Part 2

1506 Kata
Fherlyn mengelus ujung kepala balita mungil yang ternyenyak dalam tidurnya. Anak perempuannya yang masih berumur tiga tahun yang memiliki wajah Arsen Mahendra dalam versi feminim. Bola mata yang gelap, bentuk wajah, bibir, hidung, dan bahkan bentuk dagu yang terbelah diwarisi dari sang ayah. Tidak akan ada yang percaya bahwa Adara Gavrilla adalah putri mungil miliknya melihat perbedaan fisik yang mereka miliki. Meskipun wajah Adara adalah satu-satunya wajah yang membuatnya mengingat kesengsaraan hidupnya, wajah itu jugalah yang mampu mengobati segala luka dan menyelamatkan kehidupannya. Membawanya keluar dari kubangan derita yang pernah menenggelamkannya. Fherlyn tersenyum, hanya dengan melihat wajah putrinya dan kegelisahan yang mengguncang hatinya seketika menjadi tenang. Segala beban yang memberati hatinya seketika menguap tak bersisa. Meski tersisa kekhawatiran baru yang muncul sejak mendaratkan kakinya di negara ini dan bertatap muka dengan Arsen Mahendra. Ayah dari putri mungilnya. Tidak, Arsen tak akan pernah tahu anak mereka masih hidup. Keengganan pria itu melihat dirinya cukup dijadikan sebagai jarak di antara hidup mereka. Sedikit memudahkan usaha Fherlyn untuk menyembunyikan putrinya dari Arsen. Lagi pula, mengingat beban besar di mata Arsen ketika ia meminta pria itu tidak meninggalkan dirinya empat tahun yang lalu. Arsen pasti tidak akan peduli dengan anak mereka sekalipun tahu bahwa putri mereka masih hidup. Arsen tak mengharapkan keberadaan putri mereka. Dulu maupun sekarang. Pernyataan itu mencubit keras hati Fherlyn, tetapi hatinya sudah kebas membawa luka batin itu selama empat tahun. “Nona sudah datang?” Pengasuh Adara muncul dengan seragam warna merah muda tua. Tersenyum ramah dengan wajahnya yang kalem dan bermata sendu. Sangat cocok dengan pekerjaan yang bergelut bersama anak-anak kecil atau perawat. Penyabar dan penyayang. Fherlyn berdiri dan mengangguk pelan. Memperbaiki selimut Adara dan meregangkan tubuhnya yang kaku karena sudah terlalu lama duduk di samping boks Adara dengan posisi yang sama. “Tadi Nyonya Ellard menelpon dan mengatakan akan mampir ke sini sepulang dari kantor tuan,” beritahu pengasuh tersebut saat Fherlyn mengambil tas di meja tempat boneka-boneka Adara ditata. Fherlyn tersentak kaget dan memutar kepalanya dengan cepat menghadap pelayan tersebut. “Kapan?” tanyanya mendadak panik. Pelayan itu menengok jam berwarna merah muda yang terpasang di dinding. “Satu jam lagi.” “Apa kau mengatakan sesuatu yang aneh pada mamaku?” tanya Fherlyn dengan menggebu. Seharusnya ia memberitahu pekerjanya itu untuk tidak mengatakan hal apa pun tentang Adara. Tapi, lagi-lagi penyakit pikunnya muncul. Bagaimana jika orang tuanya tahu tentang Adara? Mereka ... mereka akan membunuhnya. Pelayan itu mengerutkan kening tak mengerti. Diam tak menjawab pertanyaan Fherlyn karena masih terbengong dengan kata ‘sesuatua yang aneh’ yang dimaksud Fherlyn. “Tentang Adara,” jelas Fherlyn lagi. Pengasuh itu menggeleng dengan kaku. Ya, Finar Ellard hanya mengkhawatirkan keadaan putrinya. Sedang di mana, apakah sudah makan, makan di mana, apa saja yang dimakan, dan sama sekali tak menanyakan kabar tentang cucunya. Pengasuh itu baru menyadari kejanggalannya. Bukankah biasanya seorang nenek akan lebih dulu menanyakan kabar tentang cucu daripada anaknya? “Jangan beri tahu apa pun tentang Adara. Sampai .... sampai ...” Fherlyn tak tahu sampai kapan ia akan merahasiakan Adara dari keluarganya. Pengasuh itu terdiam menunggu Fherlyn melanjutkan. “Sampai ... sampai aku memberitahumu.” Fherlyn kehilangan kata-kata. Pengasuh itu mengangguk patuh. Tugasnya hanya mengasuh balita, bukan ikut campur urusan keluarga majikannya. “Baiklah.” Fherlyn mengangguk lalu mulai berjalan keluar. “Aku ingin mandi. Bawa Adara ke kamarku jika sudah bangun.” Pengasuh itu mengangguk lagi. “Hm, Nona?” Fherlyn berhenti. Menoleh kembali ke arah pengasuh yang namanya ia lupakan. Ingatan Fherlyn memang sangat payah, ditambah pengasuh itu baru dua hari yang lalu bekerja padanya. Jadi, hal yang normal, bukan? Fherlyn membela dirinya. “Sebelum Anda berangkat tadi pagi, saya sudah mengatakan bahwa s**u Adara habis.” Pengasuh itu berusaha mengingatkan dengan sangat hati-hati di setiap kata-katanya. Fherlyn menepuk kepalanya sambil menggerutu dalam bentuk gumaman lirih yang tak jelas. Ya, pagi tadi pengasuh anaknya memang sudah memberitahunya dan ia lah yang akan membelinya sendiri sepulang dari pemakaman. Tetapi, karena Arsen mengacaukan pikirannya, dan membuatnya ingin segera pulang ke apartemen untuk melihat wajah Adara, hingga lupa membeli s**u tersebut. “Bisakah kau membelikannya di supermarket terdekat. Aku akan menunda mandiku dan menjaganya sambil menghubungi mamaku.” “Baiklah, Nona.”   ***   “Seorang pengasuh?” Arsen mengulangi laporan pengawalnya dari telepon genggam di telinganya. “Kauyakin bukan seorang pelayan?” “Tidak,Tuan. Saya melihatnya membeli beberapa kotak s**u balita di supermarket sekitar.” Arsen melengkungkan alisnya. Jelas sekali ia terkejut dengan informasi kedua. Pengasuh, lalu membeli kotak s**u. Wanita itu baru saja kembali ke negara ini dan lihatlah seberapa banyak kejutan yang dibawa Fherlyn ke dalam hidupnya kali ini? Tidak, Arsen berusaha mengendalikan kecurigaan yang mengobrak-abrik hatinya. Ini tidak mungkin. Wanita lemah itu tidak mungkin sanggup menipunya mentah-mentah seperti ini. Anak itu pasti sudah mati? Fherlyn sudah membunuhnya empat tahun yang lalu? Meskipun itu darah daging yang tak mereka harapkan kehadirannya, tetap saja anak itu adalah anaknya. Dan rasa kehilangan itu pasti ada. Begitupun kebenciannya pada Fherlyn dan dirinya sendiri karena mereka berdualah anaknya itu terbunuh. Pergulatan dalam benaknya semakin menjadi ketika satu pertanyaan menggantung mengerikan di atas kepalanya. ‘Apakah anaknya masih hidup?’ “Cari tahu lebih detail kenapa pengasuh itu bekerja di sana.” “Beberapa hari yang lalu nona Fherlyn mencari seorang pengasuh melalui agen, dan dua hari yang lalu pengasuh itu mulai bekerja. Dan saya sedikit kesulitan mencari tahu tentang anak yang diasuh. Keamanan apartemen sedikit menyulitkan saya.” “Oh, ya?” sinis Arsen mulai marah. Dalam hitungan detik kemarahannya jadi lebih mudah tersulut. “Apa itu membuatmu berhak mengeluh sekarang?”  “Tidak, Tuan. Saya akan menghubungi Anda secepat mungkin.” “Kau tahu aku bukan penyabar yang baik, Rey. Hubungi seseorang di bandara dan cari tahu siapa yang datang bersamanya. Akan lebih baik jika kau mendapatkan gambar dari cctv sekitar.” “Baik, Tuan. Akan saya usahakan untuk menghubungi Anda dalam tiga puluh menit.” “Bagus.” Arsen mengakhiri panggilan dan melempar ponselnya di ranjang. Dadanya bergetar. Frustrasi dan marah dengan kecamuk yang memenuhi kepalanya. “Sebaiknya itu bukan anakku, Fherlyn,” geram Arsen. Tangan kanannya terkepal di paha sedangkan tangan kirinya yang tenggelam di antara rambut kepalanya mengencang erat. Memberi rasa sakit di kulit kepala Arsen demi usahanya menjernihkan pikiran. “Atau aku akan membuatmu membayar setiap kebohongan itu dengan harga yang sangat mahal,” sumpah Arsen. “Dan kali ini, kupastikan kau tidak akan bisa melarikan diri ataupun bersikap pengecut dari kemarahanku. Kupastikan kau memperbaiki kecerobohan itu seorang diri dan aku akan menjadi penonton yang baik.” Setiap menit yang berlalu bagaikan seutas tali yang mencekik leher Arsen. Beruntung Rey menghubunginya dua puluh lima menit kemudian. Mengatakan bahwa ia sudah mengirim beberapa gambar dari cctv dan foto paspor mengenai anak itu ke ponselnya. Arsen mengakhiri panggilan. Beberapa notifikasi pesan baru dari Rey muncul dan Arsen langsung membukanya. Gambar pertama yang sepertinya diambil dari cctv apartemen. Menunjukkan Fherlyn yang tengah melintasi lobi apartemen sedang mendorong kereta anak dalam kondiri tertutup. Membuatnya kesulitan mengetahui wajah bayi yang ada di dalamnya. Gambar kedua masih dengan pakaian yang sama tapi di lift. Kemudian gambar ketiga membuat Arsen tersambar petir. Foto paspor bayi yang tengah tersenyum dengan informasi anak yang cukup detail bagi Arsen untuk mencari tahu jati diri bayi itu. Kepalanya mulai menghitung tanggal kelahiran bayi itu dengan kepergian Fherlyn. Fherlyn menghilang dengan usia kandungan yang mencapai dua bulan dan bayi itu lahir enam bulan kemudian di tahun yang sama. Semua tepat, tak meleset, dan ia bahkan tak perlu melakukan tes DNA untuk memastikan itu anaknya atau bukan. Jika Arsen menjajarkan foto ketika ia masih bayi dengan bayi itu sekarang, Arsen yakin kedua foto itu tidak memiliki perbedaan sedikit pun kecuali dengan jenis kelamin mereka. Arsen meremas ponselnya.  Bersumpah dalam geraman tertahannya di tenggorokan. “Sialan kau, Fherlyn. Kau benar-benar menggali kuburanmu sendiri.”   ***   Pagi itu Fherlyn terbangun lebih siang dari biasanya. Setelah meregangkan tubuhnya ia duduk terdiam di ranjang. Menunggu sesuatu tertangkap oleh indera pendengarannya. Satu-satunya suara yang menyambut pagi hari dan membuat hatinya dipenuhi kebahagiaan adalah suara putrinya. Adara selalu bangun lebih dulu. Menyelesaikan sarapannya saat ia selesai mandi dan muncul di dapur. Namun, suasana apartemennya tampak senyap. Tak ada suara celotehan Adara, tak ada suara pengasuhnya ataupun suara pelayannya yang sibuk di dapur. Setidaknya ia biasa mendengar suara pelayannya menyalakan mesin juicer untuk minumannya. Mungkin putri kecilnya itu masih tertidur. Fherlyn pun turun dari ranjang dan berjalan keluar. Kesenyapan yang tak mengenakkan mendadak melingkupi hati Fherlyn ketika mengedarkan pandangan pada seluruh sudut apartemennya yang luas. Tidak ada siapa pun di dapur. Apa mungkin pelayannya terlambat bangun juga? Fherlyn memanggil pelayannya hingga dua kali dan jantungnya berdebar ketika tak mendapatkan jawaban. Mungkin pelayannya sedang keluar untuk belanja karena bangun kesiangan, tapi lagi-lagi kemungkinan itu membuat hati Fherlyn sangsi. Udara di sekitarnya terasa tak seperti biasanya. Ada sesuatu yang janggal di hati Fherlyn. Kejanggalan itu terbukti ketika mata Fherlyn tanpa sengaja melihat ujung kaki di lantai dan segera berjalan memutari pantry. Fherlyn tersentak melihat pelayannya berbaring di lantai dalam kondisi tak sadarkan diri. Bersimpuh di dekat pelayannya dan berusaha menyadarkan dengan menggoyang-goyangkan tubuh pelayan itu. Pelayannya tak juga menunjukkan tanda akan terbangun dalam waktu dekat. “Adara?” Fherlyn teringat anaknya dan langsung melompat berlari menuju kamar anaknya. Terkejut setengah mati melihat boks anaknya yang kosong dengan pengasuhnya yang terduduk di kursi dalam kondisi kaki dan tangan yang terikat. Mata terpejam dan kepala jatuh ke bahu dengan lunglai. “Tidak. Anakku!” Fherlyn menggeleng-gelengkan kepala dengan panik. Bergegas membuka tali yang mengikat pengasuhnya yang tak sadarkan diri. Fherlyn menggoyang-goyangkan keras tubuh pengasuh itu, menepuk-nepuk pipi agar pengasuhnya segera bangun. Merasa putus asa, Fherlyn menjerit dalam tangisannya, “Di mana anakku?!” Pengasuh itu menggerakkan matanya dan perlahan mulai sadar. “Di mana anakku?” Fherlyn bertanya menggebu di antara tangisannya. “Seseorang ... orang itu membawanya. Orang-orang itu membawa Adara, Nona.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN