PART 118 - MENYEMBUNYIKAN SESUATU

1022 Kata
Dion menatap dua wanita yang ia cintai tengah tertawa bersama di dapur. Dion tak menyangka mereka akan sedekat ini. Awalnya Dion pikir mamanya akan menolak Sena tapi ternyata tidak. Mamanya menerima Sena, dan menyukai gadis itu. Dion menyunggingkan senyuman. Pemandangan di depannya membuat hati Dion terasa hangat. Padahal awalnya Dion melarang Sena untuk ke dapur. Tapi melihat mereka berdua bahagia memasak bersama. Dion membiarkannya saja. Toh, Sena juga dapat ilmu baru belajar memasak bersama mamanya. Dion mengeluarkan ponsel di saku jeans, kemudian membidik objek di depannya, lalu- Ckrek! Dion tersenyum menatap hasilnya, lalu memasukan lagi ponselnya ke saku jeans. "Ma, Sena harus ngapain lagi? Kuah kaldunya udah jadi." Mama Dion yang sedang mengulek cabai, menoleh ke arah Sena, "Kamu masukin semua sayurannya ya sayang." "Oke ma," jawab Sena tersenyum ceria, ia memasukkan semua sayuran yang baru saja ia potong-potong. Brokoli, wortel, jagung, dan sayuran lain. "Menantu mama udah pintar ternyata ya …" puji Diana sambil tertawa. "Hahaha, mama jangan puji gitu Sena malu," jawab Sena dengan wajah memerah. "Hahaha." Mereka saling tertawa bersama. Dapur dipenuhi dengan canda tawa mereka, kebahagiaan, keceriaan semuanya jadi satu. Tuhan, bisakah Dion berharap kebahagiaan ini selamanya? Tidakkah ia dicap egois, memaksa Sena untuk tetap bersamanya? Dion menghela nafas. Kemudian meninggalkan kamar. Dion melangkah menuju kamarnya. Setiap kali Dion melihat senyum Sena, selalu ada dua perasaan yang bergentayangan. Senang dan juga sesak. Dion senang Sena bahagia di sampingnya, tapi ia juga sesak mengingat Sena bukan miliknya seutuhnya. Hati mereka memang saling terpaut. Dan mereka saling mencintai. Tapi jalan ceritanya pasti berbeda, jika ingatan Sena kembali. Sena selalu berkata; Sena untuk Dion, dan Dion untuk Sena. Tapi akankah ucapan itu berlaku selamanya? Bagaimana jika ingatan Sena muncul? Dion tak berharap banyak, bahkan jika Sena akan membencinya saat itu, Dion bersedia. Dion duduk di kursinya dengan perasaan lemah. Melihat momen Sena dan ibunya membuat Dion merasa sangat bahagia. Tapi Dion juga merasakan sesak bersamaan, egoiskah ia jika menginginkan ini selamanya? Egoiskah ia jika menginginkan ingatan Sena tidak kembali? Dion menunduk, menutup wajahnya dengan tangan. Cukup lama ia bertahan dengan posisi itu, sampai akhirnya Dion memutuskan mengeluarkan sebuah Diary yang bertuliskan Death Note. Terakhir kali ia menulis Diary ini setahun yang lalu. Cukup lama Dion berusaha move on dari Chintya. Dan setahun yang lalu Dion beritikad untuk tidak membuka apapun tentang Chintya lagi. Diary ini menyimpan sejuta kisah cintanya dengan Chintya. Sang cinta pertama. Dion membuka lembaran demi lembaran. Dari awal ia bertemu Chintya, berpacaran, sampai akhirnya Chintya meninggalkannya. Dan lembaran-lembaran berikutnya tentang rasa patah hati terbesar Dion sepeninggal Chintya. Dion meraih foto kenangannya dengan Chintya. Foto saat mereka masih mengenakan seragam SMA. Mereka saling tersenyum ke arah kamera. Tuk tuk tuk Sena mengetuk pintu kamar, lalu membukanya. Bam..! "Dion kita makan dulu." Suara Sena membuat Dion buru-buru menyelipkan foto Chintya di antara lembaran. "Sen-Sena," ucap Dion panik. Sena melangkah masuk, "Dion, ayo makan. Masakannya udah siap." "I-iya." Dion buru-buru berdiri, dan menyembunyikan Diary itu di belakang punggung. "Ayo makan," Sena meraih tangan Dion. "Eumm ... Sena kamu duluan aja. Nanti aku nyusul." "Kenapa?" "Gapapa." "Yaaah. Sena maunya bareng Dion. Soalnya makanannya udah siap." "Gapapa kok Sena. Kamu duluan aja." Mata Sena menyipit curiga, kemudian meliuk kanan-kiri menatap tangan Dion yang dua-duanya berada di belakang. Tapi Dion dengan sigap menghindari tatapan Sena. "Kenapa? Kok kamu natap aku gitu?" ujar Dion panik. "Dion lagi sembunyiin sesuatu ya?" Dion menggeleng cepat, "Eng-engga." "Terus, kenapa tangan Dion di belakang semua." "Haha," Dion tertawa pelan, yang sebenarnya tidak lucu. "Mana di belakang semua. Nih liat," Dion mengeluarkan tangan kirinya, kemudian tangan kanannya. Lalu tangan kirinya lagi. Ia melakukan itu berulang-ulang. "Tuh, tuh, tuh kosong, kan." "Coba keluarin dua-duanya." Sudah Dion bilangkan, Sena sekarang sudah pintar, tidak bisa ditipu lagi. "Sena boleh liat?" ucap Sena tak menyerah. Kemudian berjalan mendekat ke belakang punggung Dion, tapi Dion menghindar. "Ga ada apa-apa Sena. Beneran." "Engga, Sena yakin. Pasti ada apa-apa." "Sena mau liat." "Ga ada Sena, ga ada." Mereka pun saling berebut. Dion yang bertahan, dan Sena yang berusaha mengambil benda yang Dion sembunyikan. Dan akhirnya sebuah kertas jatuh tertelungkup di lantai. "Apa tuh?" Sena mengernyitkan dahi. "Ga ada." "Udah Dion minggir dulu. Sena mau liat." Dion menghela nafas, dan memilih mengalah. Ia membiarkan Sena meraih kertas itu meskipun perasaannya sekarang ketar-ketir. Dion menelan ludahnya menatap Sena yang membalik kertas foto tersebut. "Ah?" Sena mengernyit bingung. Reaksi Sena membuat Dion terkejut. Ia kira Sena akan memarahinya menyimpan foto dengan wanita lain. "Kenapa Sen?" Sena terdiam sejenak, "Kayaknya Sena pernah liat foto ini ... tapi dimana ya?" Sena berusaha mengingat-ingat. "Kamu pernah liat foto ini?" Sena mengangguk, "Iya, Sena rasa. Tapi Sena lupa dimananya." "Dion, Sena ayo makan." "Iya ma," sahut Sena. "Dion ayo makan. Nih fotonya Sena kembaliin," Sena menyodorkan foto milik Dion. Dion mengambil foto itu ragu-ragu. Reaksi Sena kok tidak seperti ekspetasinya ya. "Kam-kamu ga cemburu?" tanya Dion berhati-hati. Sena menggeleng, "Kenapa harus cemburu?" Dion menggaruk rambutnya yang tak gatal, "Kan aku foto sama cewek lain." Sena mengangguk paham, "Oh itu ..." "Oh itu apa?" "Gapapa," jawab Sena tersenyum. "Kamu beneran ga cemburu?" Sena menggeleng. "Ga marah?" Sena menggeleng lagi. "Loh kok kamu aneh sih? Biasanya orang-orang cemburu kok kamu engga?" Dion benar-benar bingung, serius. Apakah cuma Sena satu-satunya spesies wanita yang punya sifat begini? Atau- entahlah Dion juga bingung. Kok jadi ia yang pusing ya. Jadi ia harus senang Sena tidak marah, tapi harus bingung nih. "Kenapa Sena harus cemburu?" "Sen, kamu benar-benar ga cemburu? Kamu serius?" "Sena ga cemburu Dion dan juga ga marah." "Apa jangan-jangan kamu ga ngerti cemburu itu apa?" ucap Dion menebak. Emm, yang ini bisa jadi. "Dion Sena ayo makan. Nanti keburu dingin." "Iya ma," sahut Dion. Dion meletakan Diary di atas meja, dan juga foto Chintya. "Sen, aku tanya sekali lagi. Kamu beneran ga marah?" Sena menghela nafas panjang, "Dion sini," Sena menggerakan telunjuknya, memberikan isyarat untuk mendekat. Dion pun menurut, dan menunduk. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi kiri Dion, memberikan tanda merah. "Kok aku ditampar?" Dion memegang pipi kirinya yang baru saja ditampar Sena. "Balasan buat Dion karena masih simpen foto sama cewek lain." "Loh, katanya kamu ga marah?" ujar Dion tercengang. "Marah seharian menghabiskan energi."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN