PART 73 - PELAJARAN UNTUK CHIKA

1061 Kata
Akhirnya sampe juga," ujar Dion lega, setelah mengayuh sepeda 30 menit. Cukup sulit melewati jalan bebatuan yang penuh lumpur, tapi akhirnya selamat juga sampai sini. Chika memijakan kakinya di tanah, turun dari sepeda. Kedatangan mereka disambut 4 panitia wanita yang sedang memasak untuk makan malam. "Kak Dion." "Kak." Dion tersenyum ramah, "Iya." Sedangkan Chika biasa-biasa saja, melengos. Setelah menyapa Dion dan Chika mereka kembali ke kegiatan mereka masing-masing. Ada yang sedang memasuk-masukan sabut kelapa ke dalam tungku, ada yang sedang mengaduk-aduk sayur sop di kuali, ada yang sedang menggendong kayu bakar, dan ada juga yang sedang memotong-motong bawang untuk menu selanjutnya. Di kegiatan abdi desa ini. Selain diajarkan untuk mandiri, mereka juga diajarkan bagaimana rasanya hidup susah. Mereka tak pernah menyangka, jika pada kegiatan ini mereka merasakan hal yang tak pernah mereka rasakan. Mulai dari mandi di sungai, melewati jalanan yang berlumpur banyak bebatuan, pasar yang sangat jauh, tidak adanya transportasi umum, rumah-rumah yang masih terbuat dari dinding bambu dan atap dari daun-daun kelapa yang kering. Hanya sebagian orang saja yang memiliki atap seng. Tidak ada sumber air bersih, dan menjadikan sungai kumuh sebagai sumber utama kehidupan desa ini. Dan juga ini pertama kalinya mereka memasak dengan cara tradisional, menggunakan tungku. Memasak ditungku tidak semudah yang mereka bayangkan ternyata. Berulangkali mereka menghapus air matanya yang mengalir karena perih. Asap yang dihasilkan dari tungku membuat mata mereka panas. Chika ingin membawa delapan kantung belanjaan yang tergantung di stang sepeda. Namun Dion menghentikannya. "Ga usah Chik, biar aku aja. Berat." Chika pun mengangguk, "Oh yaudah kalo gitu kak," ucap Chika tak jadi mengambil. Dion menurunkan standar sepeda dengan kakinya. Lalu turun dari kendaraan roda dua tersebut. Dion meraih 8 kantong belanjaan besar yang tergantung di atas stang. "Abis darimana kak?" tanya panitia wanita yang sedang mengaduk kuah sop di kuali menatap Dion dan Chika yang jalan beriringan. "Abis belanja di pasar … Oh iya, yang bagiin bansos udah pada selesai?" "Ada yang udah, ada yang belum, kak." Dion mengangguk, "Ooh yang udah pada kemana? Kok sepi?" "Lagi pada di luar." "Oh yaudah kalo gitu- Glenn sama Erick mana? Udah selesai juga?" Wanita yang sedang mengaduk kuah sop di kuali mengangguk, "Udah ka … kak Glenn udah di dalam pondok sama kak Dimas. Kalau Erick, ga tau deh ka. Soalnya abis bagiin bansos, dia langsung pergi gitu aja." "Hmm … ga bilang mau pergi kemana?" Wanita itu menggeleng, "Enggak ka." Dion mengangguk senyum, "Oh yaudah kalo gitu, nih–belanjaannya," Dion menyerahkan 6 kantong plastik jumbo yang berisi bahan-bahan dapur. Wanita yang sedang mengaduk sup, menghentikan kegiatannya. Ia jalan beberapa langkah, mendekati Dion. Dan meraih 6 kantong yang berat itu. "Semua bahan-bahannya udah aku beli. Coba kamu cek ya, kira-kira cukup ga untuk sebelas hari kedepan. Kalo ga cukup bilang aku lagi." Wanita itu mengangguk, "Oke ka siap," jawabnya tersenyum. Dion menoleh ke arah Chika yang daritadi diam saja, "Chik … aku masuk dulu ya. Kamu disini aja bantu-bantu mereka masak." "Ha?" Chika melebarkan matanya, tak percaya, "Masak?!" "Iya masak. Emang kenapa? Ada yang salah?" Chika menggaruk-garuk rambutnya, jangankan untuk memasak. Memegang kompor saja ia tak pernah. Semuanya dikerjakan orang lain. Dan juga sejujurnya ia juga buta bahan masakan. Ia tidak tahu nama-nama sayur, tidak tahu nama-nama bahan makanan. Lagijuga bukan karena itu juga sih, tidak mungkin, kan kukunya yang mahal harus menyentuh bahan-bahan itu. "Tapi kan-" "Udah kamu bantu mereka aja. Aku masuk dulu …" "Semuanya, aku tinggal dulu ya," ujar Dion izin pergi membawa dua kantong belanjaan warung. "Iya kak Dion," jawab mereka serempak. Dion pun beranjak pergi meninggalkan mereka semua. "Ayo Chika mau masak ga?!" goda wanita yang sedang mengaduk-aduk sop. "Disuruh kak Dion loh …" sambung wanita yang sedang memasukkan sabut kelapa ke dalam api tungku. Chika mengepalkan tangannya, dan memelototi mereka semua, "Siapa lu nyuruh-nyuruh gue?!" Chika tahu mereka sedang meledeknya. "Kalo ada yang bantu potongin bawang kayaknya enak nih," sindir wanita yang sedang memotong bawang ikut menimbrung. "Kayaknya kayu bakar kurang, bisa kali cariin ke hutan. Ga maksa sih, tapi, kan mumpung lagi ga ada kerjaan yah." "Jadi masak ga, Chik? Disuruh kak Dion loh. Masa ikut kegiatan sosial ga ngerjain apa-apa, kerjaannya cuma ngintilin ketua BEM terus," sindir wanita yang sedang mengaduk-aduk sop. Ngintilin = ikut kemana-mana. "Suka-suka gue lah. Mau pergi ama kak Dion kek ama siapa kek. Hak-hak gue!" "Bilang aja caper sama kak Dion," sahut wanita yang memegang kayu bakar. "Tau nih, bilangin kak Dion ga ya? Datang ke sini ga pernah kerja, cuman ajang pamer aja cari perhatian," ucap wanita yang memotong bawang. Chika yang darahnya mendidih, menunjuk mereka semua, "Liat ya lu semua, ga bakalan gue bikin tenang," ucap Chika sebal, lalu berlalu pergi sambil menghentakkan kaki. Mereka saling bertatapan mata, lalu tertawa terbahak-bahak, puas mengerjai Chika, yang katanya primadona kampus. "Sombong sih lagian, kena batunya, kan," ucap wanita yang memotong bawang terkekeh. ***** "Mario ayo lomba, siapa yang kalah trakirin es krim," ucap Sena memegang bola basket. "Oke, siapa takut," tantang Mario tidak mau kalah memegang bola basket juga. Setelah puas berjalan-jalan mengitari Jakarta, Mario akhirnya mengajak Sena main Timezone di salah satu mall. Kapan lagi, kan ia mengajak Sena senang-senang begini. Biar agak keren juga gitu dilihat orang, kencan sama orang cantik. Biar ga ngenes mulu kelihatannya, jomblo dari bayi. Dan disinilah mereka, di depan mesin permainan basket Arcade Street Basketball. Mereka akan memasukan bola basket cepat-cepat dengan waktu yang ditentukan. Siapa yang memasukan bola paling banyak, ia yang menang. Sena dan Mario saling mendorong bola ke keranjang. Persaingan mereka cukup ketat, kalau soal game tidak ada yang mau mengalah. Mereka satu frekuensi. Jika Mario dan Mira satu frekuensi soal gombal-menggombal. Sena dan Mario satu frekuensi soal battle game. "Sena ga mau kalah dari Mario. Sena mau es krim stroberi." Sena mendorong bola basket berkali-kali, hingga mencetak 30 gol. "Aku juga ga mau kalah, tapi aku ga mau es krim. Apalagi es krim stoberi." Mario mendorong bola basket dengan cepat hingga mencetak 40 gol. Sena yang melihat cetakan gol Mario lebih banyak, tak mau kalah. Ia menggerakan tangannya lebih cepat, "Kenapa ga mau es krim? Kan perjanjiannya kalau kalah trakirin es krim." "Aku maunya kamu," jawab Mario sempat-sempatnya gombal. "Tapi Sena ga mau Mario, gimana dong?" tanya Sena fokus melempar bola. "Ya itu resiko kamu, ga mau sama cowok kayak aku." "Emang cowok kayak Mario kenapa?" "Kalo kata orang sunda teh ... limited edition. Cuma satu-satunya di dunia."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN