Di tengah kebahagiaan mereka yang akhirnya bisa bersentuhan dengan Emelie, Emma medapatkan telepon dari ibunya.
“Halo?”
Gadis itu menyingkir ke luar rumah agar pembicaraannya tidak didengar oleh nenek, bibi, paman terutama Emelie.
“Iya, Bu.”
“Kamu sedang ada di mana?”
“Aku sedang di luar. Ada apa?”
Emma enggan mengatakan keberadaan pastinya. Ia sudah bisa menebak kalau ibunya itu pasti akan memaksanya pulang jika tahu ia sedang di rumah neneknya.
“Jangan lupa. Malam ini kita akan bertemu dengan keluarga Lemar.”
“Sepertinya tidak bisa. Aku ada urusan.”
“Urusan apa?”
“Aku sedang bersama temanku. Dia baru datang dari Inggris.”
Emma mencari-cari alasan yang bisa membatalkan pertemuannya malam ini dengan keluarga dari pria yang akan dijodohkan dengannya.
“Tapi makan malam ini tidak bisa dibatalkan, Emelie. Kamu bisa menemani temanmu itu nanti. Lemar akan sangat sedih jika kamu membatalkan makan malam ini lagi.”
“Tapi–“
“Ayah dan ibu akan menunggu kamu. Pulang tepat waktu, ya. Aku sudah siapkan gaun cantik yang warnanya pasti kamu suka.”
Emma mendesah frustasi usai sambungan telepon itu berakhir.
Namun begitu berbalik, Emma dibuat terkejut ketika melihat Emelie berada tepat di belakangnya.
Entah sejak kapan gadis itu ada di sana dan apa saja yang sudah ia dengar meski Emelie tidak menyinggung soal Lemar dan acara makan malam itu.
Yang Emma tidak tahu, Emelie rupanya bisa mendengar semua percakapan ia dan ibunya dengan jelas meski dalam keadaan normal hanya ucapan Emma lah yang seharusnya bisa di dengar saja oleh Emelie.
Mereka saling tatap tanpa bicara untuk beberapa jenak sampai sang bibi memanggil keduanya lagi untuk masuk.
“Aku ingin tidur siang. Aku ke kamarku dulu, ya, Nek.”
Emelie terlihat menghindar, dan hal itu dirasakan jelas oleh semua keluarga.
“Kalian bertengkar?” tanya nenek mereka dan dibalas Emma dengan gelengan.
“Mungkin suasana hatinya sedang buruk. Bukankah dia ingin pergi ke taman hiburan?” sahut bibinya.
“Iya. Aku sampai lupa. Untung saja kau mengingatkanku, Agatha.”
“Bagaimana kalau akhir pekan ini kita ajak Emelie ke kota? Aku juga harus membeli beberap onderdil untuk traktor kita, Bu. Sudah waktunya diganti.” Sang paman menimpali dan memberi ide.
“Ide bagus, Sayang. Emelie pasti senang mendengarnya. Kau juga akan ikut ‘kan Emma?”
Emma yang sedang melamun langsung mengerjap begitu sang bibi mengulang memanggilnya lagi.
“Emma?”
“Iya?”
“Akhir pekan ini kami akan ke kota dan mengajak Emelie ke taman hiburan. Kamu juga akan ikut ‘kan?”
Emma terdiam untuk beberapa jenak. “Memangnya tidak masalah?”
Bibi, paman dan neneknya saling menukar tatapan.
“Kenapa kamu bertanya begitu?”
“Bukankah Emelie tidak boleh kelelahan? Jantungnya nanti…”
Kalimat Emma menggantung begitu melihat rekasi keluarganya.
“Ah, aku lupa.”
Mereka terkekeh bersama.
“Kalian pasti masih merasa asing dengan kondisi sekarang ini.” Emma mengangguki ucapan sang bibi.
“Tidak masalah. Kalian masih bisa bersama meski kita tidak tahu sampai kapan Emelie akan terus bersama kita.” Nenek mereka mendesah berat.
Sang paman mengusap punggung ibu mertuanya itu seraya ikut merasakan apa yang dirasakan karena kondisi kedua cucunya.
“Apa sebaiknya kita kembali menemui dukun itu lagi, Bu?” ucap sang bibi.
“Apa aku boleh ikut?” Emma tiba-tiba menyahut cepat, membuat tatapan semua orang tertuju padanya. “Aku juga ingin tahu kenapa kami bisa bertukar tubuh seperti ini? Dan… sebetulnya...”
Semua orang menunggu apa yang akan dikatakan Emma. Namun gadis itu memilih untuk tak melanjutkan apa yang sebenarnya ingin ia katakan.
“Sebetulnya apa, Emma?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin tahu, apakah kami bisa bertukar ruh lagi atau tidak?”
“Tapi itu artinya–“
“Tidak masalah, Nek. Ini bukan tubuhku. Jadi sudah seharusnya Emelie lah yang hidup di dalamnya.”
“Emma…” Sang nenek menatapnya nanar.
“Tidak apa, Nek. Aku tidak sedih.” Emma berusaha mengatakannya sambil tersenyum tegar.
Namun semua orang tahu gadis itu sedang merasakan banyak hal yang membuatnya frustasi. Dan apa yang dikatakannya bisa jadi adalah salah satu hal yang membuatnya frustasi.
“Kalau begitu, beristirahatlah di kamarmu. Akan kubangunkan jika sudah petang.”
“Tolong bangunkan aku sebelum senja. Aku rindu melihat matahari terbenam di dekat danau sini.”
Nenek mengangguk dan Emma pun beranjak menuju kamarnya. Tampak Emelie sudah berbaring di tempat tidur yang sebetulnya hanya bisa ditempati satu orang saja.
Emma pun mengurungkan niatnya dan beranjak menutup pintu ketika Emelie memanggilnya.
“Kau mau tidur? Masuklah. Aku akan jalan-jalan saja,” katanya tanpa menatap Emma.
“Emelie. Aku sungguh tidak ingin–“
“Aku tahu. Maafkan aku sudah berburuk sangka padamu.”
“Emelie.”
“Ini bukan salahmu. Kamu juga tidak bisa menolak karena mereka hanya tau bahwa kamu adalah aku.”
“Tapi aku sungguh tidak ingin bertunangan dengan Lemar. Kau tahu aku tidak menyukainya. Dan–“
Lemar adalah kekasih Emelie yang rencananya akan ditunangkan dengan gadis itu beberapa waktu sebelum kecelakaan terjadi.
Pertunangan yang ditunda sudah terlalu lama itu membuat kedua orangtua Emma dan Emelie memutuskan merencanakannya lagi sekarang.
“Aku minta maaf, Emma. Tapi bisakah kamu menolongku?”
“Apa?” sahut Emma segera.
“Gantikan posisiku untuk membahagiakan Lemar. Aku sangat menyayanginya. Jika dia tahu aku sudah menjadi arwah seperti ini, dia pasti akan sedih.”
“Aku tidak mau, Emelie!” Emma setengah berteriak, membuat nenek dan bibinya langsung menghampiri.
“Ada apa ini?”
“Maaf, sepertinya aku tidak bisa menginap di sini. Lain kali aku akan berkunjung lagi. Aku pulang dulu, ya, Nek. Bibi.”
“Emma, ada apa?”
Emma terus berjalan menuju pintu dan meninggalkan rumah neneknya. Gadis itu berjalan hingga di ujung jalan besar dan sampai di sebuah halte.
Sebuah mobil dengan atap terbuka kemudian melintas. Pengemudinya bertanya apakah Emma memerlukan tumpangan.
Takut Emelie lebih dulu mengejarnya, Emma pun mengangguk dan langsung naik ke dalam mobil tersebut.
Emelie yang berlari mengejarnya terheran karena Emma menghilang dengan cepat.
“Ke mana dia?” Emelie tampak cemas.
Beberapa hari lalu terjadi sebuah peristiwa mengerikan yang hampir saja merenggut nyawa seorang wanita.
Emelie takut hal itu terjadi pada Emma meski kembarannya itu pasti sudah hafal seluk beluk desanya.
“Emma pasti marah sekali makanya dia pergi begitu saja. Tapi aku takut terjadi sesuatu padanya. Apa aku minta paman menyusulnya saja, ya?”
Emelie pun bergegas kembali ke rumah neneknya dengan cara terbang dan memberitahukan keluarganya.
Sementara itu, Emma yang merasa sudah cukup terbantu meminta pengemudi menurunkannya saja.
“Tolong turunkan aku di depan sana saja,” tunjuknya ke arah yang diminta.
Namun pengemudi itu tidak mau menurunkannya.
“Aku akan mengantarmu sampai tujuan. Katakan saja di mana rumahmu.”
Emma mulai tak nyaman. Mereka berdebat hingga Emma melawan dan mencoba menghentikan mobil bahkan hingga terkena pukulan.
“Hey! Mau ke mana kamu?”
“Lepaskan aku!” teriak Emma lalu tanpa pikiran panjang langsung melompat dari mobil meski sebelumnya pria itu berusaha menarik tangannya.
Brukkk…
“Ahhh!”
Terguling-guling di jalan raya, tubuh Emma mendarat di semak-semak. Pengemudi mobil yang ditumpangi Emma menginjak rem hingga tedengar suara decitan yang nyaring.
Dengan perasaan kesal, ia memundurkan mobilnya ke arah di mana Emma loncat dan terjatuh. Pria itu juga membuka bagasi mobil dan mengeluarkan senapan yang ia bawa.
Emma yang melihat hal itu berusaha bangkit dan masuk ke dalam hutan untuk menghindar secepat mungkin.
Seolah sedang berburu, pria itu mengejar Emma seperti mengejar buruannya sambil menodongkan senjata di depan tubuhnya.
Meski jago bela diri, Emma tentu saja kalah dari pria yang membawa senjata itu. Ia juga tak ingin mati dengan cara mengenaskan.
“Bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?”
Emma mencari-cari tasnya dan sial sekali ia ingat kalau tasnya lepas saat ia lompat dan terjatuh di semak-semak.
“Bodoh!” umpatnya lalu berlari lebih cepat.
Padahal kakinya sakit sekali karena terluka saat lompat dari mobil tadi.
Sejak kecil Emma suka berjalan-jalan di sekitar rumah dan perkebunan milik neneknya. Namun ia tidak hafal dengan tempatnya berada saat ini.
Instingnya hanya mengarahkan untuk mencari sumber air yang mengalir. Dengan begitu ia bisa mencari bantuan karena sumber air itu pasti biasanya akan mengarah ke dekat pemukiman warga.
Sayangnya, kaki yang kesakitan membuat langkah Emma tersendat. Apalagi hutan yang ia lewati tidak terlalu lebat. Emma takut penjahat itu bisa melihat dan mengejarnya.
Ia lantas beristirahat sebentar sambil bepikir keras mencari cara yang efektif untuk terbebas dari orang jahat tersebut.
Namun baru saja ia berisitirahat, suara penjahat itu terdengar dari kejauhan.
“Nona! Di mana kamu? Ayo kita pulang," teriaknya membuat Emma kesal. "Nonaaaa! Apa kamu mengajakku bermain petak umpat?”
“Sial! Pikirkan Emma, Pikirkan!” erangnya pelan lalu menatap ke atas.
Tidak mungkin jika ia harus menaiki pohon dan menghindar. Jika ketahuan, pria itu pasti akan menembaknya.
Tidak. Emma tidak bisa menggunakan cara naik ke atas pohon untuk menghindari pria jahat tadi.
Kakinya juga masih sakit dan itu akan semakin membuatnya kesulitan. Apalagi kalau sampai ia jatuh dan tambah terluka.
Pohon-pohon itu tidak ada yang berukuran kecil. Semua memiliki tinggi lebih dari dua puluh meter. Emma tidak bisa mengambil resiko.
“Ayo Emma. Kamu pasti bisa!”
Berusaha bangkit dan berjalan, di tengah usahanya melarikan diri, Emma mendengar suar langkah yang menginjak daun-daun kering.
Emma langsung mempercepat langkah. Tak ingin menoleh ke belakang, ia hanya fokus bergerak cepat dan menyelamatkan diri..
Namun keberadaannya yang diketahui, membuat pria jahat itu melepaskan tembakan untuk membuat Emma takut.
Duarrr…
“Ahhhhh!” Emma terjatuh. Kakinya tersandung akar pohon besar dan hal itu membuat kakinya jadi semakin sakit dan Emma kesulitan menggerakkan kakinya.
Dari jarak yang tidak jauh, Emma bisa melihat pria itu juga melihat ke arahnya dengan seringai kemenangan.
Emma sungguh ketakutan tapi dia tidak putus asa dan masih bisa berpikir untuk melarikan diri.
Namun tiba-tiba saja dari arah yang tak terduga, Emma kembali mendengar suara orang yang menginjak dedaunan namun dengan gerakan yang lebih cepat. Seperti orang yang berlari.
Pria jahat yang sedang berjalan menuju ke arah Emma pun mendengar hal yang sama. Ia menoleh ke sana ke mari, mencari-cari siapa yang mungkin juga ada di antara mereka.
“Hey! Siapa kamu?!” teriaknya ketika sebuah bayangan melesat dengan cepat, membuatnya kebingungan hingga akhirnya pria jahat itu tidak sadar ketika Emma sudah tidak ada di tempatnya lagi.