"Dion kita mau kemana sih?" tanya Sena setelah dalam mobil. Pagi-pagi sekali Dion membangunkannya untuk pergi bersama ke suatu tempat, tapi pria itu tidak memberi tahu kemana mereka akan pergi.
Dion yang sedang menyetir menoleh, "Rahasia. Kamu pasti senang."
"Ih Dion, kan Sena penasaran …"
*****
Chika menghela nafas memandangi foto Daniel yang berada di atas nakas. Daniel tidak pulang. Ia meninggalkannya sendirian di apartemen. Daniel benar-benar tidak peduli padanya, pria itu hanya ingin menyingkirkannya saja. Setidaknya itulah persepsi Daniel menurut Chika.
"Kapan kamu bisa suka aku?" gumam Chika menatap figura pria yang ia cintai. Ia suka Daniel tidak setahun dua tahun, tapi dari ia pubertas. Dimana Daniel menjadi cinta pertamanya hingga sekarang.
"Kenapa kita harus terlibat cinta segitiga kayak gini? Seharusnya kamu liat orang yang di depan kamu, bukan masa lalu kamu."
Entahlah bagaimana mendeskripsikan percintaan Chika dengan Daniel yang begitu saja jadi skandal. Mereka saling melemparkan tuduhan yang berbeda. Daniel menuduh Chika menggodanya, tapi Chika berargumen bahwa hubungan mereka adalah murni mau sama mau. Tapi selalu Chika yang disalahkan atas kandasnya hubungan mereka. Kalaupun Daniel menolaknya, kenapa ia menerima semua ajakannya.
"Huff," Chika menghela nafas, lalu mengembalikan lagi bingkai itu di atas meja.
Cklek..!
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka menampilkan sosok Daniel yang membawa satu kantong plastik putih.
"Makan dulu," ucapnya meletakan plastik putih itu di meja rias. Ia membuka plastik yang berisi bubur ayam. Ia membelinya sebelum kesini. Ia ingat sepertinya Chika belum makan dari kemarin. Ah entahlah, kenapa juga ia peduli pada gadis itu, tapi setidaknya ia punya sedikit nurani tak ingin gadis itu mati kelaparan karena nya.
"Iya," ucap Chika lemah. Perutnya benar-benar kosong. Ia menghampiri Daniel dan duduk di atas ranjang.
"Nih," ucap Daniel menyodorkan bubur beserta sendok.
"Makasih," jawab Chika singkat lalu memakan buburnya.
Jawaban singkat Chika mungkin enak di dengar di pagi hari, tidak ada suara keributan lagi. Tapi justru Daniel menganggap aneh, biasanya gadis itu akan mengajaknya berdebat. Tapi tumben gadis itu terlihat cuek saja. Namun Daniel tetap berpikir positif mungkin gadis itu lelah.
"Aku ke kampus dulu."
"Iya."
Lagi-lagi jawaban singkat Chika membuatnya tak enak hati.
"Kamu kenapa?"
"Kenapa apanya?" tanya Chika menyuapkan bubur.
Daniel menggeleng, "Engga … kamu ga seperti biasanya."
"Gapapa."
"Oh gitu," situasi ini membuat Daniel canggung. Pertama kalinya ia dan Chika berada dalam situasi seperti ini. Daniel menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal.
"Yaudah kalau gitu aku pergi dulu."
Daniel beranjak pergi meninggalkan Chika sendirian lagi. Setidaknya persepsi Chika tentang Daniel itu benar. Daniel tidak benar-benar peduli padanya.
"Kapan kamu akan kembali?"
Pertanyaan itu membuat langkah Daniel terhenti.
"Belum tau."
Hanya jawaban singkat yang Chika dapatkan, padahal ia hanya berharap pria itu akan tinggal bersamanya meskipun sebentar.
*****
Dion melepaskan sabuk pengamannya, lalu melepaskan sabuk pengaman Sena. Dion membuka pintu mobil, dan berjalan mengitar membukakan pintu untuk Sena.
"Ayo tuan Puteri," ucap Dion mengulurkan tangannya.
Sena tersenyum, lalu menerima uluran tangan itu. Rasanya ia seperti princess yang ada di Disney. Para pangeran memperlakukan puteri-nya istimewa.
Dion menggandeng Sena memasuki suatu sekolah. Lebih tepatnya bukan sekolah formal pada umumnya seperti memakai seragam, atau seperti kuliah dengan sistem pengajaran, dan penilaian.
Ini seperti kelas. Yang membedakannya dengan sekolah biasa adalah disini setiap orang bebas berkarya tanpa harus memikirkan nilai, siapapun boleh masuk tanpa batasan umur, dan juga tidak memakai sistem kelulusan. Ini rekomendasi yang diberikan Mira kemarin. Ya meskipun bukan sekolah pada umumnya, Dion harap Sena bisa belajar disini, dan teman-temannya menerima Sena dengan baik.
Dion menggandeng tangan Sena masuk ke kelas melukis. Terlihat 4 orang di dalam ruangan. Satu pelatih yang sedang menjelaskan, dan 3 orang murid yang terdiri dari 2 orang wanita dan satu orang laki-laki dalam kelas.
Sena mengeratkan genggamannya, dan menyembunyikan tubuhnya di balik punggung Dion.
"Gapapa Sena, orang-orang disini baik ko," ucap Dion menenangkan gadis itu. Sena memang ingin berteman, tapi jika baru bertemu pertama kali Sena takut, dan selalu bersembunyi di balik punggungnya.
Sena perlahan-lahan keluar, menunjukan wajahnya, meskipun hatinya masih takut-takut dengan orang asing.
Tuk tuk!
Dion mengetuk pintu, membuat semua orang di ruangan menoleh ke arah pintu.
"Sebentar saya tinggal dulu, kalian lanjut aja," ucap sang pelatih pada semua muridnya.
Sang pelatih dengan postur gagah, dan wajah manis mendekati dua orang yang berdiri di ambang pintu.
"Selamat pagi ada yang bisa saya bantu?"
Sena menyembunyikan wajahnya lagi di balik punggung Dion.
Dion mengelus-elus rambut Sena. Ia tahu gadis itu ketakutan jika berada di lingkungan baru. Ia bahkan bisa merasakan telapak tangan Sena yang berkeringat, dan tubuhnya yang sedikit gemetar. Hem, mungkin ia akan bolos kuliah hari ini.
"Pagi ... apa benar ini bapak Bryan?"
"Iya saya sendiri," ucapnya ramah.
Dion memperhatikan pelatih itu yang sepertinya masih muda. Mungkin seumuran dengannya atau lebih tua sedikit.
"Oh saya ingin memasukan seseorang ke kelas melukis, apakah bisa?"
"Oh bisa kok, disini siapa saja boleh masuk."
Dion tersenyum, memperlihatkan deretan giginya.
"Kira-kira untuk sekolahnya masuk jam berapa pulang jam berapa ya?"
"Saya ngajar disini sebenarnya dari pagi sampai sore. Cuma untuk pembelajarannya dibagi menjadi 3 sesi kelas. Kelas pagi, kelas siang, dan kelas sore."
"Untuk kelas sore jam berapa ya pak?"
"Untuk kelas sore sekitar jam 3 sampai jam 6."
"Oh oke pak."
"Kalau boleh tau siapa yang akan mendaftar? Bapak atau-"
"Pacar saya pak," tekan Dion biar tidak ada yang menggoda Sena, dan juga dijelaskan dari awal lebih baik, kan. Setidaknya itu sebagai pengingat, jangan menyentuh miliknya.
"Dion ayo pulang," ucap Sena tidak nyaman. Gadis itu menyadarkan wajahnya di punggung lebar Dion.
Tingkah Sena tak luput dari perhatian Bryan.
"Ehm maaf pak Bryan, saya mau bicara dengan pacar saya dulu sebentar."
"Oh iya silakan."
Dion menarik lembut tangan Sena keluar dari ruangan.
"Kamu kenapa hmm?"
Dion memperhatikan Sena yang sudah berkeringat sejak tadi, bahkan pelipis gadis itu basah. Dion menyeka keringat gadis itu.
"Dion mau tinggalin Sena disini?" Sena mengerucutkan bibirnya.
"Kan katanya Sena mau sekolah."
Sena memeluk Dion erat, "Ga mau, Sena ga mau ditinggal."
Dion menepuk lembut bahu Sena, "Katanya kamu mau main sama teman-teman."
"Tapi Sena takut," Sena menyandarkan kepalanya di d*da bidang Dion.
"Yaudah hari ini aku temani kamu seharian melukis, mau?"
Sena semakin mengeratkan pelukannya, "Sena ga mau ditinggal Dion."
"Hari ini kamu lagi adaptasi aja kok, nanti lama-lama kamu suka sama tempatnya."
Dion melepaskan pelukan Sena perlahan-lahan. Ditatapnya wajah teduh itu, "Aku ga akan ninggalin kamu, mana tega aku ninggalin kamu. Kalau kamu udah terbiasa sama tempatnya, kamu akan nyaman. Lagipula tadi kan ada beberapa teman, terus kamu dapat pengalaman melukis juga."
Sena kembali memeluk Dion kencang, "Tapi hari ini temani Sena."
Sena mendongakkan wajahnya menatap pria yang ia cintai.
"Iya ..." ucap Dion lembut.
Cup..!
Sena kembali mengecup bibir pria itu. Sepertinya Dion harus terbiasa dengan sikap Sena yang bergantung padanya. Tapi ia suka. Ia tak merasa Sena merepotkannya. Ia suka Sena yang bermanja-manja padanya.
Dion hanya berharap Sena masih tetaplah Sena yang sama. Terus begini, tidak berubah.