“Kau siapa?”
Pria muda yang ditaksir berusia sekitar dua puluh tiga tahun itu tersenyum lalu tak lama wujudnya berubah menjadi sosok yang membuat Emelie membelalakkan matanya.
“Kau? Bagaimana caranya kau bisa berubah?”
Pria hantu yang Emelie temui waktu itu sudah kembali berubah menjadi sosok manusia yang dilihat Emelie sebelumnya.
“Sudah kukatakan bukan, panjang sekali ceritanya. Saat ini aku hanya ingin menyampaikan sesuatu?”
“Sesuatu? Apa?”
“Apa kau mau bekerja sama denganku dan membantuku mencari tahu tentang–“
“Emelie!” suara sang paman terdengar mencarinya. “Sebentar!”
Emelie menoleh hanya sekilas. Namun pria hantu yang ternyata bisa berubah menjadi sosok lain dalam wujud manusia yang bisa dilihatnya itu sudah menghilang.
“Eh, dia pergi ke mana?” Emelie mencari-carinya dalam jarak seratus meter dengan kecepatan kekuatan terbangnya. Namun tak menemukan sosok itu.
“Dia benar-benar aneh. Dan lagi, apa yang mau dia katakan tadi, ya? Aku jadi penasaran. Tapi harus kucari dia di mana?”
“Emelie!”
“Iya, paman. Aku di sini.”
“Kau dari mana?”
“Hanya jalan-jalan melihat-lihat saja ke belakang.”
Gabriel mengangguk. “Jangan pergi tanpa memberitahuku. Nanti kau tersesat dan hilang seperti saat kecil.”
Emelie terkekeh. “Saat ini aku seorang hantu, Paman. Siapa yang mau menculikku?”
Gabriel ikut terkekeh sambil reflek hendak meraih kepala sang keponakan dan merangkulnya namun terhenti.
“Ah, maaf. Aku lupa.”
“Tidak apa. Pasti menyenangkan kalau kita bisa saling menyentuh. Aku bisa menggandeng paman dan bibi juga memeluk nenek.”
“Kau jangan bersedih. Kami akan selalu menerimamu apapun keadaanmun saat ini.”
“Terima kasih. Aku senang sekali hari ini. Sepertinya ini hari terbahagia yang pernah aku rasakan karena aku bisa bebas melakukan apapun yang kuinginkan.”
“Jika kau ingin pergi ke suatu tempat lagi, katakan saja. Paman dan bibi akan berusaha mengabulkannya.”
Emelie mengangguk dengan wajah yang terlihat begitu bahagia.
Tak lama Agatha dan Marcelina sang nenek datang. Mereka naik komedi putar sampai dua kali sebelum akhirnya memutuskan pulang.
Sementara itu, Emma yang merasa bosan di rumah jalan-jalan ke taman. Saat duduk dan menikmati suasana sekitar taman, ponselnya berbunyi. Nampak nama Lemar yang muncul di sana.
Mendesah berat dan panjang, Emma mematikan dering ponsel dan mengubahnya ke mode sunyi. Namun layar ponsel itu kembali menyala.
Emma terdiam sesaat sambil menatap ponselnya sebelum akhirnya menerima panggilan tersebut dengan terpaksa.
“Iya.”
“Kenapa kau duduk di taman sendirian? Ini sudah hampir sore.”
“Kau melihatku?” Emma celingukan dan mencari-cari keberadaan Lemar yang bersembunyi di balik pohon besar.
“Kau mencariku?”
Emma berdecak. “Kalau kau hanya ingin menggangguku, pergi saja. Aku hanya ingin–“
Tiba-tiba Lemar sudah ada di hadapannya saat ini, membuat Emma menjenggit kaget.
“Cepat sekali.”
“Aku merindukanmu.” Emma hanya diam. “Kenapa? Perasaanmu sedang buruk?”
“Ibu bilang akan pulang cepat dan memasak untukku. Tapi dia ingkar janji lagi.”
Lemar mengerutkan alis dengan ekspresi wajah yang heran.
“Sejak kapan kau suka dimasakkan ibumu? Bukankah biasanya kau yang memasak untuk mereka karena mereka sibuk?”
Emma tertegun, gugup mengulum bibirnya sambil berpikir mencari alasan yang tepat.
Sial! Dia tahu sekali kebiasaan Emelie.
“Ah, itu… aku hanya sedang malas. Dan akhir-akhir ini moodku sedang tidak baik karena bertengkar terus dengan ayah.”
“Soal kuliahmu?”
“Kau tahu?” Emma menatap Lemar kaget.
Pria itu mengangguk. “Mereka minta tolong padaku untuk membujukmu agar mau diantar supir dalam berkegiatan.”
“Mereka kerasa kepala sekali.”
“Dan kau juga.”
Emma hanya tersenyum kecut mendengar hal itu. Tanpa ia ketahui diam-diam Lemar memperhatikan wajah kekasih yang sikapnya banyak berubah setelah terbangun dari koma.
Emma yang merasa diperhatikan pun menoleh ke samping. Lemar bergegas mengubah ekspresi wajahnya dengan tersenyum lembut.
“Bagaimana kalau sekali-kali aku yang menjemput dan mengantarmu pulang?”
“Sama saja.”
Lemar yang gemas menarik pipi Emelie hingga membuatnya mengaduh kesakitan.
“Dengarkan aku dulu.”
“Apa yang harus kudengar? Sama saja bukan. Kau hanya menggantikan tugas supir.”
“Aku akan menjemputmu di hari libur perkualiahmu. Setelah itu kau bebas melakukan apapun dan aku akan mengantarmu lagi saat pulang ke rumah. Bagaimana?”
Emma langsung tertarik dengan tawaran kekasih saudarinya itu.
“Kau serius?”
“Apa aku terlihat membohongimu?” Emma menggeleng. “Tapi ada syaratnya.”
Wajah Emma berubah kesal dan hal itu membuat Lemar terkekeh gemas. Tak berbeda dengan kembarannya Emelie, ekspresi sebal mereka sama-sama mengemaskan. Dan hal itu membuat Lemar tak memikirkan lagi keanehan yang selalu ditunjukkan sang kekasih.
“Tidak mau? Ya sudah. Kau yang rugi sendiri.”
“Baiklah. Apa syaratnya.”
“Kau hanya harus memasakkan makan siang untukku. Aku rindu masakanmu, Emelie.”
Emma ingin mengutuk pria di hadapannya sekarang ini. Bagaimana bisa ia mengabulkan permintaannya tersebut.
Hah! Benar-benar menyusahkan.
“Baiklah. Tapi aku tidak bisa membuatkannya setiap hari. Kau kan tahu kuliah kedokteran itu sibuk.”
“Tidak masalah. Sebisamu saja.”
“Okay, deal!” Emma mengulur tangan dan mengajak Lemar bersalaman. Namun tiba-tiba saja Lemar menariknya ke dalam pelukan.
Sebuah kejutan seperti sengatan listrik menghantam tubuh Emma dan memaksa rohnya keluar begitu aja.
Tubuh Emma sendiri pingsan di dalam pelukan Lemar yang belum menyadarinya.
“Ahhhh!”
Emma terdorong jauh sekali dan berhenti di sebuah pohon lalu terduduk lemas. Benar-benar lemas hingga ia yang tak kuat memejamkan mata dalam keadaan setengah sadar.
Sementara itu, Lemar yang menyadari kekasihnya pingsan langsung membopong tubuh Emelie ke dalam mobil dan membawanya ke rumah sakit.
Di satu sisi, sosok lain yang muncul dan membantu Emelie sebelumnya berdiri di hadapan Emma dan menggendongnya.
Lamat-lamat, Emma yang belum sepenuhnya pingsan masih bisa melihat ada seseorang yang menggendong dan membawanya pergi. Namun belum sempat ia bertanya, sosok itu sudah meniup wajah Emma dan membuat sosok rohnya pingsan total.
Tak lama setelah itu, Emma terbangun dengan sebuah sinar yang menghalangi pandangannya.
Apa ini surga?
“Anda bisa mendengar saya nona Emelie?” tanya suara yang masih belum bisa Emma lihat sosoknya dengan jelas.
Emma memejamkan matanya kembali beberapa jenak sebelum membukanya kembali dan melihat di sekelilingnya ada beberapa orang yang tidak ia kenali.
“Aku di mana? Kalian siapa?”
“Kau di rumah sakit, Nona. Apa kau bisa melihat ini dan menyebutkannya?”
Dokter mengangkat tangan dan membuat gerakan angka dengan jemarinya yang kemudian diikuti Emma yang menyebutkannya.
“Pindahkan dia ke ruang perawatan. Jika hasilnya bagus–“
“Dokter, aku tidak ingin dirawat. Biarkan aku istirahat di sini saja.”
“Tapi Nona–“
“Apa pria yang membawku ada?”
“Panggil keluarga yang membawanya tadi,” ucap dokter.
Tak lama Lemar muncul dan langsung meraih jemari Emma yang lemas.
“Lemar, aku tidak mau dirawat. Ibu dan ayah belum tahu ‘kan?”
Lemar menggeleng. “Aku baru saja akan memberitahu mereka.”
“Jangan. Mereka bisa menggunakan hal ini untuk melarangku kuliah.”
“Baiklah. Aku tidak akan mengatakannya.”
“Tolong katakan juga pada dokter kalau begitu. Aku tidak ingin dirawat."
Lemar terpaksa mengabulkan hal tersebut karena Emelie saat hidup pun tak suka berada di rumah sakit.