PART 58 - MATI LAMPU

1124 Kata
"Permainan udah berakhir, sekarang lu pulang," ucap Mira mengusir Mario. Ia mengacungkan jari telunjuknya menunjuk pintu. Sena yang duduk di sofa, menghela nafas menatap mereka berdua. Entah kapan peperangan ini akan berakhir. Mario menyandarkan punggungnya di sofa, "Wuuh ga bisa dong." "Ga bisa apanya anj*r?! Bisa-bisanya lu jadi tamu ga tau diri," Mira menarik rambutnya frustasi. Sumpah ya, kalau ia diberi pilihan untuk minggat dari sini. Ia akan pilih minggat. Tapi ia sudah janji pada Dion untuk menjaga Sena. "Lah lu lupa ya? Istilah tamu adalah raja." Mira memutar bola mata, "Ya … terus?" "Yaaa gue bersikap layaknya seorang raja lah." "Gob-" baru saja ia ingin bersumpah serapah, tapi ia ingat disini ada Sena, "Hah," Mira menghela nafas kasar. "Tahan Mira, tahan tahan," Mira mengelus d*danya menahan amarah yang membara. Kalau saja Sena tak ada disini, mungkin ia akan mengeluarkan semua kata-kata mutiaranya tanpa sensor. "Pergi gak lu, gue itung ampe tiga nih. Kalau masih ga pergi juga gue-" "Cium," potong Mario asal. Lalu mengedip genit. "MARIOOOOOOO." Sena menutup kedua telinganya. Sementara sang pelaku cengar-cengir genit, puas menggoda Mira. "Kalo ga bisa jadi raja disini, gimana kalau jadi raja di hati lo aja." Mira meraih satu bantal di atas sofa, dan memukuli Mario tanpa ampun, "Rasain lo, rasain …" "Yaelah bercanda doang gue Mir, udah ngapa sakit pea." Namun Mira tak peduli, ia tetap memukuli bahu Mario dengan bantal sofa, "Becandaan lu ga lucu tau ga." "Iya gue tau ga lucu, tapi gue lucu, kan?" Buk..! Buk..! Buk..! "Aduh … kalian bisa ga sih gausah ribut sehari aja? Udah kayak kucing sama anjing tau ga." "Ga bisa," jawab mereka bersamaan. Sena membulatkan matanya, terkejut "Lah kok kompak?" Mira berhenti memukuli Mario, dan melempar bantalnya di atas meja, "Abisnya dia tuh ngeselin Sen." "Ngeselin tapi ngangenin, kan?" Mira menarik nafas dalam-dalam, "Ngomong sekali lagi gue tabok lagi nih." "Berantem mulu, kenapa ga nikah aja?" tanya Sena dengan polosnya. "Solusi yang tepat Sena-ku sayang," jawab Mario ceplas-ceplos. "Ogah banget gue nikah lu." "Sena bilang juga apa. Kalian tuh kayak anjing sama kucing, berantem mulu kalo ketemu," ucap Sena menimpali. "Dia yang anjing Sen," ucap Mira menunjuk Mario. "Dih enak aja, kucing gue mah. Muka imut kayak pant*t bayi gini dibilang anjing." "Ya, kan emang lu anjing." "Iya gue anjing, anjing pom," ucap Mario genit, menaikturunkan alisnya. "Keimutan buat lu, Bulldog lebih cocok." Sena menggeleng menatap tingkah laku mereka, "Udah lah Sena mau tidur dulu," ucap Sena beranjak dari kursi. "Sama aku yuk Sen," ucap Mario genit. Buk..! Mira mengambil lagi bantalnya di atas meja, dan melemparnya ke wajah menyebalkan Mario. "Punya Dion, anj*r." Sena terkekeh lucu. "Ya kalo ga boleh sama Sena, sama siapa dong? Sama lu?" ucap Mario menatap Mira yang berdiri di hadapannya. "Ogah banget … udah pulang sono ah. Berisik anj*r, ga pulang-pulang ni orang!" "Ga bisa bangun gue, ini pant*t gue udah nempel di sofa nih, ngelarang pulang." "Gausah ngarang ya Jing. Pulang sono!" "Jang Jing Jang Jing aja lu," protes Mario tak terima. "Pulang ga, udah jam 12 ini begi, mau ngapain lu di rumah cewe goblin," ucap Mira menarik tangan Mario paksa, namun Mario makin menempelkan bok*ngnya di sofa. Menolak diusir. "Lah suka-suka gue lah. Gue, kan raja." "Udah biarin aja guru, Mario tidur disini. Kan gapapa," ucap Sena menimpali. "Tuh, sama Sena aja boleh. Masa sama lu gak." "Yaa enggaklah! Mau ngapain lu tidur di apartemen yang isinya cewe semua." "Ya elah … gue, kan ga ngapa-ngapain. Paling tidur di sofa." Mereka saling tarik-menarik. Yang satu menarik suruh keluar, yang satu lagi mempertahankan posisinya. "Guru, udah izinin aja. Gapapa kok," ucap Sena menarik lengan Mira untuk berhenti. "Gabisa, pokoknya ga bi-" belum selesai Mira berbicara listrik tiba-tiba mati. Kegiatan mereka yang saling tarik-menarik pun terhenti. Jrt..! "Yaah, kenapa ni?" ucap Mira takut lalu melepaskan lengan Mario dari genggamannya. Sontak Sena langsung memeluk Mira dari belakang, "Guru, Sena takut-" "Aku juga takut." Mereka pun berpelukan erat, menyalurkan ketakutan mereka. Sementara Mario mengeluarkan ponselnya di saku celana menyalakan senter. "Tuh, kan gue bilang juga apa, ada gunanya juga gue disini," ucap Mario bangga. "Awas aja ya lu, mencari kesempatan dalam kegelapan," ucap Mira. "Kesempitan moon maap-" koreksi Mario. "Ya, kan sekarang lagi gelap. Mana tau lu cari-cari kesempatan." "Astaghfirullah bund ngomongnya-" protes Mario, tapi sedetik kemudian, "Kok bener." ***** Dion menyandarkan punggungnya di dinding pos ronda. Menatap bingkai foto Sena yang ia bawa dari kamar apartemen nya. Jujur saja, semenjak ada Sena, kenapa ia malah jadi bucin. Rindunya saja sekarang menggebu-gebu. Ingin rasanya ia menggelamkan tubuh mungil itu di pelukannya. Ia tidak tahu bagaimana 12 hari ke depan, akankah ia bisa berpuasa tak mendengar suara lembut gadis itu. Glenn mengeluarkan rokok dari saku jaket, "Rokok ga Yon?" "Engga, gue ga ngerokok," jawab Dion tanpa mengalihkan pandangannya. "Oh iya gue lupa," jawab Glenn lalu menyelipkan puntung rokok di antara bibir, "Lu, kan ga ngerokok." Glenn menggeserkan duduknya menjauh. Meskipun ia perokok, setidaknya ia tidak ingin berbagi asap pada orang yang bukan perokok. Glenn menyalakan pemantiknya di ujung tembakau, hingga asap mengepul ke udara. "Itu siapa?" tanya Glenn membuka topik. Dion yang tahu arah pembicaraan Glenn tersenyum, "Cewe gue Glenn …" Fyuhh… Glenn menghembuskan asapnya. "Udah move on dari Chintya berarti?" Dion terdiam. Lidahnya kelu untuk menjawab pertanyaan itu. "Hebat ya cewe itu, bisa buat lu move on dari Chintya. Gue kira lu bakal nge-jomblo seumur hidup." Dion menghela nafas, lalu meletakan foto Sena ke dalam tasnya. Dion menyandarkan punggungnya, menatap langit yang sepi tanpa bintang. Awan bergerak perlahan-lahan menutupi purnama. Disini, hanya mereka berdua, dan suara jangkrik saling bersahutan. "Lucu ya Yon. Waktu SMA kita pernah masuk rumah sakit gara-gara saling baku hantum berebut Chintya. Eh pas kuliah malah jadi temen," ucap Glenn tersenyum kecut. "Lu sayang banget ya sama Chintya?" tanya Dion menatap langit. Kini obrolan mereka semakin dalam, dan semakin larut bersama dengan malam yang hampa. Glenn menunduk dalam, "Iya." "Maaf. Gue gatau lu se-sayang itu." "Gapapa kali, lagi juga itu udah berlalu." "Lu ga marah sama gue Glenn?" tanya Dion menatap Glenn yang duduk jauh darinya. Glenn membalas tatapan Dion bingung, "Kenapa?" "Semua orang terdekat Chintya nuduh gue sebagai pembunuh Chintya … apa lu ga pernah berpikir gitu?" Glenn tersenyum tipis, "Kenapa gue harus nuduh lu? Emangnya lu ngelakuin itu dengan tangan lu sendiri." Dion menunduk, "Gue gatau Glenn, kalau saat itu Chintya ke Indonesia buat ketemu gue. Dia ga bilang apa-apa waktu itu." "Terus lu nyesel?" Dion mengangguk dalam, "Sampai sekarang gue ga bisa maafin diri sendiri." "Ayolah Yon. Apasih yang lu pikirin?! Emang yang ngasih mati lu? Yang ngasih kecelakaan juga lu? Kalau udah takdir mau gimana lagi Yon, Chintya pun mungkin disitu ga bisa ngehindar. Jadi yaudahlah, biarin aja semua berlalu. Kalo lu sedih gini, emangnya di alam sana Chintya seneng? Engga, kan?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN