PART 50 - PERJALANAN DI MULAI

1044 Kata
"Halo semuanya assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab semua anggota BEM yang berpartisipasi menjadi panitia abdi desa. Kurang lebih 50 orang dari masing-masing BEM fakultas dan universitas mengikuti kegiatan abdi desa. Dion berdiri di depan lapangan, dengan mikrofon yang ia pegang, membuat sambutan sebelum melepas kepergian menuju tujuan. "Gimana nih jiwa pemuda masih semangat ga pagi ini?!" teriak Dion lantang membangunkan jiwa-jiwa pemuda yang tertidur. "Masih!" Jawab mereka semua tak kalah semangat. Mereka berbaris di lapangan luas, seperti yang dijadwalkan jam 8 pagi adalah acara pembukaan kegiatan abdi desa. "MANA SUARANYA ANAK NUSA BANGSA!" "HOYY!" "Teriakan semangat!" "Semangaaaat!" "Lebih keras!" "SEMANGAAAT." Dion tersenyum, merasakan panas dan semangat yang berkobar di pagi ini. "Baiklah semuanya. Sekali lagi, assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." "Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab mereka lantang. "Baiklah … puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena sampai detik ini kita masih diberikan nikmat hingga kita bisa berkumpul di tempat yang baik ini. Baiklah pertama-tama, sebelum kita memulai perjalanan. Saya ingin memberikan sedikit pembukaan sebagai ketua BEM. Bahwa apa yang kita lakukan untuk mengabdi desa ini adalah dengan hati yang ikhlas, memberi tanpa pamrih, menolong tanpa mengharapkan pujian, dan memanusiakan manusia lainnya …" "Kita berharap tahun ini pengabdian kita untuk desa yang tertinggal, terpelosok, dan terpencil dapat membantu mereka, dengan mewujudkan asas dari tri dharma perguruan tinggi, yaitu : 1. Pendidikan dan pengajaran 2. Penelitian dan pengembangan dan yang ke-3 pengabdian kepada masyarakat. Dan yang ingin saya sampaikan adalah-" "Mengabdi bukan hanya memberi pada negeri, tapi juga memerdekakan rakyat kecil." Prok Prok Prok Suara tepuk tangan memenuhi seisi lapangan. "Saya Dion, ketua BEM universitas mengucapkan terima kasih." ***** "Sena ayo dimakan makanannya," ucap Mira lembut seperti seorang kakak yang membujuk adiknya. Ia memasakan nasi goreng sosis untuk Sena, tidak tahu apakah gadis itu menyukai masakannya atau tidak. Sena menggeleng pelan, "Sena ga nafsu makan," ucap gadis itu memain-mainkan sendok. Mira tersenyum hangat, "Masih sedih ya ditinggal Dion?" Sena terdiam. "Kalau Sena mau cerita apa yang terjadi, aku bisa kok bantu." Wajah Sena mendadak cerah, seperti ada secercah harapan yang datang untuknya. "Guru serius?" Mira mengangguk, "Serius- jadi coba Sena ceritain gimana kronologinya." "Jadi gini guru-" Sena mengingat kembali kejadian kemarin. Kejadian yang ia hanya ingat sedikit. Ia tidak bisa mengingat sepenuhnya. "Dion kemarin pukul guru pelukis." "Ha? Pukul guru pelukis?" ucap Mira terkejut. Sena mengangguk, "Iya, Dion marah karena katanya guru lukis itu melecehkan Sena." "Dilecehkan bagaimana?" tanya Mira lebih spesifik. "Ga tau … tapi kata Dion, dia ngeliat guru lukis itu mau nyium pipi Sena, terus pegang tangan Sena." Mira menghela nafas, "Kamu ngerasa kayak gitu ga?" "Sena ga tau soal yang nyium itu. Tapi kalau yang pegang tangan Sena, iya. Gurunya cuma ngajarin Sena mewarnai. Jadi Sena diam aja …" "Hah …" Mira menghela nafas panjang, "Jika guru itu niatnya cuma mengajari tanpa adanya kontak fisik yang intim, Dion ga akan se-marah itu." "Jadi Sena salah ya guru marah sama Dion?" ucap Sena cemberut. "Gini Sena … mungkin kalau seorang guru itu ngajarin kita cara memegang sesuatu yang baik, dan benar itu ga salah. Sama seperti guru TK yang mengajari muridnya cara memegang pensil saat nulis. Atau orang tua mengajari anaknya cara memegang sendok untuk makan. Dion mungkin ga marah soal itu. Tapi Dion marah, karena guru itu bertindak melewati batas … tapi tindakan Dion yang sangat marah sampai pukul kayak gitu juga ga bisa dibenarkan." Sena menunduk, meresapi setiap ucapan Mira. "Maaf." "Minta maafnya bukan ke aku, tapi ke Dion," ucap Mira tersenyum. "Lagipula aku kenal Dion dari SMP- ehm … kamu mau ga aku ceritain tentang Dion setelah makan?" "Mau! Mau!" ucap Sena dengan mata berbinar-binar senang. "Kalau gitu, abisin dulu dong nasi gorengnya. Baru aku ceritain." Sena mengangguk ceria, "Iya!" Seperti energinya baru saja di-cas. Mira tersenyum menatap Sena yang menyuapkan nasi cepat-cepat. Ia bisa merasakan bagaimana ikatan cinta mereka berdua. Meskipun bertolak belakang, tapi saling membutuhkan. ***** "Ayo semuanya masuk ke bis, jangan sampai ada barang yang tertinggal," ucap Dion dengan toak. Ia memastikan sejumlah rekan BEM pas 50 orang. Mereka dibagi per kelompok sesuai fakultasnya. Mereka masuk per kelompok ke dalam bis, memastikan tidak ada yang tertinggal. "Satu … dua … tiga," ucap Dion menghitung anak fakultas Ekonomi dan Bisnis masuk satu persatu ke dalam bis. "Yon! Sembako aman," ucap Dimas selaku wakil BEM universitas. Mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi, memberikan kode. Ia dan anggota BEM universitas memasukan 6 kardus berisi bantuan untuk warga di desa. "Empat, lima ..." Dion menoleh ke arah Dimas, dan mengacungkan jempolnya tinggi, "Oke!" "Semuanya aman!" teriak Dion. Semua anak BEM dari masing-masing fakultas telah masuk ke dalam bis. Tinggal seorang perempuan saja yang masih berdiri di luar. "Loh, kok ga masuk?" Chika menggeleng, "Masuknya bareng kak Dion aja." Dion tersenyum, "Ooh-" ucap Dion menyunggingkan senyuman. "Masuk duluan aja. Masih ada sesuatu yang harus gue kontrol sebelum jalan." Chika menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya, "Yaudah deh ... tapi nanti kak Dion duduknya sama siapa?" "Sama siapa aja boleh kalau kursinya kosong." "Sama aku yuk?" tawar gadis itu. Dion menggaruk kepalanya yang tak gatal, "Emm gimana ya?" "Gimana?" Bam..! Dimas dan dua anggota BEM universitas menutup bagasi bis. Setelah semua barang aman. "Yon! Gue naik ke atas dulu ya," ucap Dimas meminta izin. "Oke," jawab Dion tersenyum. Dimas dan dua anggota BEM menaiki bis. Meninggalkan mereka berdua. "Yon! Ayo naik! Semuanya udah lengkap!" Teriak Glenn, sekretaris BEM universitas. Ia memanggil Dion dari balik kaca bis. "Iya bentar lagi!" teriak Dion, ia kembali menatap gadis berkupluk ungu itu, "Kamu masuk duluan aja. Nanti aku nyusul." "Oh gitu ya," Chika mengerucutkan bibirnya, "Oke deh," ucapnya dengan rasa sedikit kecewa. Ia berlalu meninggalkan Dion sendirian. Dion memandangi punggung ringkih yang kian menjauh itu. Ia hanya ingin menjaga perasaan Sena, makanya ia mencoba menolak dengan halus. Ya, sebenarnya ia tidak bisa menolak secara terang-terangan. Ia takut gadis itu tersinggung atau sakit hati. "Oh iya Sena ..." Dion merogoh ponselnya dibalik saku almamater. Sebelum ia pergi, ia akan pamitan dulu pada gadis itu. "Oh iya tapi Sena masih belum bisa pake hape ya." "Oh iya Mira." "Yon cepetan! Bisnya mau jalan!" teriak Dimas, sang wakil BEM dari balik kaca. "Iya bentar lagi!" balas Dion keras. Rencananya ia akan menelepon Mira, tapi rasanya waktu tidak akan cukup. Dan pada akhirnya, Dion hanya mengirim sebuah pesan pada gadis itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN