Part 27

1234 Kata
Fherlyn menunggu di teras dengan gelisah. Sudah jam sebelas lebih lima menit tapi gerbang tinggi dan besar rumah ini masih belum menunjukkan tanda-tanda akan kedatangan Adara. Berjalan mondar-mandir di depan teras dan entah ke berapa puluh kali ia menengokkan kepala ke arah gerbang. Hingga akhirnya Fherlyn mendesah lega saat pintu itu terbuka dan mobil SUV putih melaju menghampiri ke arahnya. Mobil itu berhenti tepat di depannya. “Kami tidak terlambat, kan?” tanya Alea yang menyadari kegelisahan Fherlyn sejak mobilnya melewati gerbang rumah dan langsung membuka pintu mobilnya begitu sopir menginjak rem dan berhenti tepat di depan Fherlyn. Fherlyn hanya tersenyum. Melongokkan kepala ke dalam mobil dan melihat Adara yang sedang tertidur lelap di pangkuan Alea. Ia pun langsung mencium pipi gembul Adara bergantian. Menghirup dalam-dalam aroma putrinya yang begitu ia rindukan selama hampir dua minggu ini. “Aku akan membawanya ke kamarnya.” Dengan gerakan sepelan dan sehati-hati mungkin agara Adara tidak terbangun, Fherlyn memindahkan tubuh mungil Adara ke dalam gendongannya. Kemudian berjalan ke dalam rumah. Alea turun, mengambil tas yang berisi barang-barang milik Adara di bagasi lalu mengikuti Fherlyn masuk. Saat sampai di ruang tidur Adara yang terletak di samping kamar Arsen. Yang sudah didesain dengan warna ungu serta semua perabot bergambar dan berbentuk unicorn. Ia melihat Fherlyn sudah meletakkan keponakannya di boks. Wanita itu berdiri termenung menatap wajah Adara yang terlelap. Seolah meresapi setiap detik momen-momen yang dimiliki dengan Adara. Meluapkan semua kerinduan. “Maafkan kakakku,” gumam Alea memecah keheningan sambil meletakkan barang-barang Adara di kursi. Lalu mendekati Fherlyn dan berdiri di samping wanita itu. “Dia memang sekasar dan sekejam itu. Tapi aku tahu dia sangat menyayangi kalian berdua.” Fherlyn tersenyum meski tak sungguh-sungguh tahu arti kalimat Alea. Tak ingin menyinggung hati Alea dengan kesangsian hatinya terhadap kata-kata adik iparnya itu. Menyayangi dirinya dan Adara? Fherlyn mengulang pernyataan Alea penuh kesinisan dalam hatinya. Ia tak tahu bagaimana Alea bisa berpikir sejauh itu, tapi pernyataan itu tidak sepenuhnya omong kosong. Melihat bagaimana inginnya Arsen menjadi sangat berarti di mata Adara, pria itu bersungguh-sungguh menyayangi Adara. Dan itu bukan sekedar tanggung jawab terhadap seorang ayah pada anak. Mendadak Fherlyn didera rasa iri, terhadap putrinya sendiri. Ck. “Dia anak yang manis,” puji Alea. Tangannya menyentuh pipi Adara dengan lembut dan tersenyum tipis. Fherlyn mengangguk mengiyakan. Putrinya tidak pernah rewel hanya karena hal-hal sepeleh. Sangat manis dengan sikap mandiri dan penurutnya.     ***   Fherlyn tersenyum memandang Adara yang tengah bermain-main dengan Arsen di halaman berumput. Kaki Adara bertumpang di kaki Arsen, lalu keduanya berjalan berkeliling sambil tergelak. Hari minggu sore yang begitu berbunga-bunga. Fherlyn duduk di kursi santai dengan camilan beberapa potong buah di piring. Tersenyum melihat kebahagiaan Arsen dan anaknya. Hubungannya dan Arsen perlahan mulai membaik. Seperti sebuah rumah tangga seharusnya berjalan. Senyum di bibir Fherlyn semakin melebar ketika melihat tangan Adara melambai ke arahnya. Tangannya terangkat membalas senyum Arsen dan Adara yang mulai berjalan mendekat. Drrttt .... Fherlyn menurunkan pandangannya dan menatap ponsel miliknya yang tergeletak di samping ponsel Arsen di meja rotan. Darren calling ... “Sampai kapan kau tidak akan ke kantor? Aku sudah menyisihkan satu ruangan untukmu di samping. Kau bisa mengisinya dengan apa pun yang kauinginkan,” oceh Darren sebagai salam pembuka. “Ini hari Minggu, Darren. Kau merusak soreku,” decak Fherlyn penuh keengganan. Menyesal menjawab panggilan adiknya karena mengira ada sesuatu yang penting hingga masih ingat untuk menghubunginya. “Karena itulah aku bertanya-tanya. Kenapa di hari minggu sore pun aku masih berkutat di belakang meja sialanku? Dengan tumpukan-tumpukan kertas yang sama sekali tak seksi,” gerutu Darren penuh kegeraman dalam suaranya. “Aku sudah menyelesaikan bagianku. Selama lima hari berturut-turut aku harus pulang pergi ke luar kota meninjau lokasi, mendapatkan ijin dari pejabat setempat. Aku masih baru di negara ini, aku perlu memeriksa latar belakang perusahaan setempat yang hendak bekerja sama dengan kita, dan itu tidak membutuhkan waktu yang sebentar. Kau tahu sekarang aku seorang istri sekaligus ibu yang harus menyisihkan waktu untuk keluargaku, kan. Merangkap sebagai pengantin baru, yang seharusnya masih sibuk berbulan madu dan tidak bisa diganggu.” Darren berdecak. “Bulan madu? Aku masih ingat bagaimana kau merengek-rengek pada papa untuk menolak lamaran Arsen,” ejeknya. “Diam kau, Darren.” “Oke.” Fherlyn mendesah ringan. “Jadi, ada apa?” “Jadi, masih banyak hal yang perlu diselesaikan selain meninjau lokasi dan apa yang sudah kaulakukan.” Darren kembali ke tujuan awal niatnya menghubungi Fherlyn. “Aku yang membuatmu mendapatkan proyek besar ini. Itu lebih dari cukup dijadikan hal besar yang banyak.” “Maka kau juga yang harus menyelesaikannya, kan,” tandas Darren tanpa rasa berterima kasih sedikit pun. Oughhh ... Fherlyn memutar matanya tak percaya. “Tidak bisakah kau meminta dengan sopan saat membutuhkan bantuan. Mungkin aku akan berubah pikiran.” “Tidak perlu.” Fherlyn mendengus dengan kesombongan adik laki-lakinya. “Aku tahu kau bukan orang yang cakap dan selalu menjadi pembawa sial untuk orang di sekitarmu, tapi aku memercayaimu sebagai penanggung jawab proyek besar ini.” “Itu bukan pujian,” dengus Fherlyn lagi. “Memang. Tapi itu alasanku melakukan ini.” Fherlyn mengerutkan kening tak mengerti. “Melakukan apa?” tanyanya. “Mengirim sekretarisku untuk membawa beberapa berkas yang perlu kau periksa. Mengenai perencanaan-perencanaannya. Hilangkan dan pilah ketidakpastian. Buatlah menjadi rencana seefisien mungkin.” Fherlyn membelalak tak percaya. “Kau apa?” “Dan dua pertemuan untuk hari Senin dan Rabu. Bye.” Darren mengakhiri panggilannya sebelum Fherlyn mengeluarkan sepatah kata pun protesnya. Sambil mengucapkan segala macam umpatan kasar dari bibirnya, Fherlyn menekan kontak Darren. Yang tak pernah tersambung karena nomor Darren sengaja di matikan. Adik sialan! “Apa ada masalah?” Fherlyn terlonjak kaget. “Di mana Adara?” Fherlyn mengedarkan pandangannya ke seluruh halaman. Lalu melihat punggung pengasuh Adara yang sedang memasuki pintu belakang rumah dengan Adara dalam gendongan. “Aku menyuruh pengasuhnya membawanya ke dalam.” “Kapan?” “Saat kau mengumpat.” Fherlyn membeku. Apa aku mengumpat? Kapan? Tanyanya terbengong sendiri. Berurusan dengan Darren selalu membuat bibirnya ternodai. “Apa ... Aara ... mendengarnya?” Fherlyn menggigir bibir bagian dalam sambil meringis. “Aku tak akan membiarkannya mendengar kata-kata kotor.” Arsen duduk di kursi samping Fherlyn. “Apa ada masalah?” Fherlyn menggeleng. “Hanya masalah pekerjaan.” “Aku tak tahu ternyata mulut manismu bisa mengumpat,” komentar Arsen sambil mengambil potongan buah di piring. Fherlyn berdehem tak nyaman. “Banyak hal telah berubah, Arsen. Mengurus Adara tak semudah seperti yang kaulihat dan kaupikirkan.” “Apa kau mencoba mengatakan bahwa Adara yang membuatmu mengeluarkan sisi burukmu?” “Tidak ... sepenuhnya,” jawab Fherlyn setelah beberapa saat. Arsen menelengkan kepala. “Tidak sepenuhnya?” ulangnya. “Mungkin kedatangan Adara dalam hidupmu yang masih beberapa minggu memberimu kesenangan-kesenangan yang belum pernah kau dapatkan sebelumnya. Tapi ... kehadirannya di hidupku tidak mudah seperti itu, Arsen.” Arsen diam mendengarkan. Mencerna lebih dalam setiap kata-kata Fherlyn. “Morning sickness, baby blues, depresi pasca melahirkan. Semua datang secara beruntun dan membuatku kebingungan. Aku tak memiliki siapa pun dan ternyata keputusanku untuk menjadi seorang ibu tunggal jauh lebih berat dari yang kupikirkan. Banyak hal-hal yang tidak pernah kubayangkan datang mengguncang dengan cara yang tidak pernah kusangka.” Kilasan-kilasan semua kejadian empat tahun lalu kembali berjajar dalam ingatan Fherlyn. Mual dan muntah hebat yang tak berhenti hingga melahirkan. Kemudian berbagai perubahan setelah  Adara lahir yang membuatnya bingung dan selalu dipenuhi kekhawatiran apakah ia mampu menjadi ibu yang cukup baik untuk Adara. Sanggupkah ia menjadi ibu yang pantas untuk anaknya. Keadaan seperti itu tak pernah membaik berminggu-minggu setelah Adara lahir. Kekhawatirannya semakin hari datang semakin intens hingga ia mengalami depresi dan bahkan ia sempat kehilangan ikatan batin antara ibu dan anak hingga harus ditangani psikiater. Dan dia harus melewati semua kegelisahan tersebut tanpa dukungan keluarga atau siapa pun orang terdekatnya. “Kau menyesal meninggalkanku?” Fherlyn diam sejenak, menatap mata Arsen. “Ya dan tidak,” jujurnya. Arsen mendengus. Tak bisa tak menunjukkan kekecewaannya pada jawaban tidak yang menyusul. Ia berharap wanita itu sepenuhnya menyesal telah mencampakkan dirinya. Menyesal telah menyia-nyiakan tanggung jawab yang telah ia berikan. “Aa ... pa ... kau pernah tidur dengan Alsya?” Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Fherlyn ketika mereka kembali mengungkit kisah mereka yang belum selesai. Antara menyesal dan tidak, ia menunggu jawaban  Arsen. Arsen terdiam. Matanya mengerjap dan tak langsung menjawab.   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN