“Kau tidak menemui saudarimu, Emelie?”
Emelie yang semula sedang sibuk mengendusi uap masakan bibi Agatha langsung menoleh pada sang nenek.
Di sebelah neneknya ada sang paman, Gabriel yang sedang minum kopi sambil membaca surel yang ia buka melalui laptop.
“Tidak. Aku tidak ingin mengganggu istirahatnya, Nek. Emma pasti masih syok. Meskipun dia pemberani, aku rasa semua orang akan merasakan takut yang sama jika di posisi Emma kemarin,” terangnya kemudian sibuk mengekori bibi Agatha yang sedang membuat sarapan.
“Emelie benar, Bu. Emma pasti masih lelah dan syok. Lagipula bibi tau kamu pasti pulang, karena itu bibi menunggumu hingga larut malam.”
“Dan paman akhirnya tidur sendirian sampai terlelap.” Dengusnya membuat Emelie dan Agatha terkekeh kompak
Sang nenek yang sedang mengupas apel di sebelah menantu yang diam-diam selalu mendengarkan percakapan pagi keluarganya hanya geleng kepala.
“Hari ini kita jadi pergi ‘kan, Sayang?”
“Iya. Ada tempat lain yang ingin dikunjungi?” Gabriel menoleh pada sang mertua yang kemudian menatap Agatha.
Mereka seolah memberi isyarat satu sama lain sebelum Gabriel berdeham.
“Emelie, bagaimana kalau kamu temani Paman. Bukankah kau selalu ingin ikut ke bengkel milik teman paman?”
“Yang sering Paman ceritakan itu?”
“Iya.”
“Aku mau! Tapi tunggu, Chloei ditinggal sendiri?”
Mereka tertawa. Tak biasanya Emelie mempedulikan musuh bebuyutan yang bahkan saat ini sedang mengawasinya di pojokkan.
“Kenapa Chloei haru dibawa?”
“Bukankah sudah waktunya dia divaksin?”
Agatha langsung menatap sang suami. Mereka lupa kalau kucing kesayangan Emma itu harus divaksin. Sudah telat beberapa hari dari jadwal semestinya.
“Untung kamu mengingatkan bibi. Terima kasih, ya, Emelie.”
Agatha tersenyum sementara Emelie hanya mengangguk lalu menoleh pada Chloei.
“Kau seharusnya berterima kasih padaku. Berkat ingatanku kematianmu jadi ditunda.”
“Roarrrrr! Ssssssshhhhh!”
Emelie malah terbahak. Jika dulu ia selalu merasa seram dan takut jika mendengar Chloei menggeram dan menghising, kali ini rasanya menyenangkan. Entah oleh sebab apa. Emelie sendiri tidak tahu. Apa mungkin karena semalam ia melihat hewan yang lebih mengerikan dari Chloei?
Ya, ingatan Emelie tentang hantu pria yang menolongnya membuat gadis itu tertegun.
“Baiklah. Kalau begitu biar aku dan Emelie saja yang ke dokter, Bu,” ucap Gabrile. “Sekalian aku juga ingin memeriksakan kesehatan Brodie. Usianya sudah tujuh tahun. Fungsi organ tubuhnya pasti sudah menurun.”
Brodie adalah anjing milik Gabriel yang sering ikut menggembala bersamanya jika pergi ke peternakan domba.
“Kau setuju ‘kan, Emelie?” Agatha bertanya pada gadis yang tampak sendiri dengan pikirannya tersebut.
“Emelie?” Gadis itu mengerjap ketika Agatha mengagetkannya. “Kau sedang melamun apa?”
“Ah, tidak ada. Aku…” gadis itu menatap keluarganya bergantian. “Aku hanya ingin pergi ke taman hiburan. Mumpung akhir pekan. Pasti ramai dan menyenangkan.”
Semua orang tahu, Emelie belum pernah berkunjung ke tempat itu. Tempat yang selalu ramai dan menurut kedua orangtua Emma dan Emelie dianggap sebagai tempat yang berbahaya.
Bukan tanpa sebab karena Emelie memang pernah bahkan beberapa kali hilang di keramaian saat sedang bersama kedua orangtua dan saudari kembarnya.
Satu kali gadis itu ditemukan pingsan dan hampir dibawa orang asing. Karena itu, kedua orangtua mereka seperti takut hal seperti itu terulang hingga menyebabkan keduanya sangat protektif dalam menjaga Emelie.
Ketiga orang yang sebetulnya sedang mempersiapkan kejutan itu pun akhirnya bicara karena melihat wajah Emelie yang sedih.
“Baiklah. Tadinya kami ingin memberi kejutan. Tapi sepertinya kami harus mengatakannya sekarang.”
Emelie mengangkat wajahnya yang semula tertunduk.
“Memangnya kalian mempersiapkan kejutan apa? Dan untuk siapa?”
“Untukmu,” jawab Agatha sambil tersenyum dan diangguki Gabriel ketika tatapannya bertemu dengan Emelie.
“Iya ‘kah, Nek?”
“Kita akan pergi ke taman hiburan seperti yang kamu inginkan.”
“Sungguh?"
"Tentu saja, Sayang."
"Chloei bagaimana?”
Mereka kembali tertawa meski yang mereka tertawakan justru wajah kesal Chloei yang namanya terus disebut dan entah sejak kapan sudah duduk di depan laptop Gabriel.
“Kau seperti hantu saja tiba-tiba muncul,” ejek Gabriel walau sambil mengelusnya.
“Kau tidak lebih baik dariku. Dasar kucing jelek!”
“Roaarrrrr!”
Chloei mengerang marah, mencakar-cakar Emelie yang ada di hadapannya namun tak berhasil karena sosok Emelie yang tak bisa disentuh.
Keempat orang itu menertawakan si kucing yang semakin marah karena diledek dan akhirnya pergi.
Pagi yang cukup menyenangkan bagi Emelie, meski sebaliknya bagi Emma saat ini.
“Apa?”
“Itu persayaratannya. Tidak mau, tidak usah kuliah,” tegas ayahnya tak ingin dibantah.
“Ayolah, Emma. Hanya seorang supir. Ibu hanya tidak ingin kamu kelelahan karena naik kendaraan umum.”
“Hal itu akan sangat boros sekali, Bu. Kendaraan pribadi dan baru itu pajaknya juga lebih mahal, bensinya, belum lagi harus menyewa supir dan perawatannya.”
Ayahnya tampak mengerutkan kening. Sesuatu yang janggal membuatnya terasa asing dengan putri yang seluruh hidupnya selalu ada di sisinya.
“Sejak kapan pemikiranmu berubah sedalam itu?”
Emma terdiam. “Aku sudah dewasa. Kapan ayah dan ibu akan memperlakukan aku selayaknya aku orang dewasa?”
“Usiamu belum dua puluh tahun. Kau masih harus dibimbing.”
“Kalau masih harus dibimbing kenapa kalian memaksaku bertunangan dengan Lemar?”
“Emelie!”
“Sudah. Sudah.” Sang ibu mencoba menengahi. Sejak bangun dari komanya, Emma memang selalu bersitegang dengan sang ayah yang keras.
“Emelie, ibu mohon. Kami sudah mengalah. Sekarang kami hanya minta kamu berkegiatan dengan menggunakan kendaraan pribadi dan seorang supir. Itu saja. Apa hal ini begitu memberatkanmu?”
Wajah sang ibu yang lembut, teduh dan suaranya yang menangkan membuat gejolak dalam diri Emma perlahan surut.
Membuang napas kasar, Emma akhirnya setuju meski wajahnya masih terus menunjukkan kekesalan hingga kedua orangtuanya pamit untuk pergi bekerja.
“Jangan ke mana-mana. Ibu akan pulang lebih cepat.”
Emma hanya mengangguk. Sang ibu lalu mencium keningnya sementara sang ayah yang tampak masih gengsi tak berbicara apapun dan lebih memilih menunggu di mobil.
“Kau harus lebih sabar pada Emelie kita, Sayang. Dia kehilangan saudarinya. Meski kecelakaan itu beda lokasi dengannya.”
Ayah Emelie hanya diam. Di dalam kepalanya banyak hal yang terasa janggal. Tentang kecelakaan dua anaknya di tempat yang berbeda namun di waktu yang sama.
***
“Akhirnyaaaaaaa… aku datang!” Emelie berseru senang begitu masuk taman hiburan yang selama ini selalu ia impi-impikan untuk dikunjungi.
Gabriel bahkan membelikan tiket juga untuk gadis itu sebagai kenang-kenangan mereka suatu saat nanti. Tidak peduli untuk siapa Gabriel membeli satu tiket lain yang semuanya diperiksakan ketika pria itu ditanya ke mana satu orang pemilik tiketnya lagi oleh petugas taman hiburan.
“Tidak ada. Aku membelikan itu untuk keponakanku yang belum sempat berkunjung ke sini.”
“Kenapa tidak kau ajak lain kali?”
Gabriel hanya tersenyum lalu melirik Emelie dari ekor matanya sambil berkata,
“Aku tidak yakin akan ada lain kali itu, Tuan. Jadi, aku ingin mengabulkan keinginannya selagi aku masih ada.”
Petugas pemeriksa tiket itu sepertinya paham makna di balik kata-kata Gabriel dan sorot matanya yang terlihat mendung.
“Silakan! Selamat bersenang-senang.”
“Terima kasih,” jawab Emelie bersama keluarganya juga.
“Aku akan duduk di sini saja. Kalian bersenang-senanglah. Ajak Emelie berkeliling.”
“Tapi aku ingin naik bersama nenek.”
“Nenek sudah terlalu tua untuk menaiki permainan seperti itu, Emelie.”
“Sekali saja, Nek.” Gadis itu memohon. “Kita naik komedi putar.”
“Iya. Tapi nanti saja. Aku akan menunggu kalian di sini.”
“Biar aku yang menemani Ibu.”
“Tidak perlu. Aku akan duduk di kafe saja dan menikmati kopi. Aku sudah membawa buku yang belum kuselesaikan membaca.”
Nenek Emelie–Carmelina–sebetulnya masih sangat sehat dan mampu. Namun mengimbangi Emelie tentu saja perempuan tua itu akan kewalahan.
Karenanya, sang nenek membiarkan cucu, anak serta menantunya menghabiskan waktu mereka tanpa terganggu dengan dirinya yang juga ingin bersantai.
Perempuan berusia hampir enam puluh delapan tahun itu memilih untuk menikmati suasana yang ramai dengan duduk di kafe di dalam area taman bermain sambil menikmati kopi dan buku bacaannya.
Sementara itu Agatha dan Gabriel sedikit kewalahan karena Emelie yang terbang dan melaju lebih cepat dari mereka.
Agatha dan sang suami serasa dibawa berlari marathon namun mereka malah tertawa senang.
Apa yang Emelie lakukan mengingatkan mereka pada kenangan bersama Emma. Gadis yang mereka ketahui mengalami kecelakaan saat mengikuti olahraga yang digemarinya, triathlon.
Semua orang hanya tahu Emma dan Emelie mengalami kecelakaan di waktu yang bersamaan namun di lokasi yang berbeda.
Mobil Emelie yang menghindari tabrakan dengan kendaraan lain harus masuk ke sungai dan tenggelam. Sementara Emma yang sedang berenang di laut diduga mengalami keram dan akhirnya tenggelam.
Tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya pada kedua gadis yang meyakini kematian mereka terjadi di waktu dan tempat yang sama.
“Emelie, ayo kita naik kincir ria.”
“Ayo paman!”
Agatha ikut mengangguk lalu menarik tangan sang suami agar lebih cepat mengantri untuk memasuki kabin penumpang yang akan membawa mereka berputar di atas benda raksasa berbentuk seperti roda tersebut.
Namun, begitu permainan di mulai, tiba-tiba saja kabin penumpang yang membawa Emelie dan pamannya terhenti di arah jarum jam sepuluh.
“Kenapa berhenti? Baru juga jalan,” keluh Emelie lalu tak lama Agatha menjerit ketika melihat seorang anak sedang bergelantung dari kabin yang tepat berada di arah jarum jam dua belas, tak jauh dari kabin yang mereka tumpangi.
“Apa yang mereka lakukan? Kenapa mereka bergelantungan seperti itu?”
“Bibi juga tidak tahu. Pintu itu harusnya terkunci aman.”
“Benar. Pintu itu terkunci dari luar. Semua pintu dikunci oleh petugas. Penumpang kincir ria ini tidak akan bisa turun jika petugas tidak membukakannya dari luar.”
“Mungkin rusak,” celetuk Emelie kemudian terbang dan menghampiri anak itu.
Anak laki-laki berusia dua belas tahun itu sedang bertahan dan terus berpegangan pada sang ibu yang ditahan ayahnya agar tidak ikut jatuh.
Petugas keamanan sudah memanggil tim pemadam kebakaran yang dikerahkan untuk membantu evakuasi dengan alat yang memadai secepatnya. Namun bergelantung terlalu lama membuat tangan satu keluarga itu sama-sama kebas.
“Ibu, aku takut.”
“Jangan lepaskan, Nak. Jangan lepaskan. Tolong! Tolong siapapun cepat tolong anakku,” teriaknya.
Sang ayah di belakang terus berusaha keras menahan agar istri dan anaknya tidak jatuh.
“Bertahanlah. Aku mohon bertahanlah. Sedikit lagi.”
Emelie yang kesal dan sudah mengambang di dekat kabin mereka berusaha memusatkan pikiran seolah-olah bisa mendapatkan kekuatan untuk dapat menyentuh dan menyelamatkan anak itu.
“Ah! Kenapa tidak bisa, sih?” omelnya ketika tak sedikitpun tangannya berhasil meraih bocah itu.
“Kenapa jadi hantu hanya bisa terbang seperti ini? Menyebalkan sekali,” tambahnya kesal.
“Dasar hantu tukang mengomel. Selain bodoh, kau juga gemar mengomel ternyata.”
Emelie mencari-cari sumber suara yang terdengar mendengung di telinganya.
“Kabin di bawahmu. Arah jarum jam enam?”
Emelie tak menemukan apapun selain atap kabin yang bergelantung di roda.
“Kau di mana? Bagiamana bisa kau melihat dan berbicara padaku seperti ini?” ucap Emelie biasa.
“Sudahlah. Nanti saja. Tidak ada waktu. Kamu harus menyelamatkan anak itu.”
“Kenapa tidak kau yang selamatkan saja?”
“Tidak bisa.”
“Kenapa?”
“Diamlah dan lakukan apa yang kuperintahkan.”
“Apa maksudmu.”
“Aku akan meminjamkan kekuatanku agar kau bisa mendorong anak itu kepada orangtuanya.”
Tiba-tiba saja kedua tangan Emelie berkilat-kilat mengeluarkan cahaya biru yang menjalar seperti listrik yang merambat.
Namun yang Emelie rasakan seperti desiran aliran darah yang entah kenapa membuatnya bisa bergerak lebih cepat dan membantu anak itu naik lagi ke dalam kabin kincir rianya.
Emelie juga mencoba mendorong pintu dan menguncinya. Hanya saja kunci kabin kincir ria itu memang rusak.
Gadis itupun terus menahan pintu agar tidak terbuka sampai akhirnya kabin yang mereka tumpangi berhenti di tempat naik dan turun.
Ketiga orang itu langsung dibawa paramedis untuk diperiksa. Dan kejadian tersebut menyebabkan permainan itu ditutup sampai investigasi selesai dilakukan.
“Padahal kuncinya yang rusak. Harusnya biarkan saja kabin itu yang tidak diisi.”
“Ini untuk menghindari kecelakaan serupa, Emelie. Bagaimana kalau kita naik kora-kora saja?” terang Agatha membujuk.
Namun, belum Emelie menjawab, tiba-tiba suara itu muncul lagi dan membuatnya menolehkan wajah ke sana kemari.
“Kau mencari apa, Emelie?” tanya Agatha heran.
“Bibi, bagaimana kalau ajak nenek naik komedi putar sekarang. Aku akan menunggu di sana,” unjuknya ke arah komedi putar di kejauhan.
“Kalau begitu kau tunggu di sini dengan pamanmu, ya?”
Emelie mengangguk. Gabriel sedang menelepon temannya sambil membelakangi Emelie. Tak menyadari gadis itu sudah pergi mengikuti pentunjuk suara yang sebelumnya membantu ia menyelamatkan anak yang tergelincir dari salah satu kabin kincir ria.
Emelie terbang ke arah belakang lalu menemukan seorang pria yang nampak menatapnya dengan tatapan tak asing.