Part 18

1443 Kata
Fherlyn melihat lima panggilan tak terjawab dari Aldric. Sepertinya ada yang penting hingga pria itu menghubunginya lebih dari dua panggilan. Sambil berjalan keluar kamar, menengok ke kanan dan kiri mencari seseorang, Fherlyn menekan tombol hubungi kembali ke kontak Aldric. Yang langsung diangkat di deringan pertama. “Hai, Aldric. Maaf, aku tak mendengar panggilanmu,” ujar Fherlyn penuh sesal. “Aku ... sedikit terlambat bangun.” “Hai, akhirnya.” Fherlyn berjalan menuju pintu di samping kanan kamar Arsen. “Ada apa? Sepertinya ada yang darurat dengan lima panggilan tak terjawab.” “Apa kau baik-baik saja?” “Ya, aku baik-baik saja.” Alis Fherlyn berkerut ketika tidak menemukan di ruang tidur Adara. Apa sedang makan pagi di ruang makan? Fherlyn menutup pintu kamar Adara dan bergegas menyusuri lorong menuju tangga. “Apa lima panggilanmu hanya untuk menanyakan kabarku?” “Hm, kau bisa menganggapnya begitu.” Suara Aldric terdengar hambar. “Juga ingin memberitahumu tentang janji makan pagi denganku hari ini.” Langkah Fherlyn terhenti. Menelanjangi ingatannya dengan seksama dan menjawab, “Kupikir aku berjanji padamu hari Rabu.” “Tepat sekali.” “Hari apa ini?” “Rabu.” Fherlyn menepuk dahinya keras-keras, lalu mengaduh karena kesakitan. “Kau tak perlu menyakiti dirimu.” “Terlalu banyak lupa membuatku melupakan banyak hal.” Aldric terkekeh. “Terlalu banyak lupa membuatmu melupakan banyak hal yang terlupakan,” tambah Aldric melengkapi dengan nada setengahn bercanda. Kali ini Fherlyn mengerutkan keningnya dalam-dalam, lalu meringis. “Maafkan aku.” “Dengan satu syarat.” “Apa pun,” janji Fherlyn. “Oke.” Aldric diam sejenak. “Bagaiamana dengan makan siang?” “Sepertinya tidak untuk hari ini. Aku ada beberapa janji.” “Hm, baiklah. Kabari aku jika kau senggang, aku bisa mengatur jadwalku.” “Aku merasa bersalah,” gumam Fherlyn lirih. Aldric tergelak. “Maka buat waktu senggangmu secepat mungkin.” Ancaman Aldric terdengar sangat merdu di telinga Fherlyn. Membuat wanita itu tak bisa menahan tawanya. “Oke, aku akan mengusahakannya.” “Harus!” tekan Aldric. Masih dengan nada yang sama. “Siap, tuan Aldric William yang terhormat.” Senyum masih tak lepas dari kedua sudut bibir Fherlyn. “Sampai jumpa dan selamat pagi.” “Bye.” Tepat ketika Fherlyn memutus panggilan Aldric, matanya yang kebetulan terarah ke bawah tangga, bertabrakan dengan tatapan Arsen di lantai satu. Pria itu berdiri di depan tangga, menatapnya dengan tajam dan dingin sebelum berpaling dan berjalan menjauh menuju pintu. “Arsen!” panggil Fherlyn sambil menuruni anak tangga. Tapi pria itu tak menoleh atau melambatkan langkah sedikit pun. Dan Fherlyn tahu pria itu sengaja mengabaikannya.   ***   “Aku akan menyetir sendiri!” bentaknya pada sopir yang membukakan pintu mobil untuknya. Wajah pria itu memberengut dengan kerutan di mana-mana. Bunyi keras ketika pintu mobil ditarik dengan sekuat tenaga hingga membuat si sopir terperanjat kaget. Mengelus d**a berharap jantungnya baik-baik saja. Sambil berdoa agar mulut tuannya tak meleset dan tiba-tiba memecatnya. Ponsel sialan, senyum sialan, dan wanita sialan. Paginya mendadak berantakan. Bagaimana wanita itu dengan mudahnya tersenyum dan tertawa untuk seorang pria? Apa wanita itu lupa bahwa sejak kemarin telah sah menjadi istrinya. Dan belum ada satu jam yang lalu wanita itu telanjang di kasur miliknya dan karena perbuatannya. “Siap, tuan Aldric William yang terhormat.” Arsen mendengus keras. Mencemooh kata-kata Fherlyn. Wanita itu memang punya seribu wajah. Bersikap rapuh padanya dan bersikap penurut pada pria lain. Menggodanya dengan tangisan dan rasa iba lalu menggoda pria lain dengan senyum dan tawa. Ia benar-benar sudah gila karena sudah termakan tipu muslihat Fherlyn. Menjanjikan kesepakatan yang begitu menyedihkan karena tak bisa menahan gairah sialannya. Tanggung jawab, kesetiaan, dan kehidupan keluarga yang utuh. Semua itu untuk Adara. Bukan untuk Fherlyn. Ia tak ingin menjadi sosok tak bertanggung jawab di hadapan Fherlyn. Dan lebih tak mungkin ia menjadi ayah berengsek yang menyelingkuhi ibu kandung anaknya. Kehidupan keluarga yang utuh, semuanya hanya demi Adara. Arsen mengingatkan dirinya lagi. Meyakinkan diri bahwa apa pun yang terjadi di atas ranjang antara dirinya dan Fherlyn hanyalah kebutuhan fisik yang tak bisa dihindari sebagai pria normal. Selama kedekatan Fherlyn dengan pria mana pun berada dalam batas, ia tak akan mengambil pusing untuk semua kesia-siaan tersebut. Menghela napas panjang yang keras, Arsen mengakhiri kemelut yang mengganggu. Berkonsentrasi penuh pada jalanan. Mengabaikan ponselnya yang bergetar di sampingnya.   ***   Fherlyn menginjak rem mobilnya keras-keras tepat di halaman hotel bertingkat dua puluh tiga dengan lambang MH besar yang dikeliling air mancur. Dalam dua menit, ia sudah berada di dalam lift yang mengantarnya ke lantai 21. Ia tak bisa menahan rasa jengkelnya ketika mendengar penuturan dari pelayan di rumah Arsen yang membisu saat ia menanyakan di mana Adara. Ia berkeliling membuka setiap pintu di rumah Arsen mencari keberadaan Adara. Dan tahu Adara tidak ada di sana. Tidak ada di rumah besar itu. Ting ... Pintu lift terbuka. Fherlyn melangkah besar-besar menyusuri lorong menuju pintu yang sudah sangat di hafalnya. Denah lantai ini  masih tak berubah. Dua pintu ganda. Pintu ganda pertama yang ia lewati adalah ruang meeting khusus dan satunya adalah ruangan Arsen. Sekretaris yang sedang sibuk memainkan jemari di keyboard, bergegas beranjak dari duduknya ketika menyadari gelagat Fherlyn yang tampak penuh tekad hendak menerobos ruangan bosnya. “Anda tidak boleh masuk, Nona.” Sekretaris itu menghadang Fherlyn sebelum tangan wanita itu sempat menyentuh gagang pintu. “Apa tuanmu ada di dalam?” tanya Fherlyn dengan nada jengkel dengan penghalang yang menganggu jalannya. Sekretaris itu menggelengkan kepala terlalu cepat sebelum Fherlyn menyelesaikan kata pertamanya. Fherlyn berdecak. Sudah jelas ada yang disembunyikan gadis muda itu di balik pintu bosnya. Wanita Arsen? Fherlyn menyingkirkan sekretaris berbadan kecil itu dengan keras dan menyelip mendorong pintu ruang kerja Arsen. Tidak ada siapa pun. Fherlyn tak mampu menahan desahan leganya. Ia tak perlu melihat adegan-adegan seperti yang ada di drama atau cerita dalam beberapa novel romance yang memergoki suami bermesraan dengan kekasihnya di meja kerja. “Nona, Anda harus keluar.” Wajah sekretaris itu pucat pasi. Fherlyn tak mengindahkan kepanikan sekretaris muda itu. Ia terlalu kesal karena pengabaian Arsen dan masalah orang lain bukanlah urusannya. Tangannya merogoh tas dan mengambil ponsel. Getaran dari meja Arsen menarik perhatiannya. Fherlyn melangkah mendekat, menepis tangan sekretaris yang berusaha menyentuh lengannya untuk menahan dirinya masuk lebih dalam atau lebih lama di sini. Ponsel Arsen tergeletak sembarangan di antara berkas-berkas yang bertumpuk, bergetar dan deretan nomor tak dikenal membuat kening Fherlyn berkerut dalam. Dan saat ia memutus panggilan tersebut, getaran di ponsel Arsen berhenti. Keterlaluan sekali. Hanya butuh tak lebih dari sepuluh detik untuk menamai kontaknya meski dengan huruf A saja. “Ada keributan apa ini, Mia?” Arsen muncul dari balik pintu kamar mandi. Gerakan tangannya yang sedang melepas jas terhenti menemukan Fherlyn berada di dekat meja kerjanya, berputar menghadapnya dengan wajah merah padam. Lalu pria itu mengangkat tangan sebagai isyarat untuk membiarkan dirinya dan Fherlyn. Sekretaris itu keluar dengan patuh. “Kau tidak menamai kontakku?” Arsen mengerutkan kening. Menyampirkan jas di punggung kursi sambil melirik ponselnya sejenak dan mengangkat salah satu alis. Tak tertarik menjawab pertanyaan Fherlyn. “Kaupikir aku akan melarikan diri dari pernikahan sehingga tak mau repot-repot menamai kontakku?” “Kau pernah melakukannya, Fherlyn. Bukan tak mungkin hal itu akan terjadi lagi, kan?” jawab Arsen sembari duduk di kursi dan memungut ponselnya. “Karena kita ternyata benar-benar sudah menikah, jadi kauingin aku memberimu nama apa?” Fherlyn meremas ponsel. Selalu kehilangan kata jika Arsen mengungkit hal itu lagi dan lagi. “Istriku? Ibu anakku? Atau ... Fherlynku.” “Ada baiknya kau tak perlu menyimpannya,” balas Fherlyn sinis. “Siapa yang tahu aku tiba-tiba menghilang dari hidupmu kapan saja, kan.” Arsen terkekeh. “Baiklah,” jawabnya ringan dan tenang. Lalu meletakkan kembali ponselnya di meja. “Kau tak perlu merasa sangat kesal, Fherlyn. Jumlah kontak di ponselku tak lebih dari lima nama. Kau tahu ingatanku sangat tajam, kan. Aku tak perlu menandai nomor ponsel seseorang. Aku hanya perlu mengingatnya.” Fherlyn tahu daya ingat Arsen sangat tajam. Dulu, ia bahkan sering bercanda dan mengatakan bahwa mereka saling melengkapi. “Tidak. Aku tidak kesal!” “Mungkin hanya perasaanku saja.” Arsen mengalah meski nada dalam kalimatnya penuh ejekan. “Jadi, kenapa kau tiba-tiba datang kemari? Aku tahu kau tak mungkin merindukanku, kan.” Fherlyn teringat tujuan utamanya mendatangi kantor Arsen. “Di mana Adara?” “Adara?” Arsen menurunkan alisnya. “Dia baik.” “Aku ingin bertemu dengannya.” Arsen melihat sambungan teleponnya berkedip, ia pun mengambil gagang telepon dan menjawabnya dengan datar. “Ada apa?” “Rapat akan segera dimulai lima menit lagi, Tuan.” “Aku akan keluar,” jawab Arsen mengakhiri. “Aku harus pergi.” Arsen berdiri, meraih jasnya dan mengenakannya sambil berjalan memutari meja. “Di mana Adara?” Fherlyn menahan lengan Arsen. “Alea akan mengantarnya ke rumah. Mungkin hari ini, mungkin besok, atau bahkan lusa. Kautunggu saja di rumah.” Arsen melepas cekalan tangan Fherlyn dengan mudah dan melenggang pergi. Mengabaikan Fherlyn yang mengekor di belakangnya. “Apa kaubilang?!” tanya Fherlyn tak percaya ketika bisa menghadang langkah Arsen di depan pintu. “Jangan menggunakan nada tinggi padaku, Fherlyn,” desis Arsen melirik sedetik kedua sekretarisnya yang sedang bersiap menunggunya. Fherlyn mengikuti lirikan Arsen dan meredakan gemuruh di dadanya. Arsen itu mengirim putri mereka ke rumah adiknya di hari ia kembali ke rumah pria itu? Fherlyn tahu pria itu sengaja membentangkan jarak antara dirinya dan Adara. “Kau melarang keluargaku menemui Adara dan malah mengirimnya ke rumah adikmu?” “Ya, dia melakukannya lebih baik darimu untuk mendekatkanku dengannya.” Fherlyn tak bisa menahannya, tangannya sudah melayang hendak memukul bagian mana pun dari tubuh Arsen. Tapi pria itu menepis dan menyentak tangannya ke samping. Membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh tepat di sofa tunggu. “Aku tak punya waktu berdebat denganmu, Fherlyn,” putus Arsen mengakhiri rengekan Fherlyn dengan dingin. Dan berjalan melewati wanita itu yang kemudian diikuti oleh kedua sekretarisnya. Hatinya tak akan mengiba melihat air mata Fherlyn.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN