenyum lebar, mengusap-usap rambut indah Sena, "Kamu udah melakukan yang terbaik Sena." Dan khayalan Sena kembali berubah. 4 orang yang duduk di depan muncul kembali, dan ia merasa terkejut ketika semua yang ada disana bertepuk tangan untuknya. Selama hidupnya, hanya Dion yang pernah bertepuk tangan untuknya, dan ini bukan Dion. Tapi orang lain. Sena merasa ada sesuatu yang bahagia muncul. Apakah tandanya ia diterima? "Nah baiklah Sena, saya kenalkan dulu ya teman-teman disini." "Yang pakai hijab ini namanya Sabrina." Sabrina tersenyum ramah, "Halo …" "Terus yang dikuncir ini namanya Venya." "Dan satu-satunya cowok yang ada di kelas pagi namanya Dimas." "Halo," ucap mereka semua menyambut mereka ramah. Sena memaksakan senyumannya, meskipun malu-malu ***** "Gimana kamu suka?" tanya Dion menggandeng Sena berjalan-jalan di sekitar komplek yang tidak jauh dari lokasi kelas melukis. Mereka menikmati es krim di waktu pagi. Sembari berjalan-jalan menikmati hangatnya sinar mentari. Sena mengulum es krim stroberinya, "Suka." "Baguslah," jawab Dion menjilat es krim cokelat. Saat pagi, Jakarta terasa sejuk. Meskipun macet, tapi udara dinginnya masih terasa, meskipun tidak sedingin Bandung ataupun kota dingin lainnya. Terlihat rombongan anak SD berjalan kaki menuju sekolahnya, berlomba-lomba menimba banyak ilmu. Pernah dengar kata-kata ini? Belajar di waktu kecil bagaikan mengukir di atas batu, belajar sesudah dewasa bagaikan melukis di atas air. Yang artinya jika belajar di waktu kecil maka ilmunya akan cepat diserap, dan akan tetap melekat sampai hari tua. Berbeda jika seseorang belajar saat dewasa. Kemampuan penyerapan ilmunya lebih sulit. Begitulah pentingnya suatu pendidikan yang diajarkan pada masa kanak-kanak. Pendidikan yang baik dari anak-anak akan menjadi sebuah kebiasaan yang baik. "Dion anak-anaknya lucu ya …" Sena menatap kagum anak-anak yang bersegeram merah-putih sedang bercanda gurau. "Iya." "Kapan kita punya anak juga?" Uhuk uhuk! Dion yang sedang menelan es krim tiba-tiba tersedak. Pertanyaan Sena membuat jantungnya copot. Untung ia sedang makan es krim, bukan durian. Bisa berabe entar. Sena menepuk-nepuk punggung Dion, "Dion … Dion gapapa, kan?" "Gapapa gapapa," Dion memegang tenggorokannya yang terasa dingin. Ia benar-benar tak salah dengar, kan? Sena mengajaknya punya anak. Astaga Sena film apa sih yang dia tonton. Otaknya kecuci dimana. "Kam-kamu apaan sih ngomongnya." Sena memakan es krimnya lagi, "Emangnya kenapa? Emang Dion ga mau kita punya anak?" tanya Sena dengan santainya. Iya santai menurut Sena. Tapi menurut Dion, itu pertanyaan yang menjebak bagi kaum Adam. "Ya ya mau sih." "Makanya ayo punya anak, 2 kayaknya bagus. Eh tapi kedikitan kayaknya gimana kalau tiga?" Tahan Dion, tahan. Jangan tergoda dengan kepolosan Sena. "Astagaaa Sena film apa sih yang kamu tonton?! Kok otak kamu jadi kotor gini. Siapa yang nyuci otak kamu?! Siapa?! Perasaan aku ga pernah ngajarin kamu aneh-aneh. Atau jangan-jangan karena tontonan siaran masak manjalita itu?" "Ih Dion bukan manjalita, tapi manjalitah. Harus ada ah nya." "Manjalita atau manjalitah. Terserah. Jangan bahas-bahas soal itu lagi." "Aaaaa Dion emangnya kenapa?" "Aku ini kaum Adam yang menjunjung tinggi harkat dan martabat wanita." "Ooh," jawab Sena pura-pura mengerti, padahal ia tidak tahu maksud ucapan Dion. "Udah ya jangan ngomongin soal anak-anak lagi." "Terus kapan kita ngomongin anaknya kalau ga diomongin sekarang?" Bagus. Bagaimana cara Dion menjawabnya kalau pertanyaan polos Sena keluar. "Y-y-ya ga diomongin sekarang juga Sena, nanti kalau kita udah nikah." "Makanya itu, Dion … ayo kita nikah." ***** Dion menggandeng tangan Sena masuk ke ruangan kelas, selesai berjalan-jalan. Setidaknya dengan jalan-jalan sebentar akan membuat gadis itu rileks. Dion tadinya mempertimbangkan Sena mau masuk kelas pagi atau sore. Tapi ia pikir jika Sena masuk kelas pagi, sorenya Sena akan belajar bersama Mira. Sena dan Dion duduk di kursi belakang. Pelatih Bryan memberikan sebuah sketsa pemandangan gunung yang telah ia gambar. "Nah Sena karena kamu pemula, jadi kamu coba berlatih mewarnai lukisan dulu seperti yang saya gambar." Bryan meletakan kanvas-nya di atas easel. * Easel = tempat berdirinya Kanvas selama proses melukis "Saya mau lihat cara kamu mewarnainya." Dion yang duduk di samping Sena hanya menyimak saja. Bryan memberikan alat dan bahan-bahan untuk Sena. Palet, pisau palet, wadah pencuci kuas, kain lap, dan cat akrilik. "Iya," ucap Sena senang. Ia mengikuti arahan yang dikatakan Bryan. Sebelum ia mulai melukis, ia harus mengeluarkan isi cat-nya ke dalam palet. "Udah pak," ucap Sena setelah 12 warna terisi dalam palet. "Jangan panggil pak dong-" Dion mewanti-wanti perkataan Bryan berikutnya. "Saya, kan masih muda. Panggil aja Bryan." "Oh iya ... Bryan." "Ehemm hemm," Dion berdehem keras. Memperingati Bryan, jangan lupa ada kekasihnya disini. Kekasihnya sedang menatap Bryan terang-terangan loh. "Dion kenapa?" tanya Sena khawatir. Dion menggeleng, "Gapapa, cuma keselek aja," jawabnya menatap Bryan sedikit tidak suka. Ah untung saja Sena memaksanya untuk tetap disini. Ini baru hari pertama, dan Bryan berani-beraninya mendekati gadisnya. "Dion mau minum?" ucap Sena mengambil botol minumannya, dan menyodorkannya pada Dion. "Ah engga ... ga ga usah," jawabnya sambil menatap Bryan. "Oke Sena mari kita mulai ya." Sena mengangguk senang, "Ayo Bryan, Sena udah ga sabar," Sena meletakan botol minumannya di tempat semula. Bryan melangkah mendekat. Berdiri di samping Sena. Dion menatap mereka berdua frustasi, ah seharusnya ia mencari pelatih pelukis perempuan. Bukannya laki-laki. Bagaimana jika pelatih itu modus pada Sena saat dia tidak ada. Hari pertama saja pelatih itu berani mendekati gadisnya. Ah Dion tidak tahu lagi. Haruskah ia memindahkan Sena ke kelas yang lain.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN