PART 60 - PERATURAN

1041 Kata
"Aw aw aw," ringis Mario. Sena dan Mira pun berhenti dengan nafas terengah-engah, entah berapa banyak pukulan yang mereka sematkan untuk Mario. Mereka melempar bantal di sofa setelah puas menghukum Mario yang kalau ngomong seperti mesin rumput. Tak ada filter. "Kalian tega banget sih anj*r," protes Mario. "Gue, kan ngasih kegiatan yang bermanfaat," lanjut Mario. "Bermanfaat pala lu pitak," ucap Mira sebal. "Lagian Mario idenya ga ada yang bagusan dikit apa. Masa cantik-cantik gini disuruh jadi babi ngepet," balas Sena. "Yaa, kan mumpung lampu masih mati. Mendingan cari cuan. Mumpung babinya ada dua, yang satu nyari disana, yang satu nyari disini. Kan kalian dayang-dayang gue, gimana si." Cuan = uang. "Dayang-dayang apaan lu," protes Mira kesal. "Kan gue raja," jawab Mario enteng. Sena memutar bola matanya lelah, sampai subuh pun tidak akan selesai-selesai jika meladeni Mario terus. "Guru, mendingan kita bobo aja yuk." Mira mengangguk, "Yuk ah, kita tinggalin Mario aja." Mira mengambil ponsel Mario di atas meja, dan merangkul pundak Sena menuju kamar. "Lah … kok gue ditinggal." Mario mengejar mereka dari belakang, namun Sena dan Mira yang sudah lelah tak mengindahkannya. Sena dan Mira masuk ke kamar Sena yang gelap gulita. "Masa gue ditinggal sendiri," ucap Mario di depan pintu. "Biarin, lu, kan cowo," ucap Mira singkat. Brak..! Mira menutup pintu kamar, membiarkan Mario gelap-gelapan sendiri. Tok tok tok "Masa gue ditinggal sendiri, gelap woy, kalau gue diculik tante kunti gimana?" "Tante kunti juga ogah mau nyulik lu Mar, dah lah gue mau tidur dulu. Lanjutin aja ide lu yang mau ngepet itu, bye …" ucap Mira dari balik pintu. Tok tok tok "Mira!" "Sena!" "Buka dong ah elah, tega bener kalian sama cowok imut berhati suci, selembut kapas, dan semanis madu kayak gue." Tok tok tok! "Sena sayang, bukain pintunya dong. Aa atut …" Atut = takut "Kata guru, Sena ga boleh buka pintunya. Jadi Sena harus dengerin siapa dong?" Sahut Sena dari dalam. Mario menghela nafas mendengar jawaban polos itu, "Yaudah aa bobo luar deh, tapi yayang Sena janji ya mimpiin aa Mario." "Iya … kalau ketemu ya," sahut Sena dari dalam. "Emang biasanya yayang mimpiin siapa sih?" tanya Mario dari balik pintu. "Dion." "Kalau gitu jangan mimpiin aa deh. Entar aa ditendang Dion dalam mimpi suruh keluar." ***** Jam 6 pagi mereka berbaris di depan pondok setelah sholat subuh berjamaah di musholla, dan yang beragama lain menunggu di pondok sampai sholat selesai. Mereka saling bertoleransi pada agama lain ketika beribadah. Begitu juga sebaliknya, jika ada agama lain yang beribadah di Gereja, Vihara, Pura, atau Klenteng jangan berisik, apalagi menganggu. Dimas tidak ikut untuk kegiatan hari ini. Sedang memulihkan kondisinya. Glenn dan 2 anggota BEM bolak-balik pondok mengeluarkan kardus bantuan bansos. Dan menumpuknya di samping Dion berdiri. "Assalamu'alaikum, selamat pagi semuanya," sambut Dion tanpa mikrofon. Kantung matanya bahkan terlihat, akibat bergadang semalaman dengan Glenn. Tidak bisa tidur, karena banyak nyamuk di pos ronda. "Wa'alaikumsalam," jawab mereka yang muslim "Pagi …" jawab mereka bersamaan. "Maaf- pagi-pagi banget kita kumpul hari ini. Pasti diantara kalian masih ada yang ngantuk, belum mandi, capek, lelah, kurang tidur. Tapi hari ini, kita harus semangat. Karena kita mau bagiin bansos ke rumah warga, setelah mandi dan sarapan." "Dan, saya mau jelasin sedikit ke kalian. Tentu aja daerah ini sangat beda sama di Jakarta. Jadi selama 12 hari saya harap kalian bisa beradaptasi. Karena apa yang kalian punya di Jakarta, ga akan kalian temukan disini. Jadi saya harap jangan ada yang mengeluh 'kok ga ada ini, ga ada itu'-" Glenn dan 2 anggota BEM yang sudah siap meletakan bansos, ikut berbaris di paling belakang, mendengar pembukaan Dion di hari pertama. "Kita harus ingat lagi. Kita ada di desa terpencil. Jauh dari kata modern. Jauh dari kata ada. Jauh dari kata sempurna. Semuanya serba kurang. Kalian yang biasanya mandi di kamar mandi, air ngalir terus, ga akan ada disini." Mereka yang berbaris pun terkejut. Salah satu diantara mereka membuka suara, "Terus kita mandi dimana?" ucap salah satu pemuda. "Sungai." "Haa," mereka melebarkan mulutnya terkejut. "Makanya … karena kita mandinya terbuka. Jadi rombongan cewek-cewek mandi paling pagi barengan sama cewek-cewek di desa ini. Biasanya mereka mandi dari subuh sampai jam 7 paling siang. Nah untuk cowok-cowok, mandinya jam 8 setelah cewek-cewek selesai." "Haa," mereka menganga lebar. "Jadi peraturannya kita buat hari ini ya. Peraturan pertama, jadwal mandi cewek dari subuh sampai jam 7 pagi, dan jadwal mandi cowok jam 8 sampai jam 9 paling lambat. Untuk makanan. Ini penting banget. Karena dana untuk kegiatan abdi sosial ini tidak mungkin untuk meng-cover nasi bungkus 3 kali sehari selama 12 hari. Jadi kita masak sendiri. Enak ga enak makan." "Haaaaa?!" Dion terkekeh, "Belum cukup kagetnya? Ada yang lebih kaget lagi. Cewek tugasnya masak, dan cowok tugasnya cari kayu bakar saat cewek-cewek pada mandi di sungai. Nah yang cewek-cewek selesai mandi, kalian langsung masak." "Karena ini kegiatan sosial, maka kalian harus beradaptasi dengan lingkungan sekitar. Jangan mencari yang ga ada disini, karna ini bukan perkotaan, yang apa aja kita mau selalu ada." "Dan peraturan kedua, karena ini desa terpencil dan masih menganut budaya turun-temurun, yah ... kalian tahu lah ya apa yang saya maksud. Jangan melanggar apapun di desa ini." "Yang ketiga, usahakan untuk menjaga sopan santun dan tata krama. Oke segitu aja peraturan penting yang harus kalian ingat. Selamat berjuang sampai 12 hari ke depan. Dan mohon maaf bila wakil BEM kita—Dimas berhalangan ikut, karena sakit. Segitu aja yang dapat saya sampaikan, kurang lebihnya mohon maaf. Wabillahi taufiq wal hidayah Assalamu'alaikum warahmatullahi wa barakatuh." Prok..! Prok..! Tepuk tangan meriah mengakhiri sesi pembukaan. "Wa'alaikumsalam," jawab mereka. Para wanita bergegas masuk pondok, menyiapkan barang-barang untuk mandi di sungai. Meskipun akan merasa malu atau canggung pertama kalinya mandi di tempat terbuka, tapi ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa. Dion membuka kardus bansos dengan pisau cutter. "Kak Dion." Dion menghentikan kegiatannya. Ia menoleh ke belakang, "Oh Chika ..." Dion menegakan tubuhnya, berhadapan dengan gadis itu. "Ada apa? Kok kamu ga ikutan mandi?" Chika mengangguk, "Iya sebentar lagi. Kak Dion, emm ... boleh gak nanti aku sama kakak aja?" "Sama aku?" Chika mengangguk, "Iya perginya, soalnya, kan aku deketnya sama kakak doang. Dan juga aku sendirian. Dari fakultas FMIPA, ga ada yang ikut." Dion berpikir sebentar, menimbang-nimbang ucapan Chika, lalu mengangguk pelan, "Boleh," ucap Dion tersenyum tipis.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN