“Hallo?”
“Sudah kubuat dia tidak sadarkan diri. Seorang gadis yang hampir jadi buruannya juga sudah kuselamatkan dan kukunci di pondok di sebelah utara dekat pohon pinus kembar.”
“Bagus. Uang bayaranmu juga sudah ditransfer.”
“Okay. Terima kasih.”
“Aku akan menghubungimu lagi jika kami memerlukan bantuan.”
“Okay.”
Pria yang mengenakan pakaian serba hitam itu menurunkan topinya lebih ke bawah sambil melesat ke arah lain ketika mata dan telinganya menangkap sesuatu yang ramai.
“Tugasku sudah selesai. Aku tutup dulu teleponnya kalau begitu.”
Sosok itu menghilang dalam sekejap mata dari tempatnya. Berlari dengan cara melesat, dan hanya memerlukan waktu satu menit, ia tiba di tempat dimana dirinya meletakkan motor yang dibawanya.
Dia bergegas mengenakan helm dan menyalakan mesin motor yang diletakkan di dekat sebuah pohon di area ladang jagung. Lokasi yang cukup tersembunyi dan berjarak cukup jauh dari tempat ia menangkap penjahat tadi.
Ia harus segera pergi agar tak ada orang yang melihat apalagi mencurigai keberadannya di sini.
Sementara itu, di lokasi tempat Emma sebelum jatuh dan menghilang ke dalam hutan, dua unit mobil patroli dan beberapa mobil lain milik kepolisian berjajar di pinggil jalan.
Anjing pelacak diturunkan untuk mencari keberadaan penjahat yang sudah dilumpuhkan pria misterius tadi.
Emelie yang menaiki mobil bersama pamannya dan kebetulan melintas, melihat beberapa polisi yang sedang berbicara satu sama lain di pinggir jalan.
“Paman, sebaiknya kita turun dan coba katakan pada mereka saja. Emma belum lama pergi.”
“Kau benar.”
Paman Emelie menepikan mobil tepat di depan mobil polisi yang parkir paling depan di sisi jalan.
Emelie mengekor kemudian memperhatikan sang paman yang berbicara dengan dua orang polisi.
Tak berapa lama sang paman menoleh pada Emelie dan mengangguk pelan seraya memberitahunya kalau polisi-polisi itu akan membantu mereka mencari Emma.
Emelie mendekat, lalu matanya tak sengaja menangkap tas miliknya yang tadi dikenakan Emma dan terjatuh.
“Paman, lihat itu!”
Sang paman melihat ke arah yang ditunjuk sang keponakan. Setelah memastikan penglihatannya benar, pria itu mendekat dan menyibak semak-semak hingga akhirnya tas selempang itu terlihat bersama ponsel Emma.
“Ini milik keponakan saya. Berarti dia ada di sekitar sini,” ucapnya pada polisi yang berbicara dengannya tadi.
Polisi tersebut segera berkordinasi melalui HT kepada rekan dan anak buahnya yang sedang masuk ke dalam hutan.
Salah satu dari mereka muncul dari dalam hutan untuk mengambil tas Emma yang ditemukan.
“Bisakah aku ikut mencari?”
“Sebaiknya anda tunggu di sini. Jelaskan saja pada kami ciri-ciri dan pakaian apa yang dikenakan agar tim kami lebih mudah mencari.”
Paman Emelie menurut lantas menjelaskan pada kedua polisi tersebut. Dan di tengah-tengah penjelasannya tersebut, terdengar teriakan polisi dari dalam hutan yang menyatakan kalau mereka menemukan sesorang.
“Apa itu keponakanku?”
“Apa yang kalian temukan gadis itu?” Polisi yang berdiri di samping paman Emma dan Emelie menanyakan kepastiannya melalui HT.
“Bukan, Komandan. Ini penjahat yang kita cari sesuai laporan fiktif tadi.”
“Baik. Teruskan pencarian. Di sini ditemukan tas gadis itu. Artinya gadis itu juga masuk hutan. Dan kemungkinan ia diculik penjahat itu.”
“Siap, Komandan!”
Emelie yang gemas akhirnya terbang dan masuk ke dalam hutan, mengikuti polisi yang membawa tas Emma untuk diberikan pada anjing pelacak dan diendus baunya.
Tiba-tiba anjing pelacak yang melihat keberadaan Emelie menggonggong keras dan memberontak.
Tentu saja hal itu membuat semua orang yang ada di sana heran. Bukan sebuah kebiasaan yang umum dilakukan seorang anjing K9 jika sedang bertugas.
Emelie yang tak mau anjing itu terus menggonggong akhirnya mendekat.
Polisi yang menjadi care taker dari anjing itu heran ketika anjing yang talinya ia pegang tampak bersiaga dan menggeram pelan. Seolah ada yang mendekatinya di depan sana.
“Hei! Aku bukan orang jahat. Aku hanya sedang mencari saudaraku. Maukah kau membantuku anjing manis?”
Emelie mencoba tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke depan.
Anjing itu masih menatap awas pada Emelie yang terus bergerak dengan kaki yang melayang di atas tanah agar tak menimbulkan suara mencurigakan karena dedaunan kering yang terinjak.
Emelie memang penyuka anjing. Sayang selama hidup ia tidak bisa memelihara satu ekor pun karena sang ibu yang alergi dengan bulu hewan.
Jarak yang semakin dekat membuat kepala anjing itu kini mendongak dan menatap Emelie yang hanya berdiri sekitar seratus meter di hadapannya.
“Apa yang kau lihat, Buddy?” tanya polisi yang berdiri di samping anjing itu. Namun respon anjing itu hanya diam dan menatapnya sekilas.
“Kamu mau membantuku?” Anjing itu kembali menatap pada Emelie. “Saudaraku itu payah sekali. Tapi aku menyayanginya. Kami bertengkar dan dia pergi. Aku takut dia diculik penjahat itu.”
Seperti mengerti apa yang Emelie katakan, anjing itu berhenti menggeram. Namun ia tetap tidak mengijinkan Emelie menyentuhnya.
“Aku tahu. Aku tidak akan menyentuhmu. Tapi apa kau mau membantuku? Kalau iya, tersenyumlah.”
Anjing itu tersenyum. Tepatnya menarik kedua sudut bibirnya ke belakang sehingga semua giginya terlihat.
“Anak manis. Terima kasih,” imbuh Emelie lalu memberi hormat dengan membungkukkan badannya seperti adegan dalam kerajaan-kerajaan.
Emelie pun berjalan di depan anjing itu. Polisi kembali melanjutkan pencarian hingga akhirnya mereka menemukan gubuk di mana Emma pingsan.
“Wangi apa ini?” gumam Emelie tiba-tiba karena mencium aroma yang dikenalinya.
“Ini ‘kan parfumku,” imbuhnya lalu berjalan sambil terus mengendus ke arah wangi yang semakin menguat hingga Emelie tiba di depan tangga menuju gubuk.
Anjing yang mengikuti Emelie pun berbelok ke arah gubuk tersebut, mengikuti bau yang ia endus sebelumnya dari tas yang diberikan padanya.
Emelie mencoba masuk ke dalamnya. Namun baru ia menginjakkan kakinya pada undakkan tangga pertama, tubuhnya langsung terpental.
“Ahhhh!”
Gadis itu menjerit, kemudian mendarat dan berakhir dudukmenyandar pada pohon besar yang ada di belakangnya. Sepertinya ada sesuatu yang melindungi gubuk itu dan tidak bisa ditembus Emelie.
Anjing pelacak yang mengikutinya tadi berbalik menatapnya sambil menggonggong.
“Dia di sana!” teriak Emelie mencoba bangun dan menghampiri gubuk itu namun berhenti di jarak yang dekat.
Anjing pelacak langsung berlari menaiki tangga dan menggonggong ke arah pintu. Polisi yang memegang anjing itu mengintip ke dalam dan melihat Emma yang tergeletak pingsan.
Ia lantas memanggil teman-temannya yang lain dan meminta ambulance segera datang melalaui HT.
Emma digendong di atas punggung seorang polisi dan dibawa lari sambil dikawal seorang polisi lain yang memastikan gadis itu tidak jatuh saat dibawa lari.
Emelie mendekati anjing tadi dan mengedipkan mata seraya berterima kasih sudah membantunya menemukan sang kembaran.
“Kudoakan kau cepat pensiun dan bisa menikah. Setidaknya kau harus melahirkan anak yang baik juga sepertimu.”
Anjing itu menggonggong beberapa kali seiring kepergian Emma yang terbang cepat menyusul saudaranya yang digendong polisi.
Paman mereka berseru lega dan menghampiri sang keponakan.
“Apa dia terluka?”
“Kami tidak tahu. Di tubuhnya tidak ada luka serius. Hanya kakinya yang terlihat memar. Kami menemukannya pingsan di dalam gubuk yang ada di hutan.”
Sang paman lantas mencari keberadaan Emelie.
“Aku di sini.” Gadis itu sudah masuk ke dalam mobil ambulance dan duduk di samping brankar di mana tubuh Emma direbahkan.
“Aku akan mengikuti dari belakang.”
Sang paman berkata pada petugas paramedis yang sebetulnya kata-kata itu ia tujukan pada Emelie.
Emelie mengangguk sebelum pintu ditutup dan ambulance melaju meninggalkan lokasi.
Sambil mengemudikan mobilnya, paman kedua gadis kembar itu menelepon sang istri dan mengabarkan kejadian tersebut.
Agatha bergegas mengajak sang ibu pergi menuju rumah sakit tempat Emma akan ditangani.
“Tidak ada luka serius. Dia hanya pingsan. Kakinya cidera dan sedikit luka gores di tangan dan kaki. Sepertinya dia terjatuh dan terkena semak-semak yang tajam saat masuk ke dalam hutan.” Penjelasan dokter setelah memeriksa Emma. Emelie yang terus mendampingi ikut mendesah lega mendengarnya.
“Kita tunggu sampai siuman dan keluarganya datang.” Dokter yang menangani Emma di ruang IGD berlalu untuk memeriksa pasien lain sementara Emma diurus dua orang perawat.
“Syukurlah kau tidak apa-apa.”
Tak lama Emma mengerjap. Tangannya bergerak-gerak dan kedua kelopak matanya perlahan terbuka.
“Di mana aku?”
“Kau di rumah sakit, Emma. Kau baik-baik saja?” tanya Emelie membuat sang kembaran menoleh.
Kepalanya masih pusing. Ia mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi padanya sebelum dia bangun.
“Siapa yang membawaku ke sini?”
“Polisi. Kau diculik penjahat. Kau ingat kejadiannya?”
Emma terdiam. Mencoba mencerna ucapan kembarannya tersebut.
“Aku ditawari naik mobil oleh seorang pria. Karena aku ingin menghindarimu, makanya aku ikut.”
“Kau ikut dengan penjahat secara sukarela? Kau bodoh sekali!”
Emma mengabaikan makian sang kembaran. Ia kembali melanjutkan ceritanya. Membuat suster yang melewati brangkarnya menoleh sekilas dan menatap sedikit heran.
“Setelah kuminta ia menurunkan di halte lain, dia tidak mau. Aku lalu loncat dan masuk ke hutan. Kakiku terkilir saat loncat. Tapi aku berusaha kabur dan akhirnya jatuh lagi. Dan setelah itu…”
“Setelah itu apa?”
“Aku tidak ingat banyak. Yang aku tahu ada seseorang yang membawa tubuhku begitu cepat. Sampai-sampai aku tidak bisa melihat dengan jelas saking cepatnya dia berlari.”
“Kau tidak melihat wajahnya?”
Emma menggeleng. “Dia mengenakan topi dan masker. Aku hanya bisa melihat matanya. Setelah itu aku tidak ingat apa-apa karena tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap.”
Emelie mengendusi pakaian Emma masih terbaring dengan selang infus di tangannya.
“Kau sedang apa Emelie?”
“Saat aku mencarimu di hutan tadi, aku mengendus bau parfumku yang kau pakai. Dan kau tahu, aku bahkan bisa mengendusnya dari jarak yang sangat jauh. Ini luar biasa bukan?” cicitnya tampak begitu bangga.
“Lalu apa hubungannya dengan yang kau lakukan sekarang?”
“Aku mencoba mencari bau asing di tubuhmu. Siapa tahu aku bisa mengenalinya nanti dan menemukan siapa yang sudah menolongmu.”
Emma membiarkan saudaranya bertingkah sesuka hati. Tubuhnya masih terasa lemas dan perasaannya masih sangat kacau.
Kejadian yang dialaminya tadi membuat ingatannya kembali pada kecelekaan misterius yang membuat ia bangun di tubuh kembarannya dan sang kembaran menjadi arwah.
Tak lama nenek, paman dan bibinya datang, disusul dengan kedua orangtua mereka yang diberitahu sang nenek.
Melihat ayah dan ibunya muncul, seketika Emelie begitu merasa rindu. Namun ia memilih pergi dan meninggalkan ruangan, dan Emma tak bisa mencegahnya.
Emelie lantas berjalan-jalan di sekitar trotoar rumah sakit lalu menyeberang dan berjalan ke arah bangunan pertokoan lama di mana dari sana menguar wangi roti yang sangat menggugah selera.
“Andai aku bisa menikmatimu wahai roti yang begitu indah dipandang mata," katanya sambil meletakkan kedua telapak tangannya pada kaca display toko roti tersebut.
Jika saja orang-orang bisa mendengar apa yang diucapkan gadis itu, selayaknya mereka akan tertawa dan menganggap Emelie gila.
Untunglah dia tidak terlihat. Meski ada satu orang yang bisa melihatnya dan memilih abai ketika ia melewati Emelie.
Emelie yang mengendus bau yang ia kenalai langsung berbalik dan mengikuti ke mana aroma itu berjalan pergi hingga gadis itu tiba di sebuah kampus yang pernah ia kunjungi saat masih hidup.
“Ini ‘kan kampus tempat Lemar mengajar,” gumanya lalu mencari-cari lagi aroma yang ia kenali tadi.
Anehnya, begitu Emelie memasuki kampus aroma itu menghilang. Sialnya ia tidak memperhatikan siapa yang tadi ia ikuti karena banyaknya orang yang berlalu lalang dan masuk ke dalam kampus.
“Apa aku tunggu di sini saja, ya?” gumamnya tampak berpikir kemudian. “Sebaiknya memang aku tunggu saja. Siapa tahu aku bisa menemukannya lagi.”
Gadis itu mondar mandir di depan gerbang kampus. Kadang duduk di trotoar. Kadang jongkok sambil mengukir sesuatu yang abstrak dengan jariya di jalanan.
Namun hingga tengah malam, Emelie tak menemukan satupun orang yang memiliki aroma yang diendusnya tadi.
“Apa dia tinggal di asrama kampus ini, ya?” gumamnya lagi lalu, “Baiklah kalau begitu. Aku akan menunggunya sampai pagi.”
Ia mencari bangku panjang agar bisa digunakan untuk tidur. Namun baru saja ia meringkuk di atas bangku itu, tiba-tiba datang seseorang yang duduk tepat di kepalanya.
“Sialan! Apa-apaan dia duduk di wajahku,” dumalnya kesal lalu menampar-nampar manusia di depannya.
Sayangnya, Emelie tidak berhasil. Tangannya menjadi transparan ketika menyentuh orang yang duduk di hadapannya tersebut.
“Ini aneh. Kenapa aku tidak bisa menyentuhnya?”
Emelie terdiam cukup lama. Ia baru ingat kalau ia bisa menyentuh manusia hanya jika ia terhubung dengan kembarannya melalui sentuhan pisik.
Karena kesal, Emelie akhirnya kembali ke rumah sakit. Namun Emma rupanya sudah pulang.
Mulanya Emelie juga ingin pulang. Namun ketika tiba di depan rumahnya, gadis itu mengurungkan niatnya dan memilih kembali ke rumah neneknya.
Di tengah perjalanan menuju rumah sang nenek, Emelie bertemu seseorang yang memanggilnya.
“Kau bisa melihatku?”
“Memangnya kenapa?”
“Apa kau juga hantu?”
Emelie memerhatikan sosok yang memanggilnya itu dan tidak menemukan bayangannya sama sekali padahal mereka ada di dekat lampu jalan.
“Kau juga hantu ternyata.”
Tiba-tiba sosok itu menyeringai dan menununjukkan wajahnya yang rusak dan menjijikan.
Emelie langsung menjerit, berjongkok dan menyembunyikan wajahnya di antara ruas kaki yang ditekuk sambil mengibas-ngibaskan telapak tangannya ke depan dan berkata,
“Jangan bunuh aku. Aku anak baik. Pergi! Pergi kau hantu jahat!”
Lalu tiba-tiba saja Emelie sadar dan mengerutkan dahinya.
“Kenapa juga aku takut dibunuh? Aku kan sudah mati. Bodoh kau Emelie!” umpatnya lalu bangun dan menatap hantu itu dengan berani.
Dihampirinya sosok itu dan dijambak rambut hantu itu hingga sebagian kulitnya terlepas dari kepalanya.
Emelie menatap jijik melempar potongan rambut dan kulit kepala itu jauh-jauh, membuat si hantu berlari mengejarnya.
“Hantu kurang ajar. Beraninya dengan hantu lagi,” dumalnya lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Tanpa Emelie ketahui, seseorang terus memerhatikanya sejak ia meninggalkan kampus.
Pria itu berdiri di atas menara tinggi dengan pakaian serba hitam dan menatap ke arah Emelie yang sedang berjalan dan mengikutinya lewat teropong lensa yang ia pegang.