Dua hari kemudian Clarisa sudah membaik. Dia kembali ceria dan terlihat bersemangat pergi ke kampus dengan menggunakan sepeda mereka.
“Ayo Nai! Kalau telat nanti boseh sepedanya kudu cepet.”
“Iya, sebentar.” Naina bergegas turun dan menghampiri. “Lupa, ya? Sepeda kita ‘kan road bike. Kecepatannya lebih tinggi dari sepeda biasa walaupun dikayuh santai.”
Clarisa terkekeh. “Ya tetep aja. Aku nggak sabar. Sepedaan di sini ‘kan beda sama sepedaan di Indonesia.”
Naina hanya tersenyum sambil menggeleng pelan karena rasa tak sabar sahabatnya itu. Keduanya lantas pamit pada Grelanda.
Mereka mengayuh sepeda dengan cukup santai. Namun jenis sepeda yang biasa digunakan untuk balapan itu tentu saja memiliki performa yang sangat baik sehingga meski dikayuh dengan santai, mereka tetap bisa sampai ke kampus dengan cepat.
Dan ketika mereka akhirnya tiba di gerbang kampus, Naina dan Clarisa berpapasan dengan mobil Emma yang dikendarai seorang supir.
“Mereka kuliah di sini juga ternyata,” gumamnya membuat sang supir menatap dari arah kaca spion tengah.
“Ya, Nona.”
“Tidak, Pak. Aku hanya melihat orang yang kukenal.”
Supir mengangguk lalu tak banyak bicara dan memarkirkan mobil di tempat yang Emma minta.
Emma memang tidak mengikuti perkenalan kampus untuk mahasiswa baru yang diadakan sebelumnya. Karena itu ia tak tahu kalau Naina dan Clarisa juga berkuliah di tempat yang sama dengannya.
“Bapak pulang saja. Nanti jemput saya lagi setelah jam lima.”
“Baik, Nona.”
Emma berjalan menyusuri trotoar kampus. Ini minggu ketiga ia menjalani perkuliahan yang membuatnya selalu bisa melupakan beban masalah yang menimpanya dan sang kembaran.
Tapi sudah tiga minggu ini juga dia tidak bertemu dengan kembarannya karena Emelie yang masih tidak mau dibujuk untuk pulang.
Memasuki kelasnya yang sudah mulai ramai, Emma memilih duduk menyendiri meski beberapa teman yang ia kenal menyapa.
Padahal Emma adalah gadis supel dan periang. Namun karena kini ia berada di tubuh Emelie, Emma harus menjaga sikap agar tidak ada yang curiga meski hal itu membuatnya jadi stres.
Tak lama setelah kedatangannya, dosen yang mengajar di jam mata kuliah pertama datang.
Emma memperhatikan materi yang dipresentasikan dosen dengan sungguh-sungguh hingga jam dan mata kuliah berganti dan gadis itu bisa beristirahat ke kantin.
Di sanalah, Emma bertemu kembali dengan Naina dan Clarisa yang masuk ke dalam kantin hampir bersamaan dengannya.
“Silakan duluan.”
“Kamu kuliah di sini juga?” tanya Naina ramah dan diangguki Emma dengan senyum kaku. “Jurusan apa?”
“Kedokteran.”
“Wow. Ke–“
“Nai, udah yuk! Laper, nih.”
Clarisa menarik tangan Naina seraya cepat-cepat menghindari Emma. Takut energi negatif yang dibawa Emma membuat Naina menjadi lemah.
Ya, salah satu alasan Clarisa memutuskan kuliah dan mengikuti Naina ke Jerman adalah untuk melindungi dan mengingatkannya.
Naina sudah diminta untuk menghindari hal-hal yang berhubungan dengan arwah atau makhluk sejenisnya karena energi yang mereka bawa membuat kondisi Naina sering memburuk sejak gadis itu memutuskan untuk menolong arwah-arwah yang meminta pertolongan padanya.
Nyatanya, baru tiba di Jerman mereka sudah bertemu dan hampir saja berhubungan terus menerus dengan Emma dan Emelie.
Karenanya, melihat kehadiran Emma di kampus yang sama dengan mereka membuat gadis itu kesal dan bersikap ketus.
Ia terang-terangan menolak berteman dengan Emma yang seharusnya sudah mati karena kini hidup di tubuh kembarannya yang gentayangan.
Naina sendiri tak bisa membantah. Ia sudah berjanji pada Clarisa terutama kedua orangtuanya mengingat pertengkaran mereka beberapa waktu lalu yang membuat Clarisa sempat mendiamkannya.
Naina tidak ingin menghancurkan persahabatannya. Mungkin sudah waktunya ia mengabaikan hal-hal seperti itu di dalam hidupnya meski hati kecilnya masih merasa tidak nyaman.
“Duduk di sana aja, yuk. Bagus pemandangannya bisa liat taman kampus,” ajak Clarisa diangguki Naina.
Tapi posisi Emma yang duduk searah berhadapan dengan Clarisa membuat ia bisa melihat dengan jelas posisi gadis itu di kejauhan.
Wajah Clarisa mengerut aneh dan tampak penasaran. Hal itu membuat Naina menoleh ke belakang dan menemukan keberadaan Emma yang sedang di temani Lemar.
“Cowoknya kali, ya?”
“Mungkin,” jawab Naina singkat lalu berhenti menyendok makanannya, membuat Clarisa kembali berkernyit menatap sahabatnya.
“Kenapa?”
“Nggak papa. Kasian aja kalau dia tau itu bukan pacar dia yang sebenarnya.”
“Bukan urusan kita, Nai. Biarin aja. Inget, ya, kalau kamu langgar aku bakal bilang sama Mommy sama Daddy. Biar kamu dinikahin aja sama–“
“Iya, iya, Clarisa sayang.”
Gadis itu berdecak. “Mesti diancam dulu. Tapi ngomong-ngomong, Aa Naga pernah ngehubungin kamu nggak?”
Dan ekspresi Naina kali ini berubah sendu karena Clarisa membahasa mantan kekasih yang juga anak dari sahabat kental mommynya tersebut.
“Nggak usah bahas dia lagi bisa, nggak?”
Clarisa nyengir. “Maaf. Kepo aja. Lagian kalian ‘kan masih saling–“
“Clarisa Diana Tanuwijaya.”
“Iya, iya, iya. Lengkap banget panggil nama belakangku. Kek lagi dipanggil antrian administrasi.”
“Ya udah makan.”
“Iya.”
Keduanya fokus namun baru dua suap sendok masuk ke dalam mulut mereka, tiba-tiba Clarisa melihat kedatangan Gatot.
“Woy! Gat–”
“Clarisa!”
Naina langsung menyumpal mulut sahabatnya itu dengan sendok yang berisi makannya lalu menoleh ke belakang, tampak Gatot sedang membawa nampan berisi makannya.
Naina tersenyum melambaikan tangan seraya memintanya duduk bersama mereka.
Gatot dengan wajah datarnya menghampiri lalu duduk di sebelah Clarisa.
“Ngapain lo di sini duduknya?”
“Kenapa?”
“Sana sebelah Naina!"
Gatot memilih abai dan ketika Clarisa hendak mengomel lagi, dengan kekuatan Gatot yang tak diduga Naina pria itu menjentikkan jari dan membuat suara Clarisa lenyap meski mulutnya tampak terus bicara dengan wajah kesal.
Clarisa tentu saja tidak menyadarinya dan Naina yang ingin bertanya langsung bungkam ketika Gatot memberi kode dengan lirikan matanya.
Hingga mereka selesai makan dan Gatot menjentikkan jarinya kembali, suara Clarisa bisa terdengar lagi.
“Nai, hari ini jadi ke toko buku?”
Naina mengangguk. “Kamu jadi ke toko sepatu?”
“Jadilah. Kan sepatu olahragaku ketinggalan.”
Gatot hanya mendengarkan hingga tatapannya yang tajam dan fokus ke satu arah membuat Naina dan Clarisa saling mengendikkan dagu memberi isyarat.
Naina menoleh ke belakang dan sepertinya Gatot sedang memerhatikan Emma juga Lemar yang kini meninggalkan kantin dengan berjalan berdua.
“Kenapa, Mas?”
Gatot mengerjap pelan. “Nggak ada.”
“Halah, bilang aja kepo ‘kan lo.”
Gatot tak membalas. “Oh, ya. Hari ini jadi melihat tempat latihan untuk Clarisa?”
“Jadi. Mas bawa sepeda?” Gatot mengangguk. “Okay. Habis ini kita cuma ada satu mata kuliah lagi kok.”
“Okay. Saya duluan.”
Naina mengangguk sementara Clarisa mendesis tak jelas.
“Kenapa, sih, kamu tuh kalau ketemu Mas Gatot masih aja ketus. Jangan dendaman gitu dong, Clarisa.”
“Emang nyebelin aja orangnya. Barusan juga dia pake kekuatannya ‘kan biar kalian nggak bisa denger suaraku?”
Naina melongo. “Kamu tahu?”
“Aku pernah liat waktu dia ngelakuin itu sama temennya.”
Naina meringis. “Ya udah. lain kali daripada berantem kamu diem aja. Habisnya sekali ketemu ada aja yang kamu omelin ke dia.”
“Ya emang dianya aja yang nyebelin.”
“Hati-hati loh. Sebel nanti jadi jatuh cinta.”
“Sama dia? Ih, amit-amit taik bagong.”
Naina tergelak. “Jangan sampai jilat ludah sendiri, ya.”
“Mending jomblo.”
Naina hanya tersenyum. Tentu saja ia sudah bisa menebak karena Naina bisa sedikit menerawang ke masa depan.
Mereka lantas melanjutkan kegiatan dengan masuk kelas hingga selesai dan menemui Gatot yang sudah menunggu mereka di parkiran sepeda.
Tak membuang waktu, ketiganya segera pergi meninggalkan kampus dengan mengayuh sepeda.
Sayangnya di tengah perjalanan, di sebuah jalan dan gang yang sedikit sepi mereka melintasi sekawanan orang yang terlihat sedang mabuk-mabukkan.
“Kok nggak ada petugas yang nangkep, sih?” dumal Clarisa.
“Ya siapa yang mau nangkep? Polisi hantu?” jawab Naina.
Clarisa melotot. “Hantu bisa mabok juga? Luar biasa.” Clarisa geleng-geleng kepala.
“Jalan terus. Jangan memperlihatkan kita bisa melihat mereka. Tabrak saja.” Gatot memperingatkan.
Ya, kumpulan hantu pemabuk itu duduk sambil minum-minum di tengah jalan yag akan mereka lewati.
Namun karena penampakan mereka seperti orang biasa dan salah satunya menghadang Clarisa, gadis itu reflek menarik rem dan berhenti tepat di depan hantu pemabuk yang kini menyeringai dengan darah yang berlumuran di giginya.
Mereka saling bertatapan dan Clarisa terlihat jelas mengernyit jijik.
Iyuh... Jorok!
Kau bilang apa?
Jorok!
Spontan Claris menampar bibirnya meski yang bersuara justru hatinya.
Sial.
Gatot dan Naina yang melihat hal itu langsung bersiap namun belum mereka melancarkan kekuatan berjaga-jaga, gerombolan hantu pemabuk itu tiba-tiba menghilang bersama kumpulan awan pekat hitam yang pernah mereka liat.
“Kalian pergi duluan dan tunggu di kafe kemarin! Jangan ikuti saya.”
Naina dan Clarisa saling tatap. Bagaimana mungkin mereka membiarkan Gatot pergi makhluk sendirian.
“Clarisa, kamu aja yang pergi. aku harus bantu Mas Gatot.”
“Nggak! Aku ikut!”
“Clarisa!”
Namun gadis itu memilih abai dan mengayuh sepedanya sesegera mungkin agar bisa menyusul Gatot. Naina berdecak lalu segera mengayuh sepedanya juga, menyusul Clarisa.