Labibah menunggu taksi yang ia pesan di depan pos satpam rumah sakit. Bibah belum mengambil mobilnya ke rumah, jadi dia terpaksa berangkat kerja pakai taksi. Sudah cukup lama Bibah menunggu tapi taksi yang ia pesan belum juga datang.
“Tinnnt....”
Suara klakson mobil mengagetkan Labibah yang sedang berdiri menunggu taksi.
“Ayo sekalian ikut aku, aku mau ke rumah kamu. Sore ini mau aku dan Fauzan mau futsal. Dia minta dijemput.” Dokter Fahri menawari Labibah untuk ikut dengannya.
“Saya sudah pesan taksi, Dok,” jawab Labibah.
“Sudah, batalkan saja. Masih lama, kan?” ucap Fahri.
“Enggak, sebentar lagi kok,” jawab Labibah.
“Oh, baiklah,” ucap Fahri.
Labibah kira Fahri akan pergi meninggalkannya dan langsung ke rumahnya menjemput Fauzan untuk main futsal. Ternyata Fahri malah menepikan mobilnya, dan turun menghampirinya. Memang tadi pagi Fauzan bilang, kalau sore ini dia akan futsal dengan Fahri. Ternyata benar, Fauzan tidak bohong dengan Bibah. Kebetulan sekali kalau mereka pergi, jadi Labibah bisa beberes rumah yang masih berantakan.
“Ayo ikut saya,” ajak Fahri.
“Gak usah dok, nanti yang ada malah Mas Fauzan marah, istrinya pulang dengan laki-laki lain,” tolak Bibah.
“Ya aku kan teman dia, teman kami juga, kan?” ucap Fahri.
“Tapi rasanya tidak pantas, Dok,” jawab Labibah.
“Kok masih memanggil Dok? Kita sudah di luar rumah sakit, Bibah,” ucap Fahri.
“Lalu?” tanya Labibah
“Ya seperti kemarin sajalah, mas gitu manggilnya? Kan sudah di luar jam kerja?” ujar Fahri.
“Hmmm... Gitu? Ya sudah Mas Fahri, saya pulang, itu taksi saya sudah sampai. Assalamualaikum ....” Labibah menunduk sopan dan berpamitan untuk pulang lebih dulu.
Labibah tahu batasan berteman dengan laki-laki. Tidak mungkin dengan mudah Labibah menerima tawaran Fahri untuk mengantarnya sampai rumah, meski alasannya sejalur, karena Fahri ingin ke rumahnya menemui suaminya. Meski Fahri adalah sahabat suaminya, dia masih menjaga fitrahnya sebagai seorang istri dari Fauzan. Meskipun istri yang tidak dianggap, tetap saja Labibah istri sah Fauzan, dan dia tahu tata krama seorang istri, dan norma-norma seorang istri dalam agamanya. Bagaimana nantinya kalau Fauzan melihat dirinya turun dari mobil Fahri, meski sahabatnya, kemungkinan besar Fauzan akan marah, apalagi Fauzan masih mencari celah kejelekan Labibah saat ini.
Fahri yakin, Labibah wanita yang baik, sangat baik. Tidak salah dia sampai jatuh cinta padanya. Sayangnya, Labibah istri dari sahabatnya, dan lebih disayangkan lagi, sahabatnya sangat membenci Labibah.
Labibah juga tidak langsung pulang ke rumahnya, karena dia ingin ke rumah orang tuanya untuk mengambil mobilnya. Labibah tidak mungkin akan naik taksi online terus, jadi dia memutuskan untuk mengambil mobilnya di rumah orang tuanya.
Fahri memandangi taksi yang di tumpangi Labibah melaju. Namun, melaju ke arah yang berbeda, bukan ke arah rumah Fauzan. Fahri langsung mengikuti ke mana taksi Labibah melaju. Untung saja Fauzan membatalkan futsalnya karena ada urusan mendadak. Dia harus meeting dengan klien yang kemarin sempat tertunda.
“Bibah mau ke mana sih? Kok arahnya ke sini? Ini kan bukan arah ke rumah Fauzan?” ucapnya lirih dengan menambah laju kecepatan mobilnya supaya bisa mengejar taksi yang Labibah tumpangi.
Mobil Fahri berhenti cukup jauh dari taksi yang ditumpangi Labibah. Labibah terlihat turun dari taksi, dan masuk ke dalam rumah mewah nan megah. Fahri turun dari mobilnya setelah Labibah masuk ke dalam rumah tersebut. Fahri ingin memastikan ini rumah siapa, dan akhirnya dia bertanya pada dua Satpam yang berjaga di pos satpam.
“Siang, Pak. Ini benar rumah Labibah?” tanya Fahri.
“Oh, benar, Pak. Ini rumah Non Bibah. Baru saja dia masuk, katanya mau ambil mobilnya, tuh baru saja masuk dengan ibunya,” ucap Satpam tersebut.
“Oh jadi ini rumah Labibah?”
“Iya, betul, Pak. Kalau boleh tahu bapak siapa, ya?” tanya Satpam tersebut.
“Oh, saya teman di rumah sakit tempat Labibah bekerja. Sebentar pak, saya mau ambil sesuatu dulu, nanti saya titipkan sama bapak,” ucap Fahri, lalu bergegas kembali ke dalam mobil.
Fahri bingung mau memberikan apa, toh dia Cuma tanya-tanya saja tujuannya. Dia akhirnya menuliskan sebuah puisi untuk Labibah dan menitipkannya pada satpam yang berjaga di rumah Labibah.
^^^
Labibah pulang bersama asisten pribadinya yang setiap harinya mengurus dia di rumah. Labibah tidak peduli jika nanti Fauzan marah dengannya karena sudah mengajak asistennya ke rumah untuk membantu Labibah menyelesaikan pekerjaan rumah. Labibah tidak sanggup jika seorang diri membersihkan rumah Fauzan yang sebesar istana itu. Meskipun dia tidak bekerja, Labibah juga pastinya tidak sanggup jika seorang diri mengurus rumah Fauzan. Dia tetap membutuhkan satu orang asisten untuk membantunya.
Labibah sampai di rumahnya. Dia menunjukkan kamar untuk Mbak Sani yang berada di belakang.
“Non, ini saya mulai kerja sekarang, kan? Sepertinya masih berantakan rumahnya?” ucap Mbak Sani.
“Ya gitu, Mbak. Tadi pagi Bibah buru-buru berangkat, soalnya kan berangkat pagi. Tahu kan kalau berangkat pagi Bibah jam berapa berangkatnya?” ucap Bibah.
“Iya mbak tahu. Ya sudah, mbak kerja dulu, Non,” ucapnya.
“Bibah bantuin deh! Tapi, Bibah bagian dapur saja. Bibah mau masak, sebentar lagi Mas Fauzan pulang sepertinya, soalnya Mas Fauzan mau futsal katanya,” ucap Bibah.
“Itu mah namanya gak bantuin Mbak Sani bersih-bersih, Non? Tapi, gak apa-apa, ini tugas mbak. Lagian selama non di sini, Mbak Sani di rumah juga gak ada kerjaan, paling bantu-bantu Mbak Narti saja. Habis itu sudah, lha gak ada non. Biasanya kan Mbak Sani semua yang urus keperluan non?” ucap Mbak Sani.
“Ya sudah, sekarang mbak kan sudah ada kesibukan lagi, selamat bekerja deh. Bibah tinggal ke dapur dulu,” ucap Bibah. “Tapi, Mbak Sani gak usah beresin kamar Bibah, ya? Biar Bibah saja yang membereskan, itu sudah tugas Bibah,” imbuhnya.
“Siap, Non!” jawabnya.
Sebelum ke dapur untuk memasak, Bibah masuk ke dalam kamar untuk berganti baju dan membersihkan kamarnya yang juga masih berantakan. Bibah mendengar ponselnya berdering, karena ada panggilan masuk. Suaminya menelefonnya. Memberitahukan kalau dia tidak pulang sore, karena ada meeting.
“Kamu sudah di rumah? Aku pulang terlambat. Ingat semua harus sudah bersih dan rapi kalau aku pulang nanti.”
“Iya, ini juga lagi bersih-bersih. Mamaku tadi mengirim Mbak Sani ke rumah. Asistenku. Kalau kamu menolak, silakan protes dengan mama dan papaku. Juga pada mama papamu. Beliau juga akan mengirimkan satu asisten lagi katanya, dari mama papamu,” jawab Labibah.
“Kamu tidak menolaknya?”
“Mana mungkin aku menolaknya? Aku memang butuh. Kalau tidak boleh, ya silakan kamu bilang sama mama papaku, dan mama papamu? Gampang, kan? Toh kita saja nurut suruh menikah? Masa dikasih asisten gak nurut?” jawab Labibah.
“Terserah kamu! Yang penting, jangan lupa tugasmu untuk mencari Syafira. Supaya kamu tidak menderita lagi. Ingat Bibah, aku benci dengan pernikahan ini!”
Fauzan langsung menutup teleponnya. Labibah terduduk lemas mendengar perkataan terakhir Fauzan. Tak terasa air mata Labibah menetes, mendengar perkataan Fauzan yang membenci pernikahannya.
“Kalau kamu tahu yang sebenarnya, apa kamu tetap akan membenci pernikahan ini, Mas?” gumam Labibah dengan menyeka air matanya.