PART 32 - BELAJAR BERSAMA DION

1059 Kata
"Pak, kenapa Davina belum pulang-pulang. Anak kita masih selamat, kan pak?" ucap ibu Davina yang duduk di kursi rias putrinya menghadap cermin. Ibu Davina mendekap bingkai foto putrinya erat. Seminggu telah berlalu, namun polisi sama sekali tidak memberikan informasi terkait putrinya. Ia terus bolak-balik ke kantor polisi, namun hasilnya selalu sama. Polisi selalu menjawab sedang dalam tahap penyelidikan. Yang entah kapan akan terselesaikan. Ibu Davina selalu merenung, dan menangis di kamar putrinya. Seperti sekarang ini, ia menangis selama 2 jam di kamar Davina. Hal itu membuat ayah Davina merasa khawatir dengan kesehatan istrinya yang semakin lama semakin menurun. Tak jarang istrinya drop dan pingsan, karena kekurangan darah. Dan asupan makan. Ayah Davina yang berdiri di samping istrinya sambil menggenggam sebuah piring berisi nasi dan ayam goreng, menghela nafas, "Ssut ibu, ga boleh gitu ngomongnya … serahkan aja sama yang Maha Kuasa, anak kita pasti selamat. Ada Allah yang jaga. Allah maha tahu." "Apa itu mungkin, pak?" Air mata ibu Davina mengalir lagi, membasahi pipinya yang mulai keriput. Ia merasa mulai menyerah, untuk menunggu Davina kembali. Tubuhnya tidak kuat lagi, menunggu. "Ibu kenapa toh, putus asa begitu?" Ibu Davina menghapus air mata di pipinya, "Ibu hanya lelah, pak. Tidak dapat jawaban apapun. Kalau seandainya Davina ga selamat. Seengganya ibu ingin jasad Davina kembali." "Ibu, ngomong apa toh … bapak ga suka ah dengernya." Ibu Davina menatap sayu mata suaminya, "Emang bener, kan pak?" "Udah ah, ibu ngomongnya makin lama makin ngawur. Ingat kata dokter apa, jangan terlalu banyak pikiran dan jaga kesehatan." Ibu Davina terdiam. Matanya sembab dengan lingkaran hitam di bawah matanya. "Udah ibu jangan pikirin masalah itu, ibu makan dulu aja. Ibu berapa kali pingsan, dan masuk rumah sakit. Seengganya isi energi ibu dulu …" Ayah Davina menyuapkan satu sendok nasi ke istrinya, namun ditolak. Istrinya memalingkan wajah, tidak mau. "Engga pak, ibu udah kenyang." "Kenyang gimana ibu?! Ibu dari kemarin malam belum makan!" "Ibu kenyang pak," ucapnya lemah. Ucapannya sangat berbeda dengan kondisinya sekarang, seperti mayat hidup. Berat badannya turun drastis. "Ibu bukannya kenyang, tapi ga nafsu makan." Ibu Davina terdiam, dengan tatapan kosong menatap cermin. Ayah Davina tak menyerah, ia kembali menyodorkan sendoknya ke bibir istrinya, namun lagi-lagi ditolak. "Bapak, ibu ga mau." Ayah Davina menghela nafas, dan meletakan sendoknya di piring. Ia menatap ribuan nasi yang tak tersentuh sama sekali. Ayah Davina tersenyum kecut, sedih namun ia tidak bisa menangis. "Ibu ingat ga-" "Waktu kita masih muda, kita pernah berjanji untuk melalui semuanya sama-sama, Sedih …" "Senang …" "Susah …" "Bahagia …" "Duka … tawa." "Kita berjanji untuk selalu bersama." "Tapi- ibu tau- hal yang paling menghancurkan hidup bapak?" suara ayah Davina bergetar, menahan perasaannya. "Waktu ibu hampir mati melahirkan Davina. Bapak hanya diberi dua pilihan dari dokter, mau menyelamatkan yang mana. Hati bapak hancur. Itu adalah pertama kalinya kita punya anak setelah menunggu 20 tahun. Tapi saat kita bahagia punya itu, bapak harus milih meninggalkan salah satunya." "Tapi bapak ga bisa milih. Kalian berdua adalah sayapnya bapak-" ayah Davina menghapus air matanya yang menggenang di pelupuk. "Bapak berdoa agar Allah menyelamatkan kalian berdua. Dan Allah mengabulkan doa bapak. Tapi sekarang-" "Saat Davina hilang-" ucap Ayah Davina dengan bibir bergetar. "Bapak kehilangan satu sayapnya bapak." "Dan bapak gak mau kehilangan satu sayap lagi … " ucap ayah Davina dengan nada putus asa. Menunduk menangis, menumpahkan segala beban yang ada di pundaknya. ***** "Ini Dion … ini Sena." Dion tersenyum memperhatikan Sena yang menggambar dua orang di buku tulisnya. "Terus ini Love." Sena menggambar love besar hingga dua orang perempuan dan laki-laki itu, seperti berada di dalam love. Dion tersenyum senang, lalu mengusap-usap rambut Sena yang kini menjadi kekasihnya. Dion dan Sena duduk bersebelahan di atas ranjang hingga bahu mereka saling menempel. "Selesai," ucap Sena tersenyum cerah, lalu menoleh ke pria sebelahnya. Mereka saling melemparkan senyuman manis. Berbagi perasaan dari mata ke mata. 26 September 2021, jam 12.30. Dion menandakan tanggal jadian mereka di ingatannya. "Dion." "Hmm?" "Gimana caranya nulis nama Dion dan nama Sena?" "Caranya gini-" Dion mengambil bolpoin di tangan Sena lalu menuliskan nama mereka di atas gambar orang. "Dion," gumam Dion menuliskan namanya di atas gambar orang itu, lalu berlanjut lagi ke sebelahnya, "Sena." Sena bertepuk tangan gembira, "Aaaa Sena mau! Sena mau! Sena mau coba, Dion ..." ucap gadis itu antusias. "Nih," Dion menyerahkan bolpoin ke gadis itu, dan membiarkan gadis itu menyalin tulisannya. Dion tertawa kecil memperhatikan Sena yang serius menulis. Sesekali ia merasa gemas melihat tulisan Sena yang belum lurus sempurna, masih keriting seperti cacing. Gemas dalam artian lucu. Entahlah Sena selalu terlihat cute di matanya. Dengan mata puppy eyes, pipi putih seperti bakpao, dan tingkah polosnya. Dan ehm-yah ... aroma stroberi khas Sena. "Jadi deh," ucap Sena tersenyum bangga, melihat hasil karyanya. "Tulisan Sena masih belum bagus ... tapi nanti Sena mau belajar lagi, biar tulisan Sena bagus kayak Dion," ucap Sena membandingkan kedua tulisan mereka yang sangat berbeda 180 derajat. "Tulisan Sena lumayan kok ..." Sena menggeleng, tidak setuju, "Engga, tulisan Sena masih belum bagus ... masih acak-acakan. Sena mau pinter kayak Dion." Dion menatap manik mata gadis itu, "Mau pinter kayak aku?" Sena mengangguk cepat, "Iya. Sena mau pinter, mau satu sekolah sama Dion biar deket Dion terus. Terus ... Sena mau jadi relawan dokter, mau bantu orang-orang sakit ..." Dion tertawa gemas melihat Sena yang terus mengoceh, "Kamu tuh selalu lucu ya." Sena membalas tatapan pria di sebelahnya, "Lucu?' "Rasanya pengen aku karungin." "Aaaaaaa Dion mah." Dion tertawa, dan mengacak-acak rambut Sena. "Dion ajarin Sena menghitung." "Oke." Dion menyandarkan punggungnya di bahu ranjang, lalu menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, "Sini." Sena mengangguk, lalu duduk di sebelah Dion. Menyandarkan punggungnya di ranjang juga. "Sekarang lebarin jari kamu." Dion melebarkan ke sepuluh jarinya menunjukannya ke Sena. Sena melihat jari-jari Dion, dan mempraktekkannnya. Sena melebarkan ke sepuluh jarinya. "Cara menghitung paling gampang adalah menggunakan jari-jari tangan. Hitungan dasarnya 1 sampai 10. Coba sekarang kamu ikutin aku ..." "Ini satu," Dion menurunkan jari jempolnya. Sena menatap jari Dion, "Satu," ucap Sena menurunkan jari jempolnya. "Dua," Dion menurunkan telunjuknya. "Dua," ucap Sena mempraktekkan hal yang sama. "Tiga," Dion menurunkan jari tengahnya. "Tiga," Sena menurunkan jari tengahnya. "Empat," Dion menurunkan jari manisnya. "Empat," Sena mengikuti gerakan Dion menurunkan jari manisnya. "Lima," Dion menutup seluruh jarinya. "Lima," Sena pun menutup seluruh jarinya, mengikuti instruksi Dion. Dion terus menutup jarinya hingga hitungan ke-10. "Nah selesai, coba Sena ulang lagi ..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN