PART 51 - PESAN DION

1004 Kata
Drrt drrt Mira merasakan ponselnya bergetar di atas wastafel. Mira yang sedang mencuci piring bekas makan mereka, melirik sedikit, membaca nama sang pengirim. "Dion," gumam Mira. Ia pun meletakan piring yang sedang ia cuci, dan mencuci tangannya yang penuh busa. Mira mengelap tangannya di celana, lalu meraih ponsel Androidnya. "Dion ngirim apa?" gumam Mira pelan, lalu membuka pesan panjang dari Dion. Halo Mir, maaf ya ganggu. Tolong sampaikan ucapan pamitku ya sama Sena. Aku keluar kota agak lama, 12 hari. Aku belum sempat pamit sama Sena, ku harap dia ga sedih. Tapi kayaknya ga mungkin, pasti tadi dia nangis ya? Hehe. Sebelumnya makasih banget kamu udah bantu aku buat jaga Sena. Jaga diri kamu dan Sena baik-baik di rumah. Oh iya aku lupa, selama kamu di rumah. Aku minta tolong banget, bisa gak kamu jangan izinin Sena buat ke sekolah melukis lagi. Ya ga apa-apa sih kalau kamu mau ngajak dia ke sekolah melukis, tapi cari guru yang baru ya. Aku ga suka guru yang ini. Panjang juga ya pesanku. Intinya kamu dan Sena hati-hati di rumah. Kalau uang amplopnya kurang, hubungi aku ya. Upah kamu aku naikin berkali-kali lipat, sebagai tanda terima kasih aku ke kamu. Oya, satu lagi aku takut lupa, jangan kasih Sena udang ya, dia alergi udang. Dan juga jangan kasih dia belut, dia ga suka belut. Dan tolong jaga dia dari si Bryan, guru lukis itu. Bis mau jalan, tapi aku ngetiknya panjang banget. Udah segini aja pesanku. Sampaikan pamitku ke Sena ya, trims ^_^ Mira menggeleng kepala, "Dasar bucin," ucap Mira sedikit terkekeh. Ia melepaskan celemeknya, dan meletakan di atas wastafel. "Sena ..." panggil Mira, berjalan meninggalkan dapur menuju ruang tamu. "Iya," jawab Sena yang sedang fokus menjawab soal-soal dari Mira. "Dion ngirim pesan ke aku," Mira menghampiri Sena yang duduk di lantai, dengan meja belajarnya. "Mana mana?!" ucap Sena girang. Ia benar-benar tidak sabar, dan juga rindu. Padahal baru beberapa jam Dion meninggalkannya. Mira duduk di samping Sena, "Nih aku bacain ya." ***** Dion tersenyum menatap pesan yang baru ia kirimkan, "Mungkin ini pesan terpanjang yang pernah gue buat." Dion meletakan ponselnya di balik jaket almamater. Lalu menaiki bis. Baru saja kakinya menapaki bis, sudah terdengar suara sorak-sorai dari mereka yang bernyanyi ria. Dion menutup pintu bis rapat-rapat. Ya bukan anak muda namanya jika bis tidak berisik. Ada saja yang main gitar, gendang, nyanyi-nyanyi, bercanda, berbagi Snack. Dion berdiri di tengah jalan, kanan kirinya diapit kursi, "Udah lengkap semuanya?" tanya Dion memastikan lagi semua panitia. "Udah!" jawab mereka serempak. "Udah pas, kan 50?" "Udah." Dion mengangguk setelah memastikan semuanya aman, "Jalan pak." "Oke," jawab sang supir yang perlahan-lahan menancapkan gasnya. Dion berjalan ke belakang, mencari kursi kosong. "Kak Dion sini!" Dion menatap Chika yang memanggilnya. Entah sengaja dipisahkan untuknya atau tidak. Kursi itu telah ditandai Chika dengan tas, agar tak ada orang lain yang duduk disitu. "Duh," Dion menggaruk-garuk tengkuknya yang tak gatal. Ia mencoba mengabaikan gadis itu, dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling, berharap ada kursi kosong. Pasalnya ia tidak mau duduk dengan Chika. Ya lebih spesifik lagi, duduk dengan perempuan. Dion terus berjalan sampai ke belakang, tapi tidak ada. Semuanya telah terisi, apalagi kursi belakang dipenuhi tas dan barang-barang. "Kak Dion udah duduk sama aku aja." Dion menghentikan langkahnya di kursi Dimas yang duduk bersama Glenn. "Mas lu duduk sama Chika aja mau ga?" Chika yang mendengar itu mengerucutkan bibir, pasalnya ia memang dari awal sudah memisahkan bangku itu untuk Dion. "Lu mau duduk sini?" tanya Dimas. Dion mengangguk. "Oke," jawab Dimas semangat. Ia membawa tas ranselnya dan pindah menuju kursi Chika. Chika mau tak mau memindahkan tas ranselnya ke bawah. Memberikan tempat duduk Dion untuk Dimas. Dion meletakan tas ranselnya di atas kabin. Lalu duduk di kursi samping Glenn. "Kenapa lu ga mau duduk bareng Chika?" Dion menyandarkan punggungnya lelah, "Emangnya kenapa?" "Dia, kan anak fakultas FMIPA yang populer." "Mau populer kek mau engga, bukan urusan gue juga Glenn," ucap Dion memejamkan matanya. Merilekskan diri. "Heran gue sama lu. Si Chika cewe populer se-kampus ngasih tempat duduk malah nolak, jangan-jangan lu gay?!" Dion membuka matanya tiba-tiba, "Anj*r sembarangan kalo ngomong. Masih normal gua. Ga suka gue sama yang batangan! Anjirrrr." "Alhamdulillah, aman berarti gue duduk ama lu Yon." "Si bangsut," protes Dion. ***** "Tuh, kan apa aku bilang. Dion itu ga jahat. Dia benar-benar sayang sama kamu," ucap Mira menenangkan gadis itu setelah membacakan semua isi pesan dari Dion. Sena mengusap air matanya, terharu dan juga merasa bersalah telah mengatakan yang tidak-tidak pada pria itu. "Sena ga sengaja kemarin mutusin Dion. Terus hubungan Sena gimana? Apa Sena dan Dion pisah?" curhat Sena disela-sela tangisannya. "Kalau kalian sama-sama saling mencintai, pasti apapun yang terjadi bakal balik lagi. Percaya deh sama aku." Sena mengusap air matanya, "Guru, boleh gak telponin Dion sebentar? Soalnya Sena ga ngerti cara pakai hape." "Oke." Mira mencari kontak w******p Dion, dan menekan tombol panggil. "Tunggu dulu ya-" ucap Mira, lalu menekan loudspeaker. Tut Tut Tut Panggilan tersambung namun belum ada tanda-tanda diangkat pria itu. "Kok ga dijawab guru?" "Ehm ... tunggu dulu ya, nanti juga diangkat." Sena mengangguk, "Ngh- iya." Sementara sang penerima telepon tertidur pulas di bis. Ditengah-tengah nyanyian orang-orang yang berisik, berkaraoke dengan mikrofon, ditambah gitar dan gendang. Tetap tak membangunkan pria itu. Padahal ia yang paling menyuruh pemuda semangat, tapi ia yang tidur duluan. Ia sama sekali tidak bisa tidur setelah bertengkar dengan Sena. Ia hanya berharap dengan tidur bisa merilekskan pikirannya. Ia masih tetap memikirkan Sena. Hanya saja, ia tidak ingin membawa masalahnya di kegiatan sosial ini. "Yaaah guru ga diangkat ya," ucap Sena cemberut. Berkali-kali Mira menghubungi Dion tapi tak diangkat. "Mungkin hari ini Dion lagi sibuk." Sena mengangguk lemah, "Oh iya ya." "Udah jangan sedih, nanti kita coba lagi telepon Dion ya." "Iya," ucap Sena memaksakan senyum. Padahal ia ingin meminta maaf pada pria itu, dan mengatakan rindu tentu saja. Ting nong! Suara bel di luar memecahkan suasana, mereka berdua saling bertatapan bingung. "Siapa?" tanya Mira. Sena menggeleng, "Sena juga gatau guru." "Yaudah, Sena belajar aja ya. Biar guru yang bukain pintu." "Iya," ucap Sena mengangguk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN