"Biar saya bantu kak."
Dion mengangguk, "Iya, makasih Rick."
Erick, pria yang notabenenya adik kelas Dion sekaligus anggota BEM ikut membantu. Ia memapah Dimas di bahunya. Dimas yang sudah pingsan dibawa menuju pondok.
Dion sudah mewanti-wanti Dimas dari tadi, pasalnya Dimas terlihat sangat lemas, bahkan berdiri saja susah. Dan akhirnya pun Dimas tumbang juga, saat Dion memapah nya turun dari mobil. Untungnya Dimas tidak terjatuh, dan Erick dengan cepat membantunya.
Sementara Glenn, sang sekretaris BEM universitas mengambil alih sementara waktu. Menggantikan Dion, sang ketua, dan Dimas, sang wakil.
"Yaudah semuanya. Kita mulai sekarang-" ucap Glenn berdiri di depan.
Mereka yang tadinya menoleh ke belakang melihat Dion dan anggota BEM yang membawa Dimas pingsan, kini menoleh ke depan memperhatikan Glenn.
"Selamat malam semuanya-" sambut Glenn.
"Selamat malam," jawab mereka serempak.
Mereka berbaris menurut BEM fakultas masing-masing.
*****
"Pak pak tolong dibantu pak," ucap Dion pada pria paruh baya yang berdiri di depan pintu. Sang kepala dusun. Dion kasihan jika Dimas dipapah seperti ini, sementara kakinya terseok-seok di lantai.
"Iya nduk."
Nduk = nak/anak.
Kepala dusun itu mengangkat kaki Dimas di lengannya.
"Dimana kamarnya pak?" tanya anggota BEM.
"Disana nduk," jawab kepala dusun.
Dion dan anggota BEM mengangguk mengikuti kepala dusun. Menuju kamar yang terletak di ujung.
Sebenarnya pondok yang dijadikan penginapan mereka bukanlah pondok pesantren. Melainkan pondok biasa yang dijadikan aula serba-serbi untuk kegiatan adat atau lain-lain. Dan di dalam pondok ini, hanya ada 2 kamar tidur.
Pondok ini 100 persen bangunannya terbuat dari kayu ataupun bambu. Tidak tersentuh semen ataupun keramik. Tiang penyanggah pondok ini terbuat dari bambu, sementara untuk dinding full kayu. Lantainya terbuat dari papan. Dan atapnya dari seng.
Pak kepala dusun membuka pintu kamar. Terlihat ruangan seluas 2x3 meter. Ruangan tersebut sepi, hanya ranjang yang dilapisi seprai putih, dan satu nakas.
Mereka berjalan cepat menuju ranjang, dan menidurkan Dimas hati-hati.
"Makasih pak, Rick," ucap Dion pada kepala dusun dan adik kelasnya.
"Iya dek sama-sama."
"Iya kak."
"Saya ke depan dulu ya," izin kepala dusun.
Mereka mengangguk, "Iya pak."
Kepala dusun tersenyum tipis lalu pergi meninggalkan kamar.
Dion membuka dua kancing atas kemeja Dimas, membiarkan Dimas bernafas lebih lega, "Rick, punya minyak angin ga?" tanya Dion tanpa mengalihkan pandangannya.
"Ada kak, di tas. Saya ambil dulu ya."
Dion mengangguk, "Iya, cepet ya."
"Oke."
Adik kelas atau salah satu anggota BEM itu, pergi keluar kamar. Meninggalkan Dion yang sibuk menjaga Dimas.
Dion menanggalkan sepatu Dimas satu persatu. Dan meletakannya di bawah kolong ranjang. Dion berdiri, dan membenarkan selimut itu sampai batas d*da.
"GWS ya Dim," ucap Dion menatap Dimas sedih. Mungkin Dimas tidak akan ikut pengabdian besok. Menunggu keadaannya pulih.
Dion mengedarkan pandangannya, menatap sekeliling kamar. Terlihat sepi, dan sunyi. Entah kamar ini dipakai atau tidak. Pasalnya ranjangnya saja terlihat bersih, dan pondok ini katanya dipakai kalau ada acara kegiatan adat saja, atau ada keperluan.
Jadi ya bisa jadi, kamar ini jarang dipakai.
"Oh iya Sena … Sena udah tidur belum yah?" tanya Dion penasaran. Dion meraih ponselnya di balik almamater.
"Yaaah, ga ada sinyal lagi," Dion mendecak sebal.
"Kalau kangen Sena gimana dong? Ga bisa ngapa-ngapain."
Dion mengacak rambutnya frustasi. Apa ia bisa tahan 12 hari tanpa komunikasi dengan gadisnya. Yang biasanya ketemu setiap hari, kini harus berpuasa dulu.
Sementara di luar pondok. Glenn mengkoordinir panitia lain sendiri, tentu saja dibantu oleh anggota BEM universitas. Tapi para anggota sibuk mengeluarkan kardus bantuan dari balik garasi bis.
"Pak kira-kira di dalam pondok ada berapa kamar?" tanya Glenn pada kepala desa.
"Ada dua kamar, tapi ruang depannya sangat luas," jawab kepala desa.
Di malam itu. Kepala desa, 3 kepala dusun, dan Dubalang atau seperti hansip tapi tinggalnya di desa, telah menunggu mereka dari sore. Tentunya untuk menyambut mereka yang jauh-jauh datang dari Jakarta ke desa mereka.
Glenn, kepala desa, 3 kepala dusun, dan dubalang berdiri di depan.
"Kira-kira untuk ukuran 50 orang bisa ga ya pak?" tanya Glenn lagi.
"Waduh, kayaknya engga-" jawab kepala Desa, "Tapi bagaimana jika dibagi aja? Sebagian tinggal di pondok, sebagian lagi berpencar tinggal di rumah warga."
Glenn menatap semua anggotanya, "Gimana? Ada yang mau?"
"Boleh," ucap salah satu anggota.
"Di pondok itu kalau dipakai tidur. Kan ada 2 kamar. Satu kamar cuma bisa diisi 3 orang, karena kan tempat tidurnya sempit. Jadi untuk 2 kamar diisi 6 orang. Dan untuk di luar bisanya 10 orang," jawab salah satu kepala dusun.
"Jadi 16 orang untuk satu pondok?" tanya Glenn memastikan.
Kepala dusun mengangguk, "Iya."
"Gimana temen-temen setuju? 16 orang disini, 34 nya lagi … berpencar tidur di rumah warga?"
Mereka terdiam. Entah karena ragu, atau mengantuk berat.
"Selain di pondok ini ada pondok lain lagi ga pak?" tanya Glenn lagi. Sepertinya anggota lain keberatan untuk tidur di rumah warga, karena tak ada respon dari pertanyaannya tadi.
Kepala dusun menggeleng, "Engga … paling musholla sih adanya satu."
"Satu?" Glenn terdiam memutar otaknya, "Selain itu pak?"
"Sama pos ronda satu," jawab kepala dusun seadanya.
"Oh gitu ya- ehmm atau ga gini aja pak. Yang tidur musholla sementara waktu 5 orang bisa pak?"
Kepala dusun mengangguk, "Bisa kok."
"Oh yaudah kalau gitu, biar saya sama temen saya aja yang tidur di pos ronda. Berarti 2 orang di pos ronda, 5 musholla, 16 di pondok. Sisanya berpencar di rumah warga," ucap Glenn.
Aparat desa setempat mengangguk mengenai usulan Glenn.
"Disini yang cewek ada berapa orang?" tanya Glenn.
"Satu dua tiga empat-" Glenn terus menghitung sampai akhir, "16 orang."
"Untuk yang cewe mau di pondok? Apa di rumah warga?"
"Pondok," jawab mereka serempak.
"Kalau di rumah warga mau?" tawar Glenn lagi.
Mereka menggeleng, "Engga."
"Kalau di pondok resikonya ada yang tidur di karpet tanpa kasur, mau?"
"Mau," jawab mereka serempak.
"Yang cewek-cewek di pondok aja lah, kak Glenn, ga mau di rumah warga," usul salah satu anggota BEM cewek, merasa khawatir.
Glenn mengangguk, "Oh yaudah, tapi salah satu kamar lagi di pake Dimas. Jadi satu kamarnya di pake 3 cowok ya, gapapa, kan? Biar dua cowok di kamar jagain si Dimas. Selebihnya cewe dah. Anggap aja mereka bertiga yang jagain kalian di pondok kalau ada apa-apa. Setuju? Karna cewenya 16 orang, tidur aja di pondok gapapa semuanya."
"Gimana setuju ga?" tanya Glenn lagi memastikan.
"SETUJU," jawab mereka semangat.
"2 anggota BEM nanti tidur di kamar jagain Dimas. Pos ronda biar saya sama Dion, yang tidur di mushola silahkan 5 orang pilih mau tidur sana. Nanti sisanya pergi sama kepala dusun cari rumah yang mau nampung kalian. Setuju?"
"Setuju," jawab cowok-cowok serempak.
Glenn tersenyum senang, "Oke, kan berarti?" tanyanya memastikan lagi.
"Oke," jawab mereka serempak