PART 61 - PERUBAHAN

1047 Kata
"Ngh-" Sena menggeliatkan badannya. Sinar mentari yang menyusup dari balik celah gorden mengusik tidurnya. Seperti biasa Sena berguling-guling sebelum bangun, namun saat akan berguling ke kanan tangannya menyentuh kulit seseorang, "Apa nih?" ucapnya dengan mata tertutup. Sena membuka mata perlahan-lahan, menatap ke samping, "Oh iya guru … Sena lupa kalau guru tidur sini kemarin," ucapnya menatap Mira yang tidur terlentang. Sena bangun, dan menyandarkan punggungnya di bahu ranjang, "Hoaaam," Sena menutup mulutnya saat menguap. Lalu menoleh ke samping nakas. Sena meraih jam beker yang dibelikan Dion bergambar Tinkerbell. "Jam berapa ni?" Sena menatap lekat kumpulan angka yang melingkar di layar jam. "Satu, dua- tiga- emp …" Sena mencoba mengingat kembali. Ia sudah bisa menghitung satu sampai sepuluh, tapi terkadang suka lupa. "Emp … pat. Ah empat! Lima, tujuh-" mendadak otak Sena blank, "Tujuh, tujuh, tu … juh," Sena mulai bingung. "Abis lima emang tujuh ya?" tanya Sena mengingat-ingat kembali. Lalu menghitung dengan jari-jarinya. "Satu-" Sena mengeluarkan jempolnya. "Dua-" Sena mengeluarkan telunjuknya. "Tiga, empat, lima, ehhm? Ko Sena lupa ya berapa? Empat, lima, tu- tu?" "Enam." Sena menoleh ke sumber suara, terlihat Mira sedang tersenyum ke arahnya. Ternyata daritadi Mira sudah bangun, dan memperhatikan Sena yang menghitung. "Oh iya enam!" ucap Sena senang, "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam! Yeee Sena udah hafal!" sorak Sena ceria, tersenyum. "Guru udah bangun?" Mira mengangguk, "Udah," ucapnya lalu duduk bersandar di bahu ranjang, "Aku senang kamu ada kemajuan Sena," ucapnya menatap gadis yang sangat cantik saat bangun tidur. Tapi yang Mira aneh kan wajah Sena saat bangun tidur, sama saja seperti biasa, terlihat cantik-cantik juga. Tak ada perbedaan sama sekali. "Guru, sebenarnya Sena udah hafal 1 sampai 10, tapi Sena suka lupa …" "Oh ya? Coba, aku mau denger." "Emh, satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh! Ah iya bener. Tujuh itu abis enam … tadi Sena salah, abis lima tujuh. Terus abis tujuh de-depan." "Delapan-" koreksi Mira. "Oh iya delapan." Mira memperhatikan Sena dari samping. Pahatan wajah Sena terlihat indah saat membelakangi cahaya matahari. Hidung bangir-nya terlihat proporsional. Sekarang Mira tahu kenapa Dion sebucin itu. Selain cantik, Sena juga polos dan punya hati yang murni. "Semban-" "Sembilan," koreksi Mira lagi. "Oh iya sembilan. Delapan, sembilan, sepuluh. Yeeeeeee! Sena hafal, Sena hafal!" ucapnya kegirangan. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh delapan, sembilan, sepuluh." Sena bertepuk tangan riuh, "Bener, kan guru?" tanya Sena menatap wanita di sebelahnya. Mira mengangguk, "Benar …" "Yeee … Sena pinter. Nanti kalau Dion pulang pasti seneng," ucap Sena senang. Membayangkan Dion saja sudah membuat pipinya memerah. "Sena?" "Emm?" gumam gadis itu, menoleh menatap Mira. "Apa kamu selalu cantik?" Pertanyaan itu membuat dahi Sena mengernyit, "Can-cantik? Emang Sena cantik ya guru?" tanyanya balik. "Lah? Kamu gatau kamu itu cantik?" tanya Mira terkejut. Sena menggeleng lugu, "Engga …" "Emang Dion ga pernah bilang kamu cantik?" Sena menggembungkan pipi, mengingat-ingat, "Emh- pernah ga ya?" ucap Sena berpikir, "Sena lupa guru, hehehe," ucapnya tersenyum. "Kalau kamu gatau kamu itu cantik, berarti selama ini kamu ga pernah pakai make up? Atau berdandan modis kayak cewek zaman sekarang?" tanya Mira masih terkejut. Sena menggeleng, "Engga." "Astaga … aku masih sulit percaya ini," ucap Mira tercengang. "Emang kenapa guru?" Mira menggeleng, "Eng-engga … aku bingung aja. Pantesan aja muka kamu bangun tidur sama aja kayak biasanya." "Emang iya ya guru?" tanya Sena. Mira mengangguk, "Iya." "Sebenernya Dion ngebeliin Sena banyak baju. Semua baju yang Sena pakai dari Dion. Terus Dion beliin Sena skincare sama make up juga. Yang skincare Sena cuma pakai sabun cuci muka aja, selebihnya ga Sena pakai, karena ga tau cara pakainya, hehehe. Dan juga Sena ga bisa make up. Makanya pas Sena liat guru make up, cantik. Sena pengen kayak gitu juga." Mira tersipu malu, "Ah kamu bisa aja mujinya." "Tapi bener kok guru cantik," ucap Sena tersenyum. "Ah gimana kalau kita bikin perubahan," ucap Mira tiba-tiba bersemangat. Sena mengernyitkan dahi, "Perubahan?" Mira yang mendengar itu tersenyum lebar. ***** "Ayo Glenn, Rick, kita hitung jumlah bansosnya, cukup gak, sekalian masukin aja ke plastik," ucap Dion memberikan koordinasi pada Glenn dan Erick. Saat itu pondok telah sepi hanya tinggal mereka berempat. Glenn, Erick, Dion, dan Dimas yang masih berada di kamar. Yang perempuan mandi di sungai, dan yang laki-laki sedang mencari kayu bakar. Bisa dibilang, daerah ini merupakan daerah paling pojok dan tertinggal. Letaknya di dekat hutan. Jadi saat masuk kesini, bis akan menembus hutan terlebih dahulu. Meskipun letaknya di tengah hutan, tapi pemandangan disini benar-benar hijau, dan damai. Hal yang mungkin akan jarang kalian temui di Jakarta. Udara segar tanpa polusi yang masih rimbun dengan pepohonan. Glenn dan Dion mengeluarkan bansos dari dalam kardus satu persatu. Bansos yang telah di plastik-an dengan ukuran sedang. Ada 6 kardus disana. Yang dimana ukuran kardusnya super jumbo. Erick, sang anggota BEM, mengempiskan kardus bekas, agar tidak sempit. Kardus bekas akan disimpan, barangkali butuh. "Bantuan berasnya gimana Yon?" tanya Glenn memastikan. "Bentar lagi sampai kayaknya, soalnya, kan bis kita lebih dulu berangkat." Glenn mengangguk, "Oke." Sembari menunggu mobil beras, mereka akan menghitung plastik yang telah diisi bantuan. Bantuan beras tidak pergi berbarengan dengan bis mereka karena tidak akan muat untuk menampung. Apalagi beban beras yang begitu berat, jika ditambah dengan kapasitas manusia akan melebihi batas berat maksimum. "Satu, dua, tiga-" ucap Erick menghitung plastik bansos satu persatu, setelah dicek isinya oleh Dion. Dan Glenn menyusun bansosnya di dinding satu persatu. Mereka saling bekerja sama. Dion yang mengecek, Erick yang menghitung, dan Glenn yang menyusun. "Lima puluh, lima puluh satu, lima puluh dua-" hitung Erick. "Pastikan cukup Rick," ucap Dion. Erick mengangguk, sambil melanjutkan hitungannya. Setelah menghitung dan mengecek selama 15 menit. Truk kontainer berwarna hijau tiba. Mereka menatap truk yang berhenti di sebelah bis mereka. Dion beranjak dari duduknya, "Rick, Glenn, koordinir dulu ya. Gue ke truk dulu." "Oke," jawab mereka berdua. Erick melanjutkan hitungannya sambil mengecek isi, "Sembilan puluh empat," Erick mengoper plastiknya ke Glenn. Lalu Glenn menumpukan plastiknya di atas plastik lain. Dinding pondok dipenuhi deretan bansos yang tersusun rapi. Dion menghampiri truk hijau tersebut, "Pagi pak, berasnya udah aman semua?" tanya Dion memastikan. "Udah dek," jawab sang supir. "Oke, kita bongkar lagi," ucap Dion berjalan menuju kontainer belakang. Kontainer = box besar dibelakang mobil. box besar yang berfungsi seperti gudang, membawa barang-barang dalam jumlah banyak. Supir dan kenek keluar dari mobil, menghampiri Dion di belakang kontainer.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN