PART 33 - ANGKA

1073 Kata
"Gimana bi, udah?" tanya pak Harto setelah sampai di wastafel dapur. Bik Sari yang sedang mencuci piring, menoleh ke belakang "Udah pak. Beres," ucapnya singkat lalu melanjutkan kembali kegiatannya. "Akhirnya …" Pak Harto menghela nafas lega, mengusap-usap d*danya naik turun. Berhadapan dengan Daniel membuatnya ketar-ketir. Serius. Untungnya Daniel tidak curiga apapun, atau mungkin belum menyadari barangnya hilang. Semoga saja Daniel tidak engeh. Pak Harto menghampiri bik Sari yang berdiri membelakanginya. "Bibi sembunyikan barangnya dimana?" tanya pak Daniel penasaran setelah berdiri di samping bik Sari. "Di tempat yang aman," ucap Bik Sari membasuh piring yang berbusa di bawah guyuran air. "Tempat yang ga terjangkau tuan Daniel, kan?" ucap pak Harto memastikan. Bik Sari meletakan piring yang bersih itu di atas rak piring. Rak piring di rumah Daniel diletakan di atas wastafel, sehingga piring yang habis dicuci, airnya menetes ke wastafel. "Entahlah pak, bibi ga bisa jawab kalau itu." "Lah? Kok bibi ga bisa jawab? Kan bibi yang ngumpetin." Bik Sari menghela nafas panjang, lalu memiringkan badannya, menatap pak Harto, "Bibi ga bisa jamin pak soal itu. Lambat laun tuan Daniel pasti akan mencari barangnya." "Iya juga sih. Tapi, kan bibi tahu sendiri … Kita menyembunyikan barang itu karena sayang sama tuan Daniel. Coba bibi bayangin kalau tuan Daniel tahu barang-barangnya dibakar." Bik Sari terdiam. Pak Harto meletakan tangannya di kedua bahu bik Sari, berusaha meyakinkan wanita itu bahwa keadaan akan baik-baik saja, "Bibi tenang aja … selama kita saling tutup mulut. Semua akan baik-baik aja." Bik Sari menatap wajah pak Harto yang mencoba menenangkannya. Jauh di lubuk hatinya, perasaannya tidak setenang itu. Ia berbeda dengan pak Harto, yang selalu santai dan optimis. Tapi dia tidak. Dia adalah orang yang selalu kepikiran sama apa yang ia lakukan. Apalagi saat ia ketahuan oleh Daniel membawa kardus berisi barang-barang Davina, rasanya dunia berhenti saat itu juga. Dan juga ia merasa tidak tenang. Ini adalah pertama kalinya ia membohongi Daniel—orang yang sangat baik padanya. "Tapi pak—" "Udah bik, ga usah dibahas lagi." Pak Harto melepaskan tangannya di bahu bik Sari. "Tapi pak-" bik Sari menundukan kepalanya, "Bibi ngerasa ga tenang …" Sena melebarkan sepuluh jarinya, mengingat kembali apa yang diajarkan Dion. Meskipun ia puluhan kali lupa, namun ia tidak mau menyerah. Ia mau pintar seperti Dion. Dan mau meraih cita-citany jadi relawan dokter. "Ini satu," Sena menurunkan jari jempolnya, menyisakan 9 jari yang lain. "Iya bener," ucap Dion memperhatikan. Dion menyandarkan punggungnya yang lelah di bahu ranjang. Lebih dari 3 jam ia mengajari Sena cara menghafal angka, meskipun hasilnya tetap sama, Sena selalu lupa di pertengahan. Dion menahan matanya yang terasa berat. "Ini … " Sena menurunkan jari telunjuknya, mengingat kembali angka setelah satu, "Ini …" "Iya?" ucap Dion menunggu. "Ini-" Sena kembali memutar otaknya, mengingat-ingat apa yang Dion ucapkan. "Ini … ini-" Dion menguap, menahan kantuknya. Matanya perlahan-lahan mengatupkan. "Ini apa ya? Ini …" "Angka apa yang bentuknya kayak bebek? Setelah angka satu?" ucap Dion dengan mata tertutup. "Angka … angka du-" Sena mencoba mengingat, meskipun ragu-ragu, "Angka du … du-" Sena berpikir keras, memutar otaknya yang buntu. "Du …" "Angka dua?" "Yap! Betul! Bagus!" ucap Dion tiba-tiba membuka matanya dan bertepuk tangan. "Lanjut," ucap Dion semangat, lalu kembali menutup matanya. Melanjutkan mimpinya yang tertunda. Antara mimpi dan kenyataan sama-sama sibuk. Di dalam mimpi, ia sibuk bermimpi. Di dunia nyata ia sibuk mengajari Sena. Inilah yang disebut kemampuan paket kombo. Sena menurunkan jari tengahnya, mengingat lagi angka setelah angka dua. "Ini angka …" Sena memperhatikan jari-jarinya. "Angka apa setelah angka dua?" "Enam?" "Enam darimananya Sena? Masa habis angka dua angka enam, coba ulangi lagi. Angka apa setelah angka dua?" "Angka …" Sena mencoba mengingat-ingat. "Angka …" "Angka …" "Angka apa yang bentuknya kayak burung terbang?" "Angka …" "Angka ti-" Dion yang merasa gemas, mencoba membantu Sena perlahan-lahan. "Ti-" ucap Sena mengulangi ucapan Dion. "Iya ti apa? Angka ti?" "Ti … Kus?" "Bukan Sena … angka tiga." "Oh iya tiga," ucap Sena mengingat, "Sena lupa." "Tadi angka apa?" Tadinya Sena mengingat namun ia lupa lagi, "Angka … enam?" "Tiga Sena, tiga … yang bentuknya kayak burung terbang." "Aaa Dion Sena lupa terus," ucap Sena mengerucutkan bibirnya. "Sena baru hafal angka satu." "Gapapa seengaknya kamu udah berusaha." "Kalau Sena ga pinter pinter, gimana Sena mau jadi dokter," Sena mengerucutkan bibirnya cemberut, "Sena aja lupa terus." Dion meraih lengan gadis itu untuk bersandar di bahu ranjang. Sena menurutinya. Sena menyandarkan punggungnya di bahu ranjang. Duduk di samping Dion. Mereka duduk bersanding hingga bahu mereka saling berdempetan. Dion meraih jari-jari mungil itu, dan menggenggamnya, "Sena pinter ko … siapa bilang Sena ga pinter." Sena memainkan baju bawah Dion, "Pasti Dion malu ya punya pacar kayak Sena," ucap Sena menundukan wajahnya. "Siapa yang bilang …" Dion menyisir rambut halus Sena, "Dion bangga ko." ***** Tin Tin Suara klakson terdengar nyaring di luar pagar. "Pak Harto." Panggilan di luar gerbang membuat pak Harto segera bersiap-siap. "Pak Harto buka pintu dulu." "Iya pak," ucap Bik Sari mengangguk. "Ingat ya bik, jangan bilang siapa-siapa soal ini." Bik Sari mengangguk, tanpa kata. Pak Harto segera bergegas meninggalkan wastafel dapur. Cukup lama ia membahas tentang masalah barang-barang Davina. Ia hanya berharap Daniel tidak menyadari barang kesayangannya hilang. "Pak!" "Iya tuan Daniel." Pak Harto keluar dari pintu utama, menuju gerbang yang menjulang tinggi. Ia menggeser pintu gerbang hingga terbuka lebar membiarkan mobil hitam mewah Mercedes-Benz memasuki kawasan rumah. Pak Harto pun menutup pintu pagarnya. Daniel keluar lebih dulu, membuka pintu belakang mobil mengeluarkan barang-barang ibunya. Seperti koper dan tas jinjing. "Biar pak Harto yang bantu tuan Daniel," tawar pak Harto melihat Daniel sedikit kesusahan. Daniel menggeleng, "Oh gausah pak, bapak istirahat aja. Biar Daniel yang urus." Ibu Daniel bernama Lisa keluar dari mobil. Sepatu high heels mewahnya seperti berkilauan saat menapaki tanah, bak seorang ratu. Lisa pun keluar, dan menutup pintu mobilnya. Pak Harto yang melihat tampilan Lisa sekarang tercengang. Ia menatap wanita itu dari ujung kepala ujung kaki. Rambut kuning, kacamata hitam, bibir merah pekat, baju bulu, sepatu boot, tas Hermes, dan yeah- ini seperti bukan Lisa yang ia kenal. "Ini- ini- ini nyonya?" tanya pak Harto terbata-bata. Lisa membuka kacamatanya, "Iya kenapa?" ucapnya percaya diri. "Kayak bukan nyonya ..." Lisa tersenyum bangga, "Iya dong. Pasti pangling, kan ..." Pak Harto menggaruk rambutnya, "I-iya sih." "Inilah yang disebut fashionista." Daniel selesai menurunkan barang-barang ibunya, lalu menutup pintu belakang mobil. "Fashionista apanya," sahut Daniel asal. Buk..! Lisa melempar tas Hermes-nya mengenai kepala Daniel.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN