PART 116 - PENANTIAN

1066 Kata
"Yaudah gini aja … gimana kalo Sena bikin peraturan juga buat Dion." Sena yang tadinya membuang muka, menatap Dion semangat "Beneran?" Dion mengangguk, "Iya beneran." "Serius?" "Serius." "Sena boleh juga?" "He'euh," ujar Dion mengangguk lagi. "Aaaaaaa. Sena mau! Sena mau! Sena bertepuk tangan senang. "Sebentar. Aku ambilin kertasnya dulu." Sena mengangguk semangat. Air wajahnya cerah berseri-seri. Dion beranjak dari kursi, dan pergi ke kamarnya sebentar mengambil kertas kosong dan sebuah spidol hitam. Lalu kembali lagi duduk di sebelah Sena. "Oke- jadi peraturan apa yang anda inginkan tuan Puteri?" ujar Dion menatap wajah Sena yang polos seperti anak anjing, begitu menggemaskan. "Sena mau tulis sendiri. Boleh, kan Dion?" "Siap laksanakan!" "Silakan tuan putri." Dion menyerahkan kertas dan spidolnya ke Sena. Gadis itu sudah pandai menulis, membaca, dan juga menghitung. Termasuk perkalian dan pembagian ringan dari 1 sampai 10 misalnya. "Dion hadap sana," ucap Sena mendorong lengan Dion pelan. "Emang kenapa?" "Dion ga boleh liat." "Ngintip dikit?" "Ga boleh." "Sedikit aja?" "Ga boleh," Sena mendorong lengan Dion pelan, untuk menghadap arah yang berlainan. "Oke oke," Dion menuruti ucapan Sena meskipun penasaran. Dion menoleh ke arah pintu. Sena melanjutkan kegiatannya yang tertunda. Ia menunduk, menuliskan beberapa hal yang terlintas di otaknya. Sesekali Sena terkekeh senang, menuliskan keinginannya. "Udah belum?" "Belum." "Aku ngintip yak." "Ga boleh." "Dikiiiit aja. Dikit dikit doang." "Engga." "Sen, di samping kamu ada apa tuh?" ucap Dion berusaha menakut-nakuti Sena. Sena tetap melanjutkan tulisannya, "Sena ga tertipu, hehehe," ucapnya terkekeh. "Aduh … udah pinter ya kamu sekarang." "Iya dong, namanya juga Sena," ujar Sena percaya diri. "Sen kompor udah dimatiin belum?" "Udah." "Coba liat lagi, barangkali kamu lupa," ujar Dion yang tetap mencari cara mengelabui Sena. Tapi Sena tak bisa ditipu sekarang. Ah. Dia sungguh penasaran apa yang ditulis Sena. Semoga tidak aneh-aneh. "Selesai!" Sena bertepuk tangan girang, melihat hasil tulisannya yang wow. Bukan, bukan tulisannya. Lebih tepatnya, semua keinginannya. Membayangkan Dion melakukannya saja sudah membuat Sena senang. Dion kembali menghadap Sena. "Mana?" "Nih," Sena menyerahkan hasil tulisannya. Kemudian Dion memegang kertas itu, dan membaca peraturannya satu persatu. "Peraturan Sena untuk Dion …" Dion membaca judul pertama. "Satu … Dion harus mencintai Sena. Oke, kalau ini tanpa disuruh aku udah cinta sama kamu kok Sen." Buk..! "Gombal," ucap Sena senang, memukul bahu Dion. "Dua … Dion ga boleh selingkuh. Emang kamu tau selingkuh itu apa?" Sena mengangguk, "Tau." "Tau darimana? Siapa yang ngajarin?" "Kan Sena liat berita tentang perselingkuhan di Tv." Dion mengangguk paham, "Oh oke," kemudian melanjutkan lagi bacaannya yang tertunda. "Tiga … masakin Sena makanan enak, empat … beliin Sena es krim stroberi setiap minggu, lima … beliin sampo favorit Sena, enam … Sena mau sekolah, tujuh … Sena mau tidur di kamar Dion. Selamanya. Titik. Sekian peraturan dari Sena, dan terima kasih." "Peraturan pertama sampai ke enam aku bisa melakukannya. Tapi ini nomor tujuh-" "Sena ga mau pindah pokoknya. Sena suka di kamar Dion." "Kamar kamu emangnya kenapa Sena? Perasan kamar kita sama aja deh. Cuma beda kasur, beda pernak-pernik, beda-" Sena menggeleng, "Pokoknya Sena tetep di kamar Dion." "Kan sama aja ukuran kamarnya." "Soalnya di kamar Dion ada Dion-nya, hehehe." "No. Kamu harus tetap tidur di kamar kamu." "Ga mau. Sena mau tidur di kamar Dion." "Ga boleh." "Boleh." "Ga boleh." "Boleh." "Ga bol-" belum sempat Dion menyelesaikan ucapannya, suara bel berbunyi. Ting nong! "Biar Sena yang bukain," baru saja Sena mengangkat b*kongnya, Dion menahannya, menyuruh Sena duduk kembali. "Ga usah Sen. Kamu duduk aja-" Sena mengangguk senyum, "Oke," ucapnya lalu duduk kembali. Dion beranjak dari sofa, menghampiri pintu yang berjarak tidak terlalu jauh dari ruang tamu. Ting nong! "Iya sebentar-" Ting nong! Ting nong! Ting nong! Suara bel berulang-kali membuat Dion seketika menjadi jengkel, "Iya iya. Ya ampun ..." "Siapa si yang pencet bel semba-" saat Dion membuka pintu wanita paruh baya yang ia kenal. Kalau ini dari zaman Dion zigot sudah kenal dari lama. Bukan sudah kenal, tapi pasti kenal 100℅. Wanita itu tengah berdiri di hadapannya dengan sebuah terompet besar. "Rangan ..." lanjut Dion pelan. Priiiiit! Dion menutup telinganya. "Sayaaaaang!" Mama Dion meniup keras terompet, lalu memeluk tubuh anaknya erat-erat, "Aduh kangen banget Mama sama kamu baby boy." "Ma, ma, aduh Dion sesek nafas," Dion menepuk-nepuk lengan Diana yang semangat memeluknya. Diana pun melepaskan pelukannya. Pritt! "Ma, udah jangan dibunyiin lagi. Dikira tahun baru apa ..." "Baby boy kapan pulang? Awww, Mama rindu sama kamu." "Ma, Dion udah 22 ... jangan panggil baby boy lagi, kalo orang denger gimana? Bisa turun harga diri Dion," protes Dion panik melihat sekelilingnya, berharap tidak ada yang dengar. "Meskipun kamu berumur 40 tahun. Kamu tetap baby boy di mata Mama." "Jangan sebut baby boy lagi ma. Dion udah gede. Udah 22." "Hemm ... bagaimana dengan old boy? Ah itu tidak bagus. Atau old baby ... ah itu tidak cute. Baby boy emang paling cocok." "Hah," Dion menghela nafas, "Terserah Mama aja deh." Dion menatap barang bawaan Diana yang begitu banyak. Namun matanya tertuju pada koper yang tengah digenggam mamanya. "Mama, mau ... ngapain ... bawa ... koper?" tanya Dion berhati-hati. "Hahaha itu. Tentu aja Mama mau tinggal disini seminggu." "APA?! SEMINGGU?" Diana mengangguk, "Kok kamu kaget gitu sih? Bagus, kan? Jadinya kan Mama bisa ngontrol kesehatan Sena." "Tap-tapi ma kamar Dion cuma dua loh," Dion menaikan jari telunjuk dan jari tengah, "Cuma dua ..." ujar Dion mencari alasan. "Ya ampun ... kan Mama bisa tidur di sebelahnya." "Tapi ma-" "Kalian udah berumah tangga pasti sekamar. Jadi apa yang dipusingkan lagi?" "Tap-tapi ma." "Udah, Mama mau ketemu Sena dulu, byeeeee sayang." Diana menggeret kopernya masuk, meninggalkan Dion yang masih tercengang di depan pintu. "Senaaa." Suara teriakan Mama-nya membuat Dion menunduk, "Aduh." "Ada mama lagi ... rencana mau pisah kamar sama Sena, malah bersatu lagi." ***** "Hah," Mira menghela nafas berat. Menatap jam dinding yang terus berputar tanpa henti. 4 jam telah berlalu. Tapi pria itu tak menunjukan tanda-tanda untuk hadir. Seorang pelayan menghampiri Mira, "Maaf mba. Kursi ini sudah ada yang booking." Mira mendongak, "Oh gitu ya, mbak." "Iya, maaf ya mbak. Dengan berat hati saya menyampaikan ini." Mira tersenyum, "Iya ... gapapa kok mbak. Saya ngerti." Mira beranjak dari kursi, dan memakai tas-nya. Ia berjalan melewati pelayan tersebut. Namun baru dua langkah, panggilan pelayan itu menghentikannya. "Kue nya gimana mbak? Mau dibungkus?" "Buat mbak aja," ucap Mira tanpa balik badan. "Tapi mbak-" Mira telah menghilang dari balik pintu. Pelayan itu menghela nafas berat menatap kue Red Velvet yang belum tersentuh sama sekali.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN