Clarisa mendumal sambil berjalan, tak fokus hingga hampir bertubrukan dengan seseorang yang mengintip mereka sejak tadi.
“Aduh!”
“Hei!”
Clarisa yang hampir jatuh namun kedua tangannya yang terulur ke depan langsung ditarik orang tersebut.
Anehnya begitu kedua tangannya mereka bersentuhan, sebuah kejutan yang terasa seperti sengatan listrik membuat Clarisa reflek melepaskan tangannya.
“Ahhhh!”
Naina dan Gatot yang mendengar teriakan Clarisa buru-buru menghampiri. Gatot tidak melesat karena ia menyadari energi lain selain Clarisa.
“Clarisa! Kamu kenapa duduk di jalan gitu?” Naina segera mengulur tangan, membantu Clarisa bangun dan menepuk-nepuk bokongnya agar tidak kotor terkena debu.
“Kamu siapa?” tanya Naina begitu menyadari kehadiran seseorang yang lain.
“Mmm… aku tadi…”
Sosok pria yang ditaksir berumur masih muda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Tampak bingung harus mengatakan apa hingga Naina yang menyadari langsung mengatakan,
“Kamu liat apa yang kami lakukan tadi?” pemuda itu mengangguk. “Semuanya?”
“Iya. Maaf. Aku tidak bermaksud–“
“Anggap kamu tidak melihat apapun,” potong Gatot dengan tatapan tajam memotong ucapan pemuda yang kini balas menatap datar pada Gatot.
“Sebaiknya kamu pergi dari sini sebelum orang-orang curiga.”
“Aku hanya ingin menjaga sepeda kalian.”
Gatot mendengus. “Sepeda kami ada nomer serinya. Kalau hilang kami bisa membuat laporan dan menemukannya. Tidak perlu mencemaskan hal-hal yang bukan urusanmu.”
Pemuda itu balik mendengus. “Selalu saja.”
Naina dan Clarisa saling tatap heran. Sepertinya pemuda itu dan Gatot saling mengenal.
Namun dari sikap Gatot yang terlihat ketus dan tidak suka dengan keberadaan pemuda itu menjadi pertanyaan Naina dan Clarisa di dalam hatinya.
“Terima kasih, ya. Namamu siapa?”
Ekspresi pemuda itu berubah hangat dan tersenyum setelah mendengar ucapan Naina.
“Zherome.”
“Zherome,” jawab pemuda itu dan Gatot bersamaan. Membuat Naina dan Clarisa semakin yakin kalau keduanya memang saling mengenal.
“Elo kenal ternyata sama Zherome.”
“Dia kuliah di tempat yang sama dengan kita.”
“Oh, ya?” Naina terlihat antusias. Namun tidak dengan Clarisa yang sudah merasakan keanehan pemuda itu sejak tadi.
“Jurusan apa?”
Baru saja Zherome akan membuka mulut, Gatot kembali menyela.
“Sama denganku. Satu tingkat di bawahku.”
Naina tampak terkejut. “Wow. Wajah kamu terlihat seperti masih muda. Tapi sudah sekolah spesialis kedokteran. Berapa usiamu?”
“Dua puluh tiga.”
“Wow. Hebat sekali. Aku–“
Clarisa menahan tangan Naina yang hendak bersalaman dengan Zherome. Hal itu membuat Zherome mengernyit heran.
“Clarisa.”
“Ih, dia tuh aneh, Nai. Tadi pas aku hampir jatuh dia nolongin aku tapi pas tangan kita pegangan, kayak kesetrum gitu. udah jangan salaman. Nanti kesetrum kamu.”
Clarisa blak-blakan mengatakan hal tersebut di depan Zherome yang terlihat tidak tersinggung sama sekali dan malah tertawa.
“Temanmu lucu.”
Naina ikut mengangguk. “Aku Naina. Ini Clarisa temanku.”
“Lho, Si Gatot pecahan kaca beling ke mana?”
“Eh, iya. Ke mana dia? Tapi sepedanya masih di sini.”
Eskpresi Zherome kembali menjadi datar ketika Naina dan Clarisa mencari keberadaan Gatot yang bisa ia pastikan ada di mana.
“Kalau begitu aku pamit dulu.”
Naina dan Clarisa kembali menatap Zherome. “Ah, iya. Sekali lagi terima kasih, ya. Senang berkenalan denganmu.”
Zherome mengangguk. “Semoga hari kalian menyenangkan.”
Zherome berlalu meningglkan keduanya. Lalu ketika menemukan sebuh belokan, ia langsung melesat dan dihadang Gatot yang menyadarinya.
“Jangan dekat-dekat dengan mereka. Aku peringatkan!”
“Kenapa? Aku tidak berniat jahat.”
“Tidak usah banyak bertanya.”
“Aku harus tau.”
Gatot langsung menarik kerah baju Zherome sehingga wajah mereka menjadi berdekatan sekali.
“Aku hanya punya peringatan untukmu. Sekali kau melanggarnya, kau akan tahu akibatnya.”
Zherome memutar bola malas namun dengan sekali hentakkan ia berhasil memukul mundur Gatot sehingga tangan pria itu terlepas dari bajunya.
“Dasar tidak jelas!” dumal Zherome lalu melesat hilang dengan cepat.
Gatot masih memperhatikan hingga telinganya menangkap suara Naina dan Clarisa yang kebingungan.
Namun baru ia akan beranjak menghampiri, ponselnya berbunyi. Sebuah nama dengan tulisan ‘Master’ muncul di layar ponselnya.
“Halo?”
“Kamu sedang bersama Naina dan Clarisa?”
“Iya, Tuan. Mereka sedang bersama saya.”
“Kalian mau pergi ke mana?”
“Ke tempat latihan.”
“Latihan?”
“Clarisa harus diajarkan mengendalikan kekuatannya.”
“Clarisa punya kekuatan?”
Gatot mengangguk tanpa bisa dilihat oleh seseorang yang sedang meneleponnya tersebut.
“Muncul tiba-tiba. Dan dampak dari kekuatannya sungguh luar biasa. Dia bisa mengahancurkan banyak hal dengan teriakannya saja.”
Orang di seberang telepon sana terdiam. Pun dengan Gatot yang menunggu pertanyaan selanjutnya.
“Kamu yakin dia bisa mengajarinya.”
“Saya yakin.”
“Bagus. Kalau begitu laporkan semuanya tanpa terkecuali.”
“Baik.”
Klik…
Sambungan telepon itu terputus. Meski perintah yang Gatot terima berbunyi untuk mengatakan semua yang terjadi, namun ia tidak bisa mengatakan tentang makhluk-makhluk yang mereka lihat juga sesosok lain yang hari ini ditemuinya. Sosok yang memegang bola kristal hitam dengan aura kelam yang membuat Gatot harus mencari tahu.
Pasalanya, sosok itu juga menyerap makhluk-makhluk yang menyerupai awan hitam pekat namun dapat berubah-ubah menjadi apapun yang mereka inginkan.
Gatot tidak bisa memastikan apakah sosok itu berada dipihak mereka atau justru hanya kebetulan saja sosok itu membantunya menumpas makhluk-makhluk aneh tersebut.
Gatot terdiam cukup lama hingga suara Clarisa yang berteriak marah membuat telinganya sakit.
“Ahhh! Berisik banget, sih, suara dia,” dumalnya lalu menghampiri dengan langkah cepat.
“Nah tuh manusianya. Dari mana aja lo?”
“Saya hanya memastikan tidak ada cctv yang merekam.”
“CCTV?”
Gatot mengangguk. “Makhluk-makhluk tadi memang tidak akan terekam. Tapi kita yang akan terekam dan akan terlihat seperti sedang melakukan hal aneh. Warga bisa membuat laporan dan itu akan membuat masalah untuk kita.”
Naina mengangguk. Clarisa yang semula ingin mengomel urung. Keduanya memilih melanjutkan perjalanan mereka dan tiba di area kastil tua yang sudah lama tidak digunakan.
“Elo mau ngajak kita uji nyali di sini?”
Gatot mendengus pelan. “Di sini tempat paling aman untuk latihan,” terangnya lalu memarkirkan sepeda dan menyandarkannya di dinding.
Naina dan Clarisa melakukan hal yang sama lalu setelah itu Gatot membuat perisai pelindung untuk menutupi sepeda mereka.
“Supaya tidak ada yang lihat.”
“Gimana, sih, lo. Katanya tempat paling aman.”
“Aman bukan berarti tidak akan ada orang ke sini ‘kan?”
“Ribet.”
“Banyak protes.”
“Apa lo bilang?”
“Bawel!”
“Wah, nantangin.”
Gatot mendengus sementara Naina hanya geleng kepala. Selalu saja ada drama di antara mereka berdua dan hal itu membuat kepala Naina jadi pusing sendiri.
“Apa, sih? Mau latihan, nggak?”
“Gue nggak terima tadi lo bilang apa?”
“Bawel. Kenapa? Kamu memang bawel ‘kan?”
“Sialan! Ngatain gue lagi,” erang Clarisa lalu mendorong bahu Gatot dengan sedikit tenaga.
Namun diluar dugaan hal itu membuat tubuh Gatot terpental mundur cukup jauh ke belakang.
Untung saja pria itu sudah mengantisipasi sehingga ia bisa mendarat dengan aman.
“Clarisa! Aku ‘kan udah bilang. Jangan sembarangan.”
“Tapi aku nggak niat gitu, Nai.”
“Iya. Tapi –“
Gatot sudah melesat lebih dulu dan menoyor kening Clarisa dengan telunjuknya.
“Kamu mau cari mati?”
“Maksud lo?” Clarisa kembali berang.
“Udah… udah… udah! Ayo! Clarisa, please. Kita ke sini mau bantu kamu biar bisa kendaliin kekuatan kamu. Emosinya dijaga. Okay?”
Clarisa berdecak. Mau tak mau apa yang dikatakan Naina ada benarnya. Gatot pun berjalan lebih dulu memasuki kastil yang sudah berusia ribuan tahun tersebut.
“Ahhhh!” Clarisa tiba-tiba menjerit karena seekor tikus besar muncul di hadapannya dan menatap Clarisa seperti kelaparan.
Naina yang melihat hal itu langsung mengerahkan kekuatan untuk menarik tikus tersebut dan membuangnya jauh-jauh ke dalam hutan.
Clarisa yang lemas dan hampir terduduk langsung ditahan Gatot.
“Kamu nggak papa?”
Clarisa menatap Gatot. “Lo nggak liat tikusnya segede kucing gitu?”
“Saya tanya kamu nggak papa?”
“Ehem!”
Dehaman Naina membuat keduanya saling melepaskan diri dan berjauhan. Naina terkekeh mengulum tawanya melihat keduanya yang salah tingkah.
“Kalian tunggu di sini. Saya pastikan dulu situasinya benar-benar aman.”
Naina mengangguk sementara Clarisa membuang muka pura-pura melihat ke arah lain daripada bertemu pandang dengan tatapan Gatot.