PART 12 - TENTANG SENA

1006 Kata
"Waahh Dion gantungannya lucu." "Lucu ya?" Sena mengangguk. Senyuman manis terukir di bibirnya. Ia memandang senang gantungan ponsel yang diberi Dion. Kelinci pink dengan bola pom-pom yang imut. Ia juga senang diberikan ponsel baru oleh Dion. Pakaian, sepatu, aksesoris, make up, skincare, dan keperluan Sena lainnya. Dion membelikan semua untuknya. Dion dan Sena duduk di lantai, bersandar di sisi ranjang. Dengan piyama couple bermotif lebah berwarna biru dongker. Mereka terlihat seperti sepasang lebah. Sebenarnya Dion hanya ingin membelikan piyama untuk Sena. Tapi saat melihat ada piyama couple yang terpajang di patung manekin, akhirnya ia membeli itu. Rasanya lucu jika baju tidur mereka samaan. Dan kalau kalian bertanya kemana Mario. Pria itu telah pulang daritadi. Ia kesini hanya ingin mengantarkan pizza untuk Sena, khawatir jika gadis itu belum makan. Tapi ujung-ujungnya malah makan bareng. Dion mengambil ponsel di tangan Sena, menekan beberapa angka di menu panggilan. Setelah selesai ia menyimpan nomornya dengan nama Dion ganteng. Sena hanya melihat apa yang Dion lakukan, karena ia pun tak mengerti. Semenjak tragedi kecelakaan itu membuat memori ingatannya hilang. Ia tak mengingat apapun kecuali Dion, Mario, dan namanya sendiri. "Ini nomor Dion. Kalau Sena ada apa-apa tinggal telepon Dion ya." "Tapi Sena ga ngerti," ucapnya menggelengkan kepala. "Nih Dion ajarin." Sena yang penasaran, mendekatkan duduknya, sampai kepala mereka bersentuhan. "Kalau Sena mau telepon Dion. Sena klik menu paling kanan, namanya menu kontak. Disini ada nama kontaknya Dion ganteng. Abis itu Sena klik, kesambung deh." This ain't song for the broken-hearted. Lagu Bon Jovi - it's my life tiba-tiba berputar. Dion meraih ponselnya di dalam saku piyama, lalu menunjukan layarnya yang memunculkan nomor Sena. "Waaah Dion hebat," Sena bertepuk tangan riang. "Siapa dulu dong, Dion," ucapnya bangga. "Nih Sena belajar dulu," ucap Dion menyodorkan ponsel bercasing pink, dengan gantungan kelinci bola pom-pom. "Mau! Mau! Sena mau belajar." Gadis itu mengambil ponsel dari tangan Dion, lalu menyandarkan punggungnya di sisi ranjang, "Jadi gimana caranya? Kayak gini terus ... kayak gini?" ucap gadis itu mengotak-atik ponsel sembari mengingat cara-cara yang Dion ajarkan. "Bukan, coba ulang lagi." Dion mendekatkan duduknya, sampai kepala mereka menempel. Ia dengan telaten mengajari Sena dengan sabar, meskipun Sena mudah lupa dengan apa yang ia ajarkan. Atau mungkin susah untuk mengingat sesuatu yang baru. Mengingat itu, Dion jadi merasa sangat bersalah. Kalau saja ia tak menabrak Sena saat itu, mungkin kehidupan gadis itu tidak akan semiris ini. Waktu menunjukan pukul setengah 12. Sudah 1 jam Dion mengajari Sena untuk belajar menelepon, namun gadis itu masih kesusahan untuk mengingat. "Dion ... Sena ga bisa." Gadis itu menyerah, menatap Dion dengan mata berkaca-kaca. "Sena bodoh ya? Diajarin ga bisa-bisa," ucapnya menahan tangis. Ia mengucek matanya yang berair. Dion tersenyum, lalu mengusap-usap rambut gadis itu, "Sena ga bodoh. Cuman hapenya aja yang susah." "Jadi Sena ga bodoh?" Dion menggeleng, "Engga," "Hapenya yang susah ya?" Dion mengangguk, "Iya ... udah yuk tidur. Udah malem." Sena mengangguk, beranjak dari duduknya. Sesekali ia mengucek matanya yang masih basah. Entah kenapa ia susah sekali untuk mengingat yang lain. Selain dirinya, Dion, dan Mario. Dion berdiri dari duduknya, membersihkan ranjang dengan menepuk-nepuk nya. Agar tak ada debu atau kotoran yang hinggap. "Tidur ya, udah malem." Sena mengangguk, lalu membaringkan dirinya di atas ranjang yang empuk. Dion menyelimuti gadis itu sampai batas perut, "Tidur yang nyenyak ya. Aku ke kamar dulu." "Dion mau kemana?" Baru selangkah Dion pergi, panggilan Sena menghentikannya. Dion menoleh, "Tidur di kamar aku." "Kenapa Dion ga tidur sini?" "Waduh," Dion memijit pelipisnya mendengar kepolosan Sena. Ia juga tidak akan tahu bisa bertahan berapa lama dengan Sena. Kalau Sena bahas yang beginian terus. Bagaimanapun ia, kan pria juga. "Sena berapa kali Dion bilang, kalau cewe dan cowo berduaan di satu ruangan, yang ketiganya itu setan." "Dion sering bilang yang ketiganya itu setan. Padahal yang Sena liat kita cuma berdua." "Waduh iya juga ya ..." pertanyaan yang good question tapi membagongkan. "Setan itu ga keliatan bagi orang-orang biasa macam kita." "Jadi keliatannya sama orang-orang kayak apa?" "Yang bukan orang biasa." "Oh gitu, terus kalau Mario bisa liat ga?" "Engga." "Jadi setan itu orang apa bukan?" "Bukan. Iblis." "Jadi setan bukan orang biasa?" "Bukan." "Terus, kan kita ga bisa ngeliat setan karena kita orang biasa. Terus setan bukan orang biasa. Jadi setan bisa liat setan?" "Waduuh pertanyaannya," Dion mengecap bibirnya, menggaruk rambutnya yang tak gatal. "Bisa sih kayaknya, kan satu makhluk." "Terus terus?" tanya Sena penasaran. "Yaaaa mana aku tau lagi Sena. Kan, Aku ga pernah meneliti kehidupan setan. Apakah sesama setan saling silaturahmi atau engga kalau lebaran. Udah tidur. Kamu ada-ada aja nanya nya." "Aaaa Dion. Kan Sena mau tau." * * Hari menunjukan pukul setengah 2 malam, tapi mata Dion belum mau jua terpejam. Ia duduk di meja belajarnya, menatap buku tulis yang bersih. Dan sebuah pulpen yang tersemat di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Cukup lama ia termenung, setelah kembali dari kamar Sena. Ia memikirkan begitu banyak hal tentang Sena. Siapa gadis itu? Darimana asalnya? Siapa keluarganya? Bagaimana kabar keluarganya? Apakah keluarganya mencarinya? Tentu saja. Pasti keluarga gadis itu sangat khawatir. Dion banyak merenung dari hari ke hari. Tentang apa yang akan terjadi ke depannya. Apakah Sena akan terus berada di sisinya? Atau justru tidak. Bagaimana jika akhirnya ingatan Sena kembali? Apa yang harus ia lakukan. Dion mengetuk-ngetuk pulpennya, berpikir. Sampai akhirnya ia memberanikan diri membuka ponsel. Membuka g**gle situs pencarian terbesar di dunia. Mencari berita terbaru terkait tabrak lari. Dan ada satu portal berita yang membuat matanya membulat. Dan menelan ludah. Tentang kejadian misterius yang masih diselidiki polisi. Ia membaca nama tempatnya secara seksama. Tapi ia sama sekali tidak ingat. Di jalan mana kecelakaan Sena itu terjadi. Dirinya cukup mabuk saat itu. Ia benar-benar tak mengingat. Dan tak hafal jalannya. Ia membuka portal-portal berita lain. Ada beberapa berita yang berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas. Tapi Dion sama sekali tidak bisa menebak. Di portal berita mana kasusnya. Dion menutup ponselnya, merasa belum ada jawaban tentang rasa penasarannya. Ia kembali fokus pada buku tulisnya. Berpikir apa yang akan ia lakukan. Sampai akhirnya ia menggerakan pulpennya di atas buku. Hal yang akan Dion dan Sena lakukan 1.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN