9. Menanyakan Alasan

1023 Kata
Butuh sekitar satu jam lamanya bagi Bastian untuk meredam emosinya. Setelan jas yang dia pakai sudah dia ganti dengan setelan kemeja seadanya yang Indra belikan di toko baju terdekat. Pun dengan sepatu kulitnya yang tadi basah, kini sudah berganti dengan sepatu milik Indra. Sementara Indra sendiri memakai sandal yang dia pinjam dari salah satu OB. Bastian menghela napas singkat. Kemudian menggerutu pelan. “Aku nggak tahu lagi bagaimana mungkin Pak Budi bisa mempekerjakan seorang yang tidak profesional sama sekali. Atau mungkin kesalahan ini terletak di bagian HRD? Sepertinya aku harus memanggil Pak Bambang juga.” “Percuma saja,” jawab Indra. “Karena ini bukan kesalahan mereka.” “Maksudmu?” Indra menghela napas, dia melepas kaca mata baca yang selalu dia pakai hanya ketika dia pergi bekerja. “Sepertinya kamu tahu alasan mereka sampai seperti itu.” Bastian tidak tahu. Sungguh. Yang dia tahu hanya kebanyakan karyawan perusahaan menghindarinya. Padahal seingatnya, dia bukanlah seorang bos yang kejam. “Kalau aku tahu aku tidak akan bertanya. Mungkin memang ini kesalahan Pak Budi atau Pak Bambang yang mempekerjakan seseorang tanpa melihat latar belakangnya terlebih dahulu.” “Bahkan jika memang ini kesalahan Pak Budi atau Pak Bambang, dan walaupun kamu mengganti mereka berdua dengan orang lain, aku rasa kesalahan ini akan sering terjadi.” Dahi Bastian mengernyit dalam, menatap Indra lamat-lamat. Lebih ke penuh tanya. “Serius kamu tidak tahu?” tanya Indra. Bastian menggelengkan kepala. “Dan aku rasa kamu perlu memberitahuku kenapa sebelum aku nampak bodoh di depan Pak Budi nanti. Apa aku memang pernah membuat kesalahan yang tidak aku sadari?” Menghela napas sekali lagi, Indra menepuk bahu Bastian. “Aku pikir menjadi CEO bertahun-tahun bisa membuatmu lebih peka. Ternyata kamu masih sama saja.” “Bilang saja aku bodoh,” decak Bastian. Indra mendengus. “Bukan bodoh. Buktinya kamu bisa menyelamatkan perusahaan ini dari kebangkrutan beberapa tahun yang lalu. Kamu hanya tidak terlalu peduli pada sekitar.” “Dan apa hubungannya dengan pekerjaan para karyawan saya?” “Mereka takut sama kamu.” “Takut sama aku? Kenapa?” “Karena orientasi s*****l kamu,” tandas Indra, membuat Bastian langsung kicep. “Karena kamu gay jadi semua karyawan khususnya karyawan yang berjenis kelamin laki-laki takut sama kamu,” lanjut Indra menjelaskan lebih gamblang. “Itulah sebabnya pekerjaan mereka banyak yang kacau.” “Kenapa aku merasa kamu malah membela mereka? Padahal jelas-jelas mereka salah?” “Aku tidak membela mereka, juga tidak menyalahkan, ehem, orientasi kamu. Yang jelas kalau pun keputusan kamu nanti adalah memecat Pak Budi atau OB yang baru saja membuat kesalahan dan mempekerjakan karyawan baru, kejadian ini akan selalu terulang.” Melipat kedua tangan di depan d**a, Bastian menatap Indra sangsi. “Bagaimana kamu bisa yakin dengan hal itu?” Membuat Indra sedikit menyunggingkan senyum miring. “Coba saja buktikan.” Kedua iris mata Bastian menyipit curiga. Namun itu tak berlangsung lama sebab sekarang dia harus menemui Pak Budi yang saat ini pasti sudah menunggu di ruangannya. “Baiklah, mari kita buktikan kalau ucapanmu tidak benar!” tantang Bastian sebelum pergi dari sana. Indra hanya menghela napas panjang. Tau dia akan menang telak. Padahal jika Bastian mau memperhatikan detail-detail kecil, dimulai dari kenapa para karyawan perusahaannya sering memilih menghindar dari pada harus bertemu dan bertegur sapa dengannya saja sudah akan ketahuan. Lantas para OB yang selalu membersihkan ruang kerjanya dengan cepat sebelum Bastian datang bahkan membuatkan kopi sebelum sang empunya tiba di tempat saja sudah menjadi satu poin mencurigakan lainnya. Sayang, Bastian lebih sering tidak memperhatikan hal-hal kecil tersebut. Pria itu mengira semuanya berjalan sebagai mana mestinya. “Tch, iya, iya. Sana buktikan dan lihat saja sendiri kalau aku tidak salah,” ucap Indra pada angin lalu, sebab Bastian baru saja keluar dari ruang kerjanya. *** Bastian masuk kembali ke dalam ruang kerjanya yang sudah bersih. Kali ini benar-benar bersih lantainya. Tidak basah seperti tadi. Tiga orang Office Boy yang ditunjuk Pak Budi untuk membersihkan ruangan Bastian bersamanya langsung pamit begitu melihat Bastian masuk. Dengan terburu-buru, membawa semua alat kebersihan bersama mereka. “Tunggu!” cegah Bastian pada mereka. “Kalian bertiga jangan ke mana-mana dulu.” Ketiganya saling bertatapan satu sama lain kemudian mengangguk cepat. “Baik, Pak,” jawab mereka serempak. Setelahnya, Bastian menuju meja kerja. Ia memberi isyarat pada Pak Budi agar duduk di seberangnya. Kini sudah waktunya untuk membicarakan hal yang serius. “Pak Budi,” Bastian pun memulai pembicaraan. “I-iya, Pak,” jawab Pak Budi terbata. Dari ekspresi wajah saja siapapun bisa tahu kalau pria paruh baya itu terlihat pucat. “Kamu baik-baik saja?” tanya Bastian memastikan. Dia tidak ingin menjadi bos jahat yang menginterogasi karyawannnya sementara sang karyawan sedang dalam keadaan sakit. Bisa-bisa dia dituntut nanti ke pengadilan atas dasar perlindungan hak pekerja. “Iya, Pak,” angguk Pak Budi. “Yakin?” Sekali lagi Pak Budi mengangguk. Meski anggukannya terlihat patah-patah. “Jadi jelaskan, kenapa kemarin kamu menyuruh seorang Office Girl untuk membersihkan ruang kerja saya kemarin? Saya ingin mendengarkan penjelasan yang masuk akal dari kamu, jadi jawab sejujur-jujurnya,” ucap Bastian langsung pada inti. Pak Budi meneguk saliva kasar. Haruskah dia mengatakan yang benar-benar jujur atau dia perlu memoles sedikit kebohongan? Sebab dia tidak ingin mengambil risiko dipecat langsung. Masih ada istri dan tiga anaknya yang butuh dinafkahi. “I-itu ... se-sebenarnya a-anu ... “ “Jawab yang serius, Pak! Atau kamu saya pecat!” ancam Bastian. “Ampun Pak! Jangan pecat saya! Saya masih punya keluarga yang butuh makan. Kalau Pak Bastian pecat saya, nanti keluarga saya bisa mati.” Mendadak cara bicara Pak Budi selancar jalanan di jalan tol. Mulus. “Kalau begitu jawab pertanyaan saya.” “Tapi Pak Bastian janji dulu jangan pecat saya,” tukas Pak Budi. “Pliisssss.” “Saya berjanji selama jawaban yang kamu berikan masuk akal dan tidak mengada-ada.” Pak Budi mengangguk. “Saya bersumpah akan berkata dengan jujur.” “Ya sudah, katakan sekarang alasannya.” Butuh beberapa detik bagi Pak Budi untuk diam. Dia bingung harus memulai dari mana. Namun jika dia tidak menyampaikan yang sebenarnya sekarang, Bastian akan marah dan mungkin akan langsung memecatnya dengan alasan tidak kompeten. Pak Budi tidak ingin itu terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN