Part 19

1144 Kata
Langkah Fherlyn terseret di lantai. Memaksa kakinya berjalan menuju lift. Lift berhenti di lantai 19. Fherlyn masih tenggelam dalam lamunannya. “Fherlyn?” Fherlyn menoleh, terkejut tapi dengan cepat menguasai dirinya. Alsya William, adik Aldric William. Wanita itu. Wanita spesial Arsen. Yang mengangkat panggilannya malam itu. Hari itu, dua hari sebelum hari pernikahannya dan Arsen, Fherlyn berniat menelpon Arsen untuk meminta bantuan. Sejak pagi, mual dan muntahnya tak berhenti hingga menjelang malam. Ia hanya sendirian di apartemen dan hanya Arsen yang tahu keadaan kehamilannya. Jadi hanya Arsen yang bisa membantunya. Kepalanya terasa sangat pening, tubuhnya lemas karena terlalu banyak muntah dan tak ada makanan apa pun yang mampu melewati tenggorokannya. Putus asa, ia pun mengambil ponselnya dan menghubungi Arsen. Lama Fherlyn menunggu, Arsen tak juga menjawabnya. Ketika berniat memutus panggilannya, ternyata panggilannya terjawab di deringan terakhir. Hanya saja, bukan suara Arsen yang menjawab. “Hallo?” Suara seorang wanita yang sudah sangat Fherlyn kenali terdengar di seberang sana. Fherlyn membeku. “Fherlyn?” Fherlyn menelan ludahnya, tapi cairan itu menjelma menjadi gumpalan batu besar dan melewati tenggorokannya dengan kasar. Ia sedang kesusahan dan hampir tak mampu berdiri dengan kakinya karena anak mereka, tapi pria itu malah bersenang-senang bersama wanita lain. Entah melakukan apa, Fherlyn tak berusaha memikirkan kemungkinannya. Yang lagi-lagi usahanya ternyata tak mampu mengalahkan cara pikir wanita yang sedang dilanda cemburu. Seorang wanita dan pria dewasa berdua di jam sebelas malam jelas bukan untuk urusan pekerjaan, kan. Seperti yang biasa ia lakukan dengan Arsen. Mungkinkah saat ini Arsen dan Alsya juga melakukan hal yang biasa mereka berdua lakukan. Di apartemen Alsya? “Fherlyn?” Suara Alsya memecah lamunan Fherlyn. Fherlyn tergelagap, lalu bertanya dengan terbata. “Di ... di mana Arsen.” “Dia? Sedang tidur.” Alsya berhenti sejenak. “Di sebelahku.” Air mata Fherlyn terjatuh. Cukup sudah, pertahanan dirinya jebol. Tubuhnya yang hanya bersandar pada pinggiran wastafel, mendadak tersungkur ke lantai. “Apa kauingin mengatakan sesuatu? Jika memang penting aku akan membangunkannya. Tetapi jika bisa menunda hingga esok pagi, aku akan memberitahunya ketika dia bangun.” Fherlyn berharap telinganya tuli. “Apa kau membutuhkan sesuatu? Biasanya wanita hamil sedikit merepotkan saat malam hari. Kupikir itu alasanmu menelpon Arsen semalam ini?” Fherlyn merasakan tusukan yang sangat dalam di ulu hatinya. “Kau ... tahu?” Alsya terkekeh. “Kau tak perlu bertanya, Fherlyn? Tidak ada rahasia di antara kami. Tapi jika kau ingin mendengar jawabanku. Ya, dia sudah menceritakan semuanya dan ... dia benar-benar kacau.” “Apa ... maksudmu?” “Berapa bulan kau bekerja padanya,  Fherlyn? Kupikir kau sudah mengenalnya luar dan dalam itulah sebabnya kau membiarkan dia melucuti pakaianmu.” Fherlyn tak sanggup membuka mulutnya. Satu tangannya menangkup mulutnya untuk meredam tangisannya. Banyak wanita-wanita yang berkeliling di sekitar Arsen, ia tahu resiko apa yang akan didapatkan ketika menerima ajakan naik keranjang pria itu. “Kau hanya salah satu wanita Arsen, jadi jangan berpikir bahwa kau adalah satu-satunya yang dibiarkan naik ke ranjangnya. Meskipun dia memang membutuhkan tubuhmu untuk menghangatkan ranjangnya. Sesekali.” “Kami ... kami akan menikah dua hari lagi.” Fherlyn berusaha menyangkal pernyataan Alsya meski suaranya terdengar menyedihkan. Alsya terkekeh lagi. Menertawakan kata-kata Fherlyn. “Kau begitu naif, Fherlyn. Semua pria akan mengatakan hal yang sama saat. Dan jelas Arsen akan mengatakan hal itu pada wanita mana pun yang mengaku hamil padanya. Dia pria yang bertanggung jawab, kau tahu. Satu-satunya kelebihan dia yang sangat kubenci.” “Dan bukan berarti sebuah pernikahan akan membuatmu memilikinya seutuhnya. Arsen adalah pria yang berjiwa bebas. Kau akan mengekangnya dengan pernikahan itu. Lalu kau, kau jelas akan mengorbankan hatimu sepanjang umur pernikahan kalian. Apa kausanggup menjalani pernikahan semacam itu, Fherlyn?” Isakan Fherlyn semakin dalam dan ia tak lagi sanggup menyembunyikan tangisannya dari Alsya. “Jangan terlalu dipikirkan, Fherlyn. Arsen memang seperti itu.” Fherlyn masih membisu. “Apa kau tahu kenapa sekretaris terakhir Arsen mengundurkan diri? Karena dia menginginkan lebih dan Arsen langsung memecatnya.” Alsya diam sejenak. “Karena Arsen tak suka dengan wanita yang terlalu serakah.” “Hanya ada dua jalan jika kauingin melihat Arsen merasa tak bebani denganmu, Fherlyn. Menghilang dari hidupnya atau gugurkan anak itu. Lakukan pilihanmu senyaman mungkin.” Semua kata-kata Alsya masih terdengar jelas di telinganya meski percakapan mereka sudah terjadi empat tahun yang lalu. Menusuk-nusuk gendang telinganya dan berharap telinganya menjadi tuli. Di saat itu maupun sekarang. Tak sampai hati jika sampai menggugurkan kandungannya, jadi ia memilih menghilang tanpa jejak dari hidup Arsen. Tapi lihatlah sekarang, baru beberapa hari ia menginjakkan kaki di negara ini, ia kembali terjebak dalam kehidupan Arsen. Dan kembali bertemu dengan wanita itu. Jika memang Arsen sudah melupakannya, lalu kenapa pria itu tak menikah saja dengan Alsya? Karena sudah jelas Alsya tak akan merengek atau menangis pada Arsen hanya karena masalah ringan. Dan jelas tidak ceroboh seperti dirinya. “Apa yang kaulakukan di sini, Fherlyn?” Alsya memasang senyum lebar di wajahnya. “Aku ... ada beberapa urusan pekerjaan di sini,” bohong Fherlyn. “Kau?” Alsya tertawa ringan. “Aku bekerja di perusahaan ini, ingat?” Fherlyn mengumpat dalam hati. Sudah jelas ia tak perlu bertanya kenapa Alsya ada di gedung ini. “Apa ... kau bertemu dengan Arsen?” Mata Fherlyn melebar. Ia pun menggeleng dengan cepat. Alsya mengangguk-angguk. “Bagaimana kabarmu?” “Baik.” Alsya menyeringai. “Sepertinya tidak.” Fherlyn mengerjap. “Apa maksudmu?” “Kau ... seperti habis menangis.” Wajah Alsya mendekat ke arah wajah Fherlyn. “Apa kau masih memikirkan masalah pribadimu dengan CEO MH?” Fherlyn menggeleng keras. Membuang tatapannya dari Alsya. “Baguslah.” Alsya menegakkan punggungnya dan bersandar ke dinding lift. “Lagipula itu masalah kalian sudah terjadi empat tahun yang lalu. Anak kalian juga sudah mati. Jadi kalian bisa menjalani hidup masing-masing tanpa merepotkan yang lainnya, kan.” Fherlyn tak menjawab sepatah kata pun. Jika Alsya masih beranggapan bawa ia telah menggugurkan kandungannya, sudah jelas Arsen tak menceritakan tentang pernikahan mereka pada siapa pun. Atau mungkin tinggal menunggu waktu sebelum Arsen mengungkapkan semua rahasia pria itu pada Alsya. Lagi-lagi cubitan keras mencengkeram dadanya. Kecemburuan atau apa pun itu, emosi yang tak ingin ia rasakan sekaligus tak mampu ia abaikan. Pintu lift terbuka di lantai 12. “Meskipun kau kembali ke sekitar Arsen, kau tak akan membuat pilihan yang t***l lagi untuk termakan rayuan Arsen, kan? Seseorang tak bisa kembali jatuh ke lubang sama. Kau tahu istilah itu?” Fherlyn mengangguk setelah diam sejenak. Menjaga ekspresi wajahnya sedatar mungkin hingga Alsya berjalan keluar dan pintu lift kembali tertutup. Ia menghela napas dengan keras. Memutar kembali kata-kata Alsya di dalam otaknya yang terasa menyempit. Lalu keraguan dalam janji-janji yang diucapkan Arsen mendadak menggelayuti hatinya. “Fherlyn?” Fherlyn menoleh ke samping kanan ketika berjalan keluar dari lift. melihat Aldric yang sepertinya sedang menunggu lift. “Kau ... di sini?” Fherlyn mengangguk sambil memaksa satu senyum bertengger di bibirnya. “Ya, aku ada beberapa urusan ... pekerjaan di sini,” bohong Fherlyn. Dalam batinnya menghitung berapa kebohongan yang sudah keluar dari bibirnya dalam waktu lima menit. Aldric mengangguk-angguk paham. “Oh ya. Hari ini aku tidak memiliki jadwal makan siang. Apa kau bisa hari ini?” Fherlyn mengalihkan pembicaraan karena merasa tak nyaman dengan kebohongan yang baru saja ia ucapkan. “Hari ini?” “Ya.” “Sekarang?” Fherlyn mengangguk. Aldric melirik jam tangannya lalu menunjukkan pada Fherlyn. “Ini masih jam sepuluh.” Fherlyn meringis. “Kau tidak bisa, ya?” Aldric mengerutkan kening sejenak. Berpikir sebentar. “Aku harus naik ke ruanganku sebentar. Apa kau mau menungguku sepuluh menit saja?” Fherlyn mengangguk tanpa ragu. Perutnya sangat lapar karena tak sempat memakan sarapan paginya saat datang kemari. Dan secara kebetulan ia memiliki teman untuk makan bersama. Menunggu sepuluh menit jelas bukan masalah, kan. “Aku akan menunggu di sana.” Fherlyn menunjuk kursi tunggu di depan meja resepsionis. “Okey.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN