PART 16 - PERTEMUAN TAK TERDUGA

1035 Kata
20 menit sebelum kejadian. "Dion Sena ke toilet dulu ya," izin gadis itu. "Aku antar." "Ga usah, Dion disini aja. Sena cuma sebentar kok." "Tapi kamu ga tau daerah sini Sena." "Sena cuma ke toilet Dion. Ga lama kok. Deket toiletnya." "Aku takut kamu kenap-" "Dion percaya sama Sena." "Baiklah." Setelah sedikit berdebat dengan Dion akhirnya Sena bisa melangkah sendiri ke luar. Sebenarnya bersama Dion lebih aman, tapi gadis itu tidak ingin merepotkan Dion terus. Dengan keberanian besar, Sena melangkah sendirian menyusuri kafe, celingak-celinguk mencari toilet. Seperti orang tersesat. Sena menggaruk rambutnya kebingungan. Banyak papan tanda penunjuk arah, tapi Sena tidak bisa membaca tulisannya. "Toiletnya dimana?" Sena bingung tak tentu arah. Mondar-mandir di sekitar kafe. Sampai akhirnya ia tersesat ke bagian dapur. Disana ia melihat para koki yang terlihat sangat sibuk memasak pesanan. "Sedang apa?" Suara berat itu mengejutkannya. Sena menoleh ke belakang. Seorang pria berseragam jas hitam, dengan garis wajah yang tegas menatapnya dingin. Sepertinya itu pemilik kafe ini. "Maaf- aku-" "Kenapa kamu bisa masuk sini?" Sena mengggit bibir bawahnya. "Ada keperluan apa?" Sena menunduk, "Ak-aku hanya ingin mencari toilet." ***** "Terima kasih." "Sama-sama," ucap pelayan wanita itu ramah, lalu berlalu pergi. Sena menghela nafas lega, ternyata pemilik kafe itu tidak seperti yang ia pikirkan. Luarnya saja yang dingin, tapi aslinya ramah. Bahkan pemilik kafe itu memerintahkan salah satu pelayannya untuk mengantarkannya ke toilet. Sena melangkah masuk, menuju bilik ke-3. Disini ada 3 bilik toilet, dimana dua bilik pertama ada yang pakai. Tiga menit berlalu, Sena keluar dari bilik. Melangkahkan kakinya menuju wastafel. Sena menunduk, menghidupkan keran air, dan membasuh sela-sela jarinya. "Davina." "Lo Davina,kan?!" Tepukan di pundaknya membuat Sena tersentak. Ia mematikan keran. Menoleh ke sebelahnya. Dahinya mengernyit menatap perempuan muda yang memanggilnya Davina. "Davina? Davina siapa?" Sena menaikan satu alis, bingung. "Iya lo Davina! Lo masih hidup?! Bukannya lo udah mati?!" Perempuan itu melebarkan matanya tak percaya. Sosok wanita yang hilang lebih dari 3 hari, tiba-tiba ada di dekatnya. "Aku bukan Davina. Kamu salah orang." "Engga! Gue gak mungkin salah. Lo itu Davina!" "Aku Sena, bukan Davina." "Gak. Gak mungkin. Lo itu Davina. Lo itu udah mati. Kenapa lo masih hidup? Harusnya lo udah mati 3 hari yang lalu." Drrtt..! Getaran ponsel memecahkan suasana. Perempuan muda itu menatap layar ponselnya. Ia melebarkan matanya menatap nama yang terpampang di layar. Daniel. Perempuan muda itu menelan ludah susah payah. Menatap layar dan Sena bergantian. Perempuan itu menggeser layar, menjawab panggilannya. "Hal-halo," ucap perempuan itu terbata-bata. Matanya masih mengintai Sena. "Chika kamu dimana? Lama banget ke toilet. Aku susul ya." "Ga, gak usah. Sebentar lagi- aku udah siap kok," pandangan perempuan itu berubah saat memandang Sena, "Ada urusan yang harus aku selesaikan." Pip! Perempuan muda bernama Chika mematikan sambungannya. Ia menatap Sena tajam. Mengibarkan bendera permusuhan diantara mereka. Tatapan Chika tak sama lagi seperti dahulu. Dimana Chika selalu menatapnya lembut dan ramah. Brak..! Chika mendorong Sena keras hingga membentur dinding. "Aw." Sena meringis kesakitan. Punggungnya serasa remuk. "Sena salah apa?" "Gak usah pura-pura lupa. Ini rencana lo, kan mau hancurin gue? Setelah lo rebut Daniel dari gue." "Sena ga tau maksud kamu." "Ga ada pertemanan di antara kita, Dav." Klek..! Chika melingkarkan tangannya di leher Davina, mencekik leher gadis itu kuat-kuat dengan kuku jarinya. Sena menepuk-nepuk tangan Chika susah payah. Sakit- oksigennya mulai menipis, pun dengan mata Sena yang mulai kabur. "Lep-lep-lepashh …" "Ga akan gue biarin lo ketemu Daniel ataupun dunia ini." Chika mengeratkan cekikannya. Brak..! "Apa yang kamu lakukan?" Badan Chika terlempar ke belakang, saat seorang wanita yang tak dikenal mendorongnya secara paksa. Cekikan itu terlepas, dan Sena terjatuh ke lantai. "Uhuk uhuk." Sena terbatuk-batuk, lututnya lemas. Ia benar-benar shock di serang tiba-tiba. Sena menghirup oksigen dalam-dalam. Air matanya mengumpul di pelupuk, bersiap akan tumpah. "Apa yang kamu lakukan? Kamu bisa membunuhnya." "Bukan urusanmu." Chika mencoba menyerang Sena kembali, namun tubuhnya ditahan wanita tak dikenal. "Lari!" Sena berdiri susah payah memegang dinding. Lalu berlari dengan sekuat tenaga yang ia punya meskipun tertatih. "Bukan urusan lo brngsek." Chika mendorong wanita tak dikenal itu hingga terlempar ke lantai. Dan mengejar Sena. Ia bersumpah, tidak akan pernah membiarkan gadis itu lolos. Sena menoleh ke belakang. Rasa takut dan panik menyergapnya, Chika mengejarnya dengan langkah panjang. Sena terus berlari tak tentu arah. Kemanapun asalkan tidak tertangkap. ***** Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif, cobalah beberapa saat lagi. Dion mengacak-acak rambutnya frustasi. Sudah 2 jam berlalu Sena belum ditemukan. Puluhan kali Dion menelepon nomor Sena, tidak aktif. "Sena kamu dimana?" "Sena," ucapnya pilu. Dion dan tim penjaga kawasan pantai Ancol membantu mencari Sena. Bermodalkan senter, mereka mencari Sena disekitar pantai. Seluruh tim berpencar. Saat itu pukul 8 malam, dimana kawasan pantai Ancol akan ditutup. "Senaaaaaaaaa," ucap Dion dengan mata berkaca-kaca. "Sebaiknya besok saja kita mencarinya. Area pantai sudah gelap. Kemungkinan orang yang kita cari tenggelam di pantai." Ucapan salah seorang tim membuat air mata Dion mengalir. Tidak. Ia tidak mau menerima kenyataan itu. "Engga! Sena masih hidup." "Dek, sebaiknya besok saja kita cari. Hari sudah pukul 8. Kawasan pantai akan ditutup." "Gak! Saya ga akan pulang sebelum Sena ditemukan." "Dek tolong jangan keras kepala. Kemana lagi kita akan mencarinya? Seluruh tim telah dikerahkan, tapi ga ada tanda-tanda cewek yang adek cari ditemukan." "Kalian pulang aja! Saya yang akan mencarinya sendiri." "Ombak lagi tinggi-tingginya malam ini. Kalau adek maksa cari sekarang. Adek bisa digulung ombak." "Saya ga peduli," ucapnya dengan penuh penekanan. Ia berlari meninggalkan tim. Menyusuri pantai dengan senter ponsel. Ia tak peduli akan berlari sejauh apa. Ia tidak akan meninggalkan Sena. "Senaaa." ***** "Hiks hiks Dion, Sena takut ..." Gadis itu memeluk lututnya, dan menyembunyikan wajahnya di antara lutut. Tubuh gadis itu gemetar hebat. Menggigil ketakutan. Seluruh tubuhnya dipenuhi pasir. Ia begitu takut saat Chika terus mengejarnya tanpa ampun, dan saat Sena sudah tidak kuat lagi berlari, Chika mendorongnya dari jembatan hingga Sena terjatuh di tepi pantai. Dan Chika langsung berlari saat itu, tak peduli dengan jeritan minta tolong Sena. Naasnya tidak seorangpun yang melihatnya tenggelam, karena saat itu gelap. Hanya berbekal harapan antara hidup dan mati, Sena menggerakan tangan dan kakinya mencoba meraih daratan. Ia tak punya kekuatan apapun, selain Yang Maha Kuasa menolongnya hingga selamat. "Dion hiks hiks." Sena menangis terisak-isak, berharap akan ada orang yang menolongnya. "Dion tolong Sena ... hiks hiks."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN