PART 136 - LAKI-LAKI ITU YANG DIPEGANG UCAPANNYA

1071 Kata
"Apa ada yang sakit?" Dion melangkah masuk ke kamar Sena. Mendekati gadis yang terbaring lemah di atas ranjang. Sesuai kesukaan Sena, Dion mengganti seprai kamar Sena bergambar Mariposa. Sena menggeleng, menatap Dion yang berjalan ke arahnya, "Engga." Dion tersenyum tipis, kemudian duduk di sisi ranjang. "Kalau kamu ngerasa sakit, kamu bisa bilang. Jangan ditahan." Sena menggeleng, "Engga kok." Sejujurnya Iya. Tulangnya masih terasa linu akibat sentruman itu. Tapi ia tidak ingin calon suaminya khawatir. Calon suami- Sena menutup mulutnya. Ah, berpikir calon suami Sena jadi tidak sabar. "Aku boleh tidur sini?" Sena mengangguk semangat, "Iya." Dengan semangat, Sena sedikit menggeserkan tubuhnya memberikan Dion tempat. Dion naik ke atas ranjang, membaringkan tubuhnya di sebelah Sena. Ia memiringkan tubuhnya menatap gadis itu, "Aku janji ga akan macam-macam." Sena ikut memiringkan badannya, meskipun masih agak sakit. Ia menatap sang pemilik netra indah berwarna cokelat karamel. "Macam-macam apa?" "Melakukan hal di luar batas." "Aku ga mau melakukannya sebelum kita menikah," lanjut Dion. Sena menatap mata Dion yang seperti magnet, menariknya semakin dalam dan terjatuh. Benar, ia terjatuh dan terhanyut oleh pria tampan itu. Jantungnya bahkan berdebar keras sekarang. Dion mengusap-usap rambut Sena, memandang lembut gadis itu, "Apa ada orang yang menjahati kamu?" Sena terdiam. Ia menurunkan matanya, menatap ke arah lain. "Ngg- itu …" "Kamu bisa bilang siapa orangnya." Sena menggigit bibirnya kuat, "Sena …" "Iya." "Sena ga ingat siapa orangnya." Dion menghela nafas, kalau sudah begini ia tidak bisa memaksa Sena mengaku. Dion tersenyum tipis, menurunkan tangannya, mengusap-usap pipi Sena yang lagi-lagi memerah. "Aku akan memberi perhitungan pada siapapun yang menyakiti kamu." Sena menatap pemilik mata coklat karamel itu, "Dion …" Dion tersenyum, "Sudah tugas aku menjaga kamu." "Dion, janji ya jangan tinggalin Sena lagi." Dion mengangguk, "Iya. Aku ga akan pernah ninggalin kamu." Sena tersenyum senang, kemudian memeluk Dion. "Hangatnya …" gumam Sena. Mereka saling menyalurkan suhu tubuh masing-masing. Entah kenapa setiap kali berada dalam pelukan Dion rasanya hangat sekali, dan juga nyaman. Dion menarik Sena mendekat, membekap Sena di dadanya, "Aku disini sampai kamu tidur." Sena mengeratkan pelukannya, "Ga mau. Sena mau Dion temenin Sena." "Oke," jawab Dion lembut. Untuk sekarang ia tidak bisa menolak. Dion menepuk-nepuk punggung Sena pelan, memberikan kenyamanan untuk gadis itu. Ia akan disini menjaga Sena sampai pagi. Dion berusaha mengontrol dirinya untuk tidak meng-apa-apakan Sena. Ia membiarkan Sena memeluknya, hingga gadis itu terlelap sampai pagi. "Tidur yang nyenyak, baby girl." Dion mengecup puncak kepala Sena. Lalu memejamkan matanya perlahan-lahan, ikut terlelap. ****** Duar..! Duar..! Mira yang tadinya berniat memejamkan mata, tidak jadi. Suara gemuruh bersahutan dan derasnya hujan di luar membuatnya tidak bisa tidur. Sekaligus tidak tenang. Mira mengubah posisi, tidur menghadap kanan, dengan tangan kiri berada di bawah kepalanya. Dan kakinya meringkuk di bawah selimut. Ia kembali memejamkan mata, mencoba mengabaikan semua pikirannya. Alih-alih bisa tidur, ia tambah tak bisa tidur sama sekali. Matanya kembali terbuka. Lalu terduduk di tepi ranjang. Mungkin jiwanya disini. Tapi pikirannya melayang ke luar sana. Mira meraih jam weker di atas nakas. Yang terletak di samping tempat tidur. "Jam dua." Mira membulatkan mata terkejut, dengan tergesa-gesa ia menyingkapkan selimut dan turun dari ranjang. Mira berlarian di ruang tamu, sampai akhirnya ia berdiri tepat di depan jendela. Mira menyingkapkan gorden. "Haa," Mira menutup mulut terkejut. Pria itu- pria itu masih di sini. Sebelum ia meninggalkan Daniel, Mira yakin pria itu masuk ke mobil. Tapi sekarang, pria itu malah berdiri di depan halamannya. Membiarkan tubuhnya kehujanan. Apa pria itu tidak takut pada gemuruh dan petir yang saling bersahutan? Mira berlarian masuk kamarnya. Mengambil sesuatu. Setelah itu ia memutuskan membuang ego-nya. Mira membuka pintu, menatap Daniel yang menggigil kedinginan di bawah guyuran hujan. Mira berjalan mendekat. Daniel menahan tubuhnya yang bergetar, hampir saja tulangnya mati rasa. Berjam-jam ia menunggu di luar sampai Mira mau menemuinya. Daniel menunduk, memejamkan mata membiarkan air dari langit menghantam tubuhnya. Sampai suatu saat ia tak merasakan apapun. Apakah tandanya kulitnya telah mati rasa karena menggigil hebat? 3 jam ia menantang hujan deras. "Bodoh." Suara itu. Daniel mengenalnya. Daniel membuka mata perlahan-lahan, tetesan air dari rambutnya jatuh ke wajahnya. Sosok yang menghindarinya dari kemarin, kini berada di hadapannya sedang memayunginya. "Mira." "Kan aku bilang apa, aku pengen sendiri dulu. Kenapa kamu masih disini? Kenapa kamu ga pulang?" Hujaman pertanyaan dari Mira membuat Daniel tersenyum, "Aku tau kamu masih peduli." "Kamu mau mati apa di luar hujan-hujanan begini. Kenapa kamu ga masuk mobil? Kenapa kamu ga pulang? Kenapa kamu ga-" Daniel hanya tersenyum, lalu merengkuh tubuh Mira ke dalam pelukannya. "Pria itu yang dipegang ucapannya. Kalau aku bilang nunggu, berarti aku nunggu." Mira hanya mematung. Membiarkan Daniel memeluknya. ***** "Nih." Mira meletakan secangkir coklat panas di meja ruang tamu. "Kamu ga bikin juga?" tanya Daniel yang duduk di sofa. Ia telah mandi, dan juga berganti baju dengan pakaian oversize Mira yang bisa untuk semua ukuran. Tapi bagaimanapun juga, masih sempit di tubuhnya. Pakaian wanita dan pria tentu saja berbeda. Mira menggeleng, "Engga," jawab Mira yang telah berganti pakaian. "Aku letakin nampan dulu." Daniel mengangguk, "Iya." Mira pun berlalu pergi membawa nampan ke dapur. Daniel mengedarkan pandangannya ke seisi rumah. Rumah ini tidak terlalu kecil, dan juga tidak terlalu luas. Terkesan sederhana dan biasa-biasa saja. Ia melihat foto-foto yang terpajang dari kejauhan. Termasuk foto tentara yang terpajang. Ia jadi ingin menanyakannya. Daniel melihat ke arah dinding, "Oh udah jam tiga …" ucap Daniel tak menyangka, ia sudah menunggu selama itu. Mira keluar dari dapur, dan membawakan satu cangkir cokelat panas juga untuknya. Ia juga duduk di sofa yang berbeda dengan Daniel. Sofa Mira berbentuk L. Daniel sedang duduk di sofa panjang dan Mira duduk di sofa kecil. "Diminum coklatnya." "Oh iya," Daniel meraih cangkir itu hati-hati kemudian menyeruputnya. "Enak," puji Daniel. Mira hanya tersenyum tipis, kemudian menyeruput cokelatnya juga. "Aku pengen ngomong sesuatu ke kamu Mir." Mira menurunkan cangkir, "Apa?" "Maaf, soal waktu itu." "Iya." Daniel meletakan cangkir itu di atas meja. "Aku udah merenung atas sikapku." "Iya." "Aku ingin kita berbaikan lagi." Mira meletakan cangkirnya di atas meja. Memandangi pria yang ia cinta, "Terus?" "Kamu mau kan maafin aku?" "Kalau aku ga maafin kamu. Apa kamu akan hujan-hujanan lagi kayak tadi?" Daniel tersenyum tipis, "Entahlah." Suasana yang tadinya dingin, sekarang mendadak hangat. Daniel dapat melihat Mira tersenyum sekarang. "Jangan lakuin hal seperti tadi. Apa kamu lagi nantang sakit?" Daniel sedikit tertawa, "Mungkin iya, mungkin juga engga." Mira tersenyum hangat, "Aku udah maafin kamu kok. Jauh sebelum kamu minta maaf. Aku cuma pengen kamu merenungi kesalahan kamu."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN