Part 3

1615 Kata
Kediaman Ellard. Pagi itu, Keydo Ellard sedang menyesap kopi di ruang makan ditemani putra bungsunya yang tengah sibuk menggeser jemari di layar ponsel. Menunggu menu makan pagi disiapkan di meja. Keydo sudah terlambat berangkat ke kantor dan memimpin rapat paginya, tapi sang istri bersikeras ia harus membawa bekal makanan jika melewatkan makan pagi dengan keluarga. Dan percayalah, masakan Finar terlalu memalukan untuk dipamerkan di hadapan bawahannya. Berpuluh tahun menjadi seorang istri dan ibu, nyatanya tak membuat wanita itu menguasai dapur dengan baik. Cukuplah seorang Finar menguasai hatinya. Keydo segera menyingkirkan mac yang menjadi temannya menikmati kopi ketika suara derap langkah kaki ringan yang sudah sangat dikenal telinganya dengan baik semakin mendekat. Begitu pun dengan putranya, meletakkan ponsel berwarna biru gelap mengkilat ke meja. “Selamat pagi semua,” sapa Finar dengan wajah ceria dengan kedua tangan penuh dengan dua piring berisi entah apa. “Pagi,” balas Keydo sambil melirik enggan ke arah jam di tangannya. Tepat jam sembilan. Keluarga mana yang melangsungkan acara sarapan pagi di jam sembilan seperti ini? “Oh ya, kaubilang ada rapat pagi. Aku sudah menyiapkan pie apel untuk kau bagikan kepada yang lain. Pelayan masih menyiapkannya dan akan membawakannya ke mobilmu,” kata Finar. Meletakkan kedua piring di tanganya ke hadapan Keydo dan Darren satu per satu. Keydo menelan ludah dan melirik ke arah putra bungsu yang langsung membuang wajah. Tak ingin ikut campur dalam permasalahan rumah tangga orang tuanya. Pie ‘bencana’ apel. Mungkin itu nama yang lebih cocok. ‘Anak durhaka!’ batin Keydo. Memasang senyum lebar yang dipaksakan untuk Finar sambil mengangguk dengan berat. Ia bahkan sudah bisa membayangkan wajah bawahannya ketika melihat entah apa itu namanya yang dibuat Finar di dapur. Lalu dengan tak enak hati mengambil satu potong dan menelannya. Tak membiarkan mengunyah lebih dari dua kunyahan sebelum meneruskan ke kerongkongan untuk mengakhiri penderitaan lidah mereka. Kemudian, mereka akan tersenyum dan mengatakan makanan itu adalah makan terlezat yang pernah mereka makan. Keydo sendiri, yang merasa malu. Memilih berpura-pura mengikuti alur drama mereka dan berjanji akan menambah bonus mereka karena telah menahan siksaan itu dengan wajah tersenyum. “Kemarin paman Frian menelpon. Dia bilang melihatmu makan malam di Cavena el dengan seorang gadis. Siapa dia?” Finar mengalihkan perhatiannya ke arah Darren yang duduk di seberang meja. Dua pelayan muncul meletakkan menu-menu tambahan di tengah meja dan satu piring untuknya. “Hanya teman,” jawab Darren singkat. Kepalanya menunduk pada piring yang disajikan mamanya di hadapannya. Makanan ini jauh lebih baik daripada pembicaraan yang diangkat mamanya. Ia sudah terlalu lelah bersembunyi dari mata-mata yang ditugaskan mamanya untuk mengawasinya. Berpura-pura tak tahu dan bersikap seperti biasa hanya satu-satunya pilihan yang ia miliki. Meskipun terkadang beberapa mata-mata mamanya melewatkan beberapa info penting. “Apa ini?” Keydo menyendok butiran-butiran nasi yang masih menguarkan uap panas dicampur dengan potongan-potongan daging, sayur, dan entah apa itu. “Nasi goreng daging.” Keydo mengangguk-angguk paham. Sejujurnya ia ingin bertanya, apa yang special dari nasi goreng ini sehingga istrinya harus membuatnya hingga tiga jam lamanya dan membuatnya harus terlambat ke kantor satu jam lebih. Mungkin namanya yang terdengar spesial hingga membuat lidah terlilit? Atau potongan dagingnya yang harus direndam di anggur merah atau apa pun itu sehingga membutuhkan waktu yang sangat lama sebelum dicampur dengan butiran-butiran nasi goreng? Atau bumbunya yang tak biasa dari bumbu nasi goreng biasanya? Pada akhirnya, tangan Finarlah yang membuat hidangan itulah yang membuat isi piring di hadapannya menjadi spesial di hati Keydo. Keydo pun mulai mengambil suapan pertama. Berharap rasanya tak mengerikan seperti penampilannya. “Jadi, Darren, kapan kau akan membawa kekasihmu ke rumah dan memperkenalkannya pada kami?” Pertanyaan Finar yang ditanggapi keengganan putra sulungnya itu semakin membuat Finar bersemangat untuk mendorong putranya menikah. Sudah terlalu sering ia melihat gadis-gadis yang berfoto  dengan Darren lalu dipamerkan di sosial media yang sudah sangat sering Finar lihat karena ponsel Darren sering berada dalam kuasanya. Di saat Darren sedang makan pagi, siang, dan malam yang kebetulan berjumpa dengannya. Atau beberapa gadis yang menyapa mereka ketika Darren sedang mengantarnya ke suatu tempat. Beberapa dari kalangan teman bisnis Keydo, beberapa teman kuliah, dan bahkan ada yang mengaku sebagai teman dari teman temannya Darren. Popularitas Darren di kalangan anak muda maupun para orang tua sepertinya tak perlu dipertanyakan. Seharusnya lebih mudah mengambil salah satu gadis kenalan Darren sebagai menantu, bukan? Tetapi putra bungsunya itu selalu beralasan dan berdalih dengan ribuan alasan yang tak masuk akal. “Aku akan membawanya ke rumah setelah Fherlyn menikah, Ma. Atau setidaknya setelah dia mulai menyingkirkan pekerjaannya dan melirik satu saja pria t***l yang cukup buta mengabaikan kecerobohan-kecerobohan yang menjadi daftar gelap hidupnya.” “Darren.” Finar melebarkan mata. “Suatu saat dia pasti bertemu dengan jodohnya.” Finar mendesah lirih dan putus asa ketika mendadak teringat putri sulungnya itu, suaranya melirih ketika melanjutkan kalimatnya. “Meskipun tidak dalam waktu dekat.” “Ya, tapi kadang takdir sedikit lebih kejam, Ma,” imbuh Darren. “Aku hanya membantunya sedikit mengurangi beban itu sebagai adik yang penyayang.” “Kau hanya berdalih,” tuduh Finar sambil mengacungkan garpu di tangannya. Darren meringis sambil mengedikkan bahunya sedikit. “Sedikit. Tapi apa yang akan orang-orang pikirkan jika aku menikah mendahului kakak perempuanku, Ma? Kemungkinan terburuk, pasaran Fherlyn akan turun dan membuatnya menjadi perawan tua.” “Darren Ario Ellard!” Mata Finar membelalak marah dan penuh peringatan. “Kata-kata Darren ada benarnya, Finar. Kita harus segera menikahkan Fherlyn sebelum ...” Keydo yang sedari tadi hanya memasang telinga mendengar perdebatan putra dan istrinya mulai berniat ikut bergabung, langsung kembali membungkam mulutnya. Memenuhi sendoknya dengan butiran-butiran nasi goreng sebanyak mungkin sebelum menyuapkan ke mulutnya. Karena kasih sayang Finar yang terlalu berlebihan, bukannya putri sulungnya menjadi pribadi yang riang. Fherlyn malah tumbuh menjadi gadis yang tertutup dan ceroboh. Dan selalu berpikir membuang energi berlebih jika harus bersosialisi. Pemikiran yang menurun dari sang mama, meskipun Finar memiliki wajah periang. Putrinya, Fherlyn selalu terlihat lemah, rapuh, dan kikuk. Membuat siapa pun selalu ingin memeluk dan mengusap rambut gadis itu. Putrinya yang malang. Tapi siapa yang tahu, Fherlyn yang rapuh itu selalu membuat kepala Keydo pusing dengan semua kecerobohan dan sifat pelupanya yang mengalahkan nenek buyutnya. Ck. Berpuluh kencan buta yang Keydo rencanakan dengan sang istri, selalu berakhir mempermalukan keluarga mereka. Entah putrinya yang menjatuhkan saus di kemeja teman kencannya, daging steak yang melayang ke seberang meja, atau bahkan teh panas yang membuat kulit teman kencannya terkena luka bakar ringan. Akhirnya, Keydo dan Finar pun menyerah dan membiarkan takdir mempertemukan jodoh putrinya nanti. Semua orang pasti memiliki jodoh masing-masing, kan. Menyerah dengan sang putri, Finar pun semakin gencar ingin bergegas mendengar kabar bahagia dari sang putra. Yang menjadi idola semua wanita dengan ketampanan di atas rata-rata yang menurun darinya tentu saja. Tapi hal itu juga tak semudah yang Finar pikirkan. Putranya bergantian menggandeng para gadis seperti berganti pakaian. Finar bahkan terlalu sering menyapa nama gadis yang digandeng putranya dengan nama gadis lain. Seharusnya putranya itu sedikit berbakti untuk tidak mengenalkan nama gadis-gadis kencannya dengan otak istrinya yang lemah. “Sebelum apa?” Kali ini Finar melotot ke arah Keydo yang duduk di sampingnya. “Umurnya baru dua puluh lima tahun. Dan dia masih cukup muda untuk bersenang-senang di luar sana.” “Darren baru dua puluh tiga,” sela Darren. “Wajahmu terlihat lebih tua dari itu,” sahut Finar. Lalu menunjuk wajah Darren yang datar. “Mama sudah mengatakan padamu untuk tidak memasang wajah serius itu di hadapan mama dan belajar bagaimana cara tersenyum, kan.” “Banyak tersenyum tak akan membuatku lebih muda sehari pun, Ma,” bantah Darren. “Lagi, lagi, dan lagi kau selalu membantah mamamu.” “Darren hanya ...” “Diam.” Finar memberi peringatan. Satu putrinya yang ceroboh dan tak berhenti membuat masalah, satu lagi putra yang merampok semua sifat jelek sang suami membuat Finar tak berhenti mengomel. Bibir Darren terkatup rapat. Mengalah. Ia bersumpah akan menjadi pembantu Fherlyn jika kakaknya itu menikah dalam waktu dekat dan membuat mamanya berhenti mengusik dirinya. Memangnya mamanya pikir ia hanya produk yang bisa menghasilkan cucu hanya karena ia ingin? Ia tak bisa semudah itu menciptakan manusia yang akan merepotkannya di saat ia masih menikmati kehidupan yang membahagiakan ini, kan. Lalu. Seolah petir menyambar ruang makan di antara keheningan yang kemudian terpecahkan oleh keributan lain yang muncul dari arah ruang tamu menuju ke ruang makan. Suara tangisan yang lambat laut terdengar semakin jelas ke arah mereka. Penuh kepiluan dan isakan yang menyayat hati. “Ma! Pa!” Suara berlumur tangisan yang tertahan mengalihkan perhatian ketiga anggota keluarga itu. “Fherlyn?” Finar mengerutkan kening. Mengamati putrinya yang masih mengenakan piyama tidur, dengan rambut masih kusut khas bangun tidur, dan sandal dalam rumah berbulu warna pink pucat berdiri di ambang pintu ruang makan. “Ma, seseorang menculik anak Fherlyn. Bantu Fherlyn menemukannya.” Tangisan Fherlyn pecah ketika melangkah mendekat dan langsung memeluk Finar. “Fherlyn baru bangun dari tidur, pelayan Fherlyn pingsan di dapur dan anak Fherlyn sudah tidak ada di kamarnya. Bahkan pengasuhnya diikat di kursi dalam keadaan pingsan. Lakukan sesuatu untuk menemukan anak Fherlyn, Ma.” Keydo, Finar, dan Darren membeku. Tercengang sangat lama hingga rasanya waktu berhenti mengitari mereka. Ruang makan yang penuh kehangatan itu mendadak dipenuhi kesenyapan. Denting suara sendok berisi nasi yang belum sempat menyentuh bibir Keydo jatuh ke piring, memecah kekakuan semua tubuh yang mematung. “Anak?” Keydo mengucapkan satu kata tersebut dengan napas terengah dan mata membelalak lebar. Sepanjang rentetan kalimat yang diucapkan putrinya, hanya satu kata itu yang tersangkut di otaknya. Membuatnya melongo seperti orang t***l. “Ya, Pa.” Fherlyn memutar tubuh ke arah Keydo dan mengangguk mantap. Seolah tak menyadari kekagetan seluruh anggota keluarganya karena kepanikannya sendiri. “Anak Fherlyn tidak ada di apartemen. Pegasuh itu bilang, ada beberapa orang datang ke apartemen menjelang pagi dan membawa anak Fherlyn.” “Cucu mama?” Finar ternganga dan kedua tangannya menyentuh d**a dengan kaku. Masih berusaha mencerna situasi yang tengah terjadi penuh ketidakpercayaan. “Maafkan Fherlyn telah menyembunyikan semua ini dari kalian. Fherlyn akan menjelaskan semuanya nanti. Sekarang tolong temukan anak Fherlyn dulu, Pa.” Kali ini Fherlyn berlutut di samping kursi Keydo dan memohon pada papanya dengan putus asa. Membaringkan kepalanya di paha Keydo dan memeluk perut papanya sebelum kemudian melanjutkan tangisannya dengan tersedu “Kau yakin itu anakmu?” tanya Darren menyela. “Memangnya kau tahu cara membuat anak?” Tangis Fherlyn semakin menjadi. “Darren!” peringat Finar. “Darren, hubungi sekretaris papa untuk membatalkan rapat pagi ini,” ujar Keydo. “Huftt ...” Darren mendesah berat.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN