PART 82 - LUKISAN SENA

1008 Kata
"Akhirnya selesai juga," Sena tersenyum menatap hasil karya lukisannya. "Semoga Dion suka lukisan Sena." Sena tak sabar menunggu reaksi Dion melihat lukisan yang ia buat semalaman. Ia bergadang sampai pagi membuat kejutan ini untuk Dion. Sena turun dari ranjang menuju samping nakas. Ia menunduk, menyandarkan lukisannya ke pojok dinding. Sena tersenyum tipis menatap lukisannya, "Semoga papa kamu suka ya." Sena kembali tersenyum, tersipu malu "Papa?" Tiba-tiba pipinya semerah tomat. Membayangkannya saja Sena sudah berdegup tak karuan, bagaimana kalau misalnya terjadi benaran. "Aaaa Sena jadi pengen nikah sama Dion," ucap Sena asal. "Pasti menyenangkan," Sena bertepuk tangan riang. Ia membayangkan dirinya hidup bersama dengan Dion dan mempunyai beberapa anak. "Enghh pegel–" Sena merenggangkan otot-ototnya yang tegang. "Tapi Dion suka ga ya lukisannya?" tanya Sena pada dirinya sendiri. Tadi ia percaya diri Dion akan suka lukisannya, sekarang ia malah ragu, Dion tak menyukainya. "Pasti. Sena harus percaya diri. Kan itu buatan Sena. Pasti Dion suka aja. Iya, kan?" "Iya pasti," ucap Sena yang sekarang percaya diri lagi. Sena menatap telapak tangan dan bajunya yang dipenuhi cat hasil kerja kerasnya semalam. "Sekarang tinggal beres-beres," ucap Sena riang, "Yeee." Sena pun membalikkan badannya, ingin merapikan peralatan lukis. Namun saat ia berbalik badan dan menatap ranjang Dion. Mata Sena membulat, terkejut. "Astaga?!" Sena menutup mulutnya tak percaya. Seprai Dion berceceran dipenuhi dengan cat akrilik, bungkus cokelat dan snack bertebaran. Sejujurnya, Sena melukis di ranjang Dion dan juga makan di ranjang Dion semalam. Sekarang ranjang Dion jadi kotor tak karuan. Seprai terkena tumpahan cat dimana-mana karena Sena lupa menutup tutup botolnya. Sena menggigit kuku jarinya, "Aduh gimana nih." "Dion pasti marah." "Dion marah ga ya?" tanya Sena sekali lagi. Ia tahu Dion orang yang sangat suka kebersihan, dan perfeksionis soal barang. Sekarang ia malah menghancurkan kamarnya. "Aduh gimana nih?" Sena mondar-mandir panik. Tanpa ba-bi-bu, Sena segera berlari ke arah ranjang, memunguti semua peralatan lukisnya yang berserakan. Cat akrilik semuanya tumpah, tutup botolnya entah pergi kemana, kuas yang penuh cat di atas kasur. Sena menarik kuasnya yang melengket di seprai. Ia teledor sekali, meletakan kuas basah di atas seprai. Sena mengumpulkan semua peralatan lukisnya dan turun dari ranjang. Ia meletakan semuanya di atas nakas. Lalu kembali lagi ke ranjang memunguti semua sampah camilannya. Dan membuangnya di tempat sampah sebelah pintu. "Maaf Dion, Sena bikin kamar Dion rusak," ucap Sena mengerucutkan bibirnya, merasa bersalah. Sena menarik selimut, sarung bantal, sarung guling beserta seprai Dion yang dipenuhi cat. Sena meletakannya di bawah lantai. Kini kasur Dion polos tak dilapisi apapun. Di atas kasur putihnya ada sedikit cat yang menempel. ***** 20 orang panitia, Dimas, dan beberapa warga turut andil dalam membangun kincir air untuk pembangkit tenaga listrik. Rencananya tenaga listrik itu akan dialiri ke rumah warga yang sama sekali tidak ada listrik. Mereka berdiri di depan sungai keruh yang menjadi sumber kehidupan mereka. Dari sumber air untuk minum, memasak, mandi, mencuci. Dan berbagai kegiatan lainnya berpusat pada sungai ini. Dimas yang berperan sebagai pengawas, dan mentoring di kegiatan ini juga turut membantu. Karena membangun kincir angin membutuhkan waktu yang cukup lama. Maka itu dikerahkan banyak pekerja untuk menyingkat waktu. "Nanti disini kita akan membuat kincir air besar untuk membangun pembangkit listrik tenaga air. Dimana listrik tersebut akan dialiri ke rumah warga, sebagai sumber kehidupan. Jadi tidak ada lagi anak-anak yang belajar pakai lilin, semuanya menggunakan lampu sebagai penerangan. Jadi sistem kerja kincir air itu. Dia akan berputar cepat bergesekan dengan air. Semakin cepat putarannya, semakin tinggi juga listrik yang dihasilkan." "Tapi memang untuk membuat kincir air waktunya cukup lama. Dan media yang dipakai lebih bagusnya besi." Seorang warga pria paruh baya mengacungkan pertanyaan. "Bagaimana jika besi tidak ada? Sangat sulit untuk mencari besi karena sumber daya di desa kami." Dimas berpikir sejenak, lalu tersenyum, "Kita bisa menggantinya dengan kayu." "Sudah siap untuk bekerja sekarang?" Dimas bersorak penuh semangat. "Siap!" sahut mereka semua kompak. "Siap," balas Dimas juga. Beberapa panitia dan beberapa warga meninggalkan tempat mencari ratusan kayu untuk membangun kincir angin. Dimas menatap lurus ke depan. Menatap sungai kumuh berwarna kecokelatan yang menjadi sumber daya. Setelah puas menatap sungai itu, ia berjalan menjauhi panitia dan warga menuju batu besar yang agak jauh dari mereka semua. Dimas duduk di sana. Lalu mengeluarkan buku dan pensilnya di balik ransel. Saat ia menatap sungai, ia telah memiliki gambaran seperti apa kincir air yang akan dibuat. Tangan Dimas menari lihai di atas kertas, membuat sketsa gambar kincir air. Dimas sang anak teknik, memikirkan banyak hal sebelum membuat kincir air. Ketika membangun sesuatu, kau harus menghitung kokohnya suatu bangunan. Dan kokohnya suatu bangunan terletak pada sempurnanya pondasi yang kau buat. Dimas menggambar sekaligus menghitung rasio yang pas dan sempurna untuk pembangunan kincir air. Tinggi, lebar, dan cara pembuatannya harus pas. Karena membangun itu harus sejalan, jika salah satunya rusak. Maka rusak semua bagian yang lain. Sementara beberapa panitia dan warga yang tersisa di sungai, saling mengobrol soal pembangunan kincir air. Mereka terlihat antusias, namun juga banyak pertanyaan yang tersimpan di benak. Salah satu warga pria paruh baya bertanya, sungai adalah sumber kehidupan mereka untuk melakukan apapun. Termasuk sekolah ataupun menyeberang jalan. Jika dibangun kincir air, maka siapapun yang lewat sana, bisa-bisa terseret karena putaran turbonya yang kencang. Dan salah satu panitia pria berbicara, bahwa sebelum membuat kincir air para sukarelawan abdi desa telah izin pada kepala desa dan kepala dusun untuk membangun jembatan di atas sungai. Saat itu Erick yang menjadi perwakilan bicara ke kantor desa. Makanya saat itu Erick sang anggota BEM sibuk bolak-balik menemui pak Mukhlis, kepala dusun. Dan juga kepala desa. Masalah mandi, mencuci, dan kegiatan apapun di sungai ini. Panitia berkata bahwa akan dibangun beberapa sumur mandi laki-laki dan wanita secara terpisah. Juga membangun WC umum pria dan wanita. Hal itu dilakukan karena semua rumah tidak memiliki kamar mandi. Mengingat dana terbatas, mereka hanya bisa membangun sumur dan toilet umum. Dari semua orang yang berperan andil disini. Mereka dibagi-bagi tugas lagi. Beberapa orang membangun kincir air, beberapa orang membangun sumur, beberapa orang membangun toilet, dan beberapa orang membangun jembatan. Para mahasiswa yang mengikuti kegiatan abdi desa dan warga turut andil membangun desa mereka menjadi lebih baik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN