Sena mencoret tanggal 18 di kalender. Dan membulatkan tanggal 20 dengan spidol merah. Dua hari lagi Dion pulang. Sena tak sabar menunggu kehadiran pria itu.
Dion pergi meninggalkan Sena 12 hari. Tapi entah kenapa rasanya lama sekali.
Sena duduk di meja belajar Dion. Menatap angka-angka kalender yang kini telah menjadi sahabatnya. Sena sudah bisa membaca angka. Guru Mira pernah bilang kalau angka tak perlu dihafal sampai seratus. Cukup tahu dasar angka 1 sampai 9 saja. Maka semuanya akan mudah.
Jika ada dua angka, maka menjadi belasan atau puluhan.
Jika angka tersebut dibawah 20, berarti belasan.
Dan jika angka tersebut diatas 20. Berarti puluhan.
Jika ada tiga angka, jadi ratusan.
Jika ada empat angka, jadi ribuan.
Semisalnya 1 dan 9, jadi sembilan belas. Jika angkanya 2 dan 3, jadi dua puluh tiga. Dan itulah dasar Sena belajar hingga bisa seperti sekarang. Yang terpenting Sena harus bisa membedakan mana angka satu, mana angka dua, dan angka lainnya.
"Sena ga sabar mau ketemu Dion."
Sena tersenyum senang hingga matanya membentuk bulan sabit. Sena mendirikan kalender di samping buku kedokteran Dion.
"Pasti Dion makin ganteng deh pas pulang."
"Aaaaaaa Sena kangen banget," ucapnya dengan hati berbunga-bunga.
"Karena Dion sebentar lagi mau pulang, jadi Sena harus siap-siap menunjukkan kemampuan Sena," ucap Sena penuh tekad.
Sena membuka laci meja pertama, mengeluarkan buku tulisnya.
Buku latihan Sena.
Sena menggeser lembaran satu persatu, mencari PR yang diberi Mira.
Ngomong-ngomong soal Mira, wanita itu sedang mengajar TK. Dan Mario sedang kuliah. Jadi Sena hanya sendirian di apartemen. Tapi ia sudah terbiasa kok, terkadang Mama Dion sering mengunjunginya atau mengajaknya jalan-jalan keluar.
Sena menatap semua soalnya.
Latihan penjumlahan dan pengurangan yang berisi 10 soal. Sena membaca soal pertama, 8+2.
Sena melebarkan jarinya, 5 jari disebelah kiri, dan 3 jari sebelah kanan menjumlahkan angka 8.
"Delapan tambah dua …" Sena menegakan jari manisnya menjadi 4.
"Abis delapan, sembilan … abis sembilan …" Sena menegakan semua jarinya menjadi lima, "Sepuluh."
"Yeeeee, berarti delapan tambah dua sama dengan sepuluh."
Sena menulis jawabannya, angka satu dan angka nol. Maafkan tulisan Sena yang masih acak-acakan seperti anak TK. Tangannya belum piawai menggunakan pensil dan pulpen.
Sena beralih ke soal selanjutnya, "Tu-tujuh belas dikurang tujuh."
Sena melingkarkan sepuluh jarinya, "Yaah jari Sena ga cukup cuman sepuluh."
"Oh iya ya, Sena kan punya jari kaki, hehehe," ujarnya senang. Sena pun melebarkan semua jari tangan dan jari kakinya.
"Sepuluh tambah sepuluh itu– dua puluh. Berarti semua jari Sena dua puluh. Kalau tujuh belas berarti jari Sena dikurangi tiga …"
Sena menunduk menatap jari kakinya, "Berarti jari Sena dibuang tiga. Sisa tujuh belas. Emm terus abis itu, tujuh belas di kurang tujuh … itu … coba ulang lagi. Kan kaki sena punya sepuluh jari, terus …"
"Sena buang tiga, sisa tujuh. Terus Sena buang lagi tujuh, habis deh. Berarti yang tersisa jari tangan Sena. Karena jari tangan Sena ada sepuluh berarti … tujuh belas dikurang tujuh sama dengan sepuluh. Yeeeeee!"
Sena mengisi jawabannya, angka sepuluh. Kemudian berlanjut ke soal selanjutnya.
"Tiga- tiga belas. Eh bukan- tiga puluh dikurang delapan."
"Tiga puluh dikurang delapan? Jari Sena cuma dua puluh. Ga cukup."
"Gimana cara ngitungnya?" Sena menggaruk-garuk rambutnya kebingungan.
"Aha!" Sena berteriak kesenangan setelah mendapatkan ide. Sena mencoret-coret bukunya.
"Sena gambar love aja sampai tiga puluh …"
Sena menggerakan tangannya menggambar love satu persatu, "Satu, dua, tiga, empat …"
"Sebelas, tiga belas, eh–" Sena berhenti sejenak saat salah, "Bukan. Sebelas, dua belas, tiga belas, empat belas …"
"Dua puluh satu, dua puluh dua, dua puluh tiga …"
"Dua puluh tujuh, dua puluh delapan, dua puluh sembilan, tiga puluh!" Sena bersorak kegirangan.
"Yeee! Love Sena ada tiga puluh. Terus dikurang delapan, berarti … Sena coret aja delapan love."
Sena pun mencoret delapan love. Setelah selesai, ia kembali menghitung total love yang tersisa.
"Satu, dua, tiga, empat …"
"Sebelas, dua belas, tiga belas …"
"Sembilan belas, dua puluh, dua puluh satu, dua puluh dua!"
"Yeeee berarti tiga puluh dikurang delapan, dua puluh dua."
Sena menuliskan bukunya angka dua puluh dua.
Sena tersenyum bangga, "Yee Sena pinter. Hehehe, pasti Dion seneng deh."
"Terus Sena bisa sekolah bareng Dion, yeeeee!"
Sena menopang dagu, dengan perasaan senang, "Pasti menyenangkan kalo bisa sekolah bareng Dion."
"Tapi Dion di sekolah banyak cewek yang suka ga ya?"
"Aaa ga boleh. Yang boleh suka Dion kan cuma Sena."
*****
Setelah selesai mengajar, Mira membereskan buku-bukunya di atas meja. Waktu mengajar Mira tidaklah lama, hanya 4 jam saja. Dari jam 7 pagi sampai jam 9 pagi untuk TK A, dan dari jam 9 pagi sampai jam 11 pagi untuk TK B.
Ruang kelas kosong, menyisakan Mira sendirian. Anak-anak telah pulang dijemput orang tuanya.
"Mira."
Mira yang sedang membereskan bukunya, terhenti. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang. Mira pun menoleh ke belakang.
"Daaniel."
Pria itu tersenyum ke arahnya.
Senyuman manis pria itu adalah kelemahan terbesar Mira.
Daniel berjalan mendekati gadis itu. Lalu berhenti beberapa jengkal, "Kamu mau pulang?"
Mira mendongak, lalu mengangguk, "Kamu tau darimana aku kerja disini?"
"Apapun yang pacarku lakukan, aku selalu tahu."
Daniel selalu tahu bagaimana cara menyenangkan hatinya.
Daniel selalu tahu cara membuat jantungnya berdegup tak karuan.
Daniel selalu tahu cara membuat waktunya terhenti.
Daniel selalu tahu cara membuatnya tak bisa bernafas dengan tenang.
Daniel, pria yang telah menjadi pacarnya sejak seminggu yang lalu. Pria yang menembaknya saat di mobil sampai membuat pipi Mira semerah tomat.
Dan seminggu pun telah berlalu, Mira masih tak bisa percaya telah menyandang status sebagai pacarnya Daniel.
Daniel, sang cinta pertama yang membuat hatinya terombang-ambing.
Mira begitu memuja lelaki di hadapannya. Lelaki yang mempunyai pesona manis, dan suara yang lembut bagai harmoni. Senyumannya yang semanis madu, mampu menariknya seperti magnet.
Mira menunduk malu, "Kamu … gombal mulu ih."
Daniel tertawa kecil, "Aku ga gombal, itu memang kenyataannya."
"Tapi, kan aku malu kalau digombalin terus," ucap Mira dengan pipi yang berubah merah, tanpa ia sadari.
Pipi merah Mira membuat Daniel semakin gemas. Ia mengacak-acak rambut gadis itu.
"Kamu mau pulang?"
"Emhh," Mira mengangguk senang.
"Yuk."
Daniel menggandeng tangan Mira berjalan keluar kelas. Tentu saja mereka menjadi sorotan disini, terutama para orang tua murid atau pekerja di sekolah ini.
Punya pacar seperti Daniel adalah suatu keberuntungan. Tampan, tinggi, baik, perhatian, romantis, kaya, dan juga berpendidikan tinggi. Tipe idaman semua wanita.
Mira jadi bingung kalau ditanya, apa kurangnya Daniel? Mungkin ia tidak akan bisa menjawab.
Mira jadi mengerti kenapa ia jadi pusat perhatian sekarang. Para wanita pasti menginginkan posisinya.