“Bukankah saya sudah pernah mengatakan kalau ruang kerja saya dan seluruh lantai di sini hanya boleh dibersihkan oleh Office Boy?”
Satu kalimat tanya dari Bastian membuat kepala seluruh pria yang ada di sana tertunduk takut. Tak ada yang berani berbicara sepatah kata pun, bahkan menghirup udara saja rasanya sulit.
Tadi, Pak Budi memang ke sana sendirian. Akan tetapi, baru saja masuk ke ruang kerja Bastian, pria itu malah jatuh pingsan. Sekarang dia berada di atas sofa, masih tidak sadarkan diri. Oleh karena itulah sekarang CEO perusahaan WINA tersebut memanggil seluruh Office Boy yang ada.
“Kenapa tidak ada yang berbicara?!” sentak Bastian yang membuat seluruh orang di dalam sana berjengit kaget.
Bastian mengernyitkan dahi, heran dengan refleks para OB yang berjumlah sekitar dua puluh orang tersebut.
“Sudahlah,” kata Bastian menghela napas sabar. Dia menoleh ke arah Pak Budi yang kebetulan sudah mulai sadar.
“Kemarin, siapa yang membersihkan ruangan saya?”
Para OB saling bertatapan satu sama lain. Saling melempar tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan Bastian.
“Kamu!” Bastian tiba-tiba menunjuk Putra, membuat jantung pria itu mencelos kaget. “Kemarin kamu kan yang membersihkan ruang kerja saya?”
Putra langsung menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Bukan saya,” cicitnya.
“Lalu?”
“C-C-Chelsea,” jawab Putra lirih.
Kesal, Bastian mengendurkan dasi yang tiba-tiba terasa mencekik leher. Matanya tetap awas mengawasi seluruh OB yang berdiri dengan rapi di depan meja kerjanya. Bastian kesal sebab mereka mengabaikan perintah jelas darinya.
“Chelsea ya? Sudah sejak kapan gadis Office Girl itu membersihkan ruangan saya?”
“B-b-baru kemarin, Pak.” Masih Putra yang menjawab.
Sebelah alis Bastian terangkat naik. Dia mengingat kembali bahwa sekitar dua hari yang lalu dia memang masih mendapati seorang OB yang membersihkan ruang kerjanya.
“Lalu, kenapa kalian mengijinkan perempuan itu membersihkan ruangan saya? Apa kalian kekurangan tenaga kerja?”
Tidak ada jawaban sama sekali. Para OB itu serempak bungkam dan hanya tertunduk. Membuat Bastian agak gusar.
“Pak Bastian. Maaf.” Suara Pak Budi pun terdengar. Pria itu berusaha berdiri namun Bastian mencegahnya.
“Sudah, Pak Budi istirahat saja. Saya tidak ingin Anda pingsan lagi.”
“Tidak, ini tanggung jawab saya,” balas Pak Budi. Dia berjalan dan ikut berdiri menunduk dengan bawahannya yang lain.
“Ini salah saya, Pak. Saya yang mengijinkan Chelsea membersihkan ruang kerja Bapak.”
“Kenapa? Bukankah perintah saya sudah jelas? Saya pikir Anda profesional dan bisa bekerja dengan baik karena Anda diterima di perusahaan ini.”
Pak Budi terus menunduk menyesal. Bibirnya terkunci rapat untuk menyampaikan kebenaran bahwa para OB di sana sebenarnya menolak untuk membersihkan ruangan Bastian seorang diri dengan alasan takut dia notice.
“Kamu!” Tiba-tiba Bastian menunjuk seorang pria secara random.
“Sa-saya Pak?”
“Iya kamu,” kata Bastian. “Bersihkan ruangan saya. Kalian semua boleh pergi dari sini. Dan Pak Budi, jangan ulangi kesalahan yang sama. Tidak boleh ada Office Girl yang membersihkan lantai ini. Mengerti?”
“Iya, Pak.”
Semua OB pun pamit pergi. Mereka menghela napas lega dan berlomba-lomba mencapai pintu keluar lebih dulu. Pemandangan yang sekali lagi membuat Bastian mengernyit heran.
Apa ruangannya bau sehingga mereka semua tidak betah berada di sana?
Sementara itu, pria yang tadi ditunjuk Bastian masih diam mematung di tempat. Ingin sekali bergerak namun tubuhnya tidak bisa diajak kerja sama. Dia masih terlalu shock karena Bastian baru saja menunjuknya.
“Kamu! Kenapa masih di sini? Segera kerjakan tugas kamu!” ucap Bastian kemudian.
Randi—nama pria itu—meneguk saliva kasar. Lututnya sedikit gemetar karena matanya bertabrakan dengan Bastian.
Mampus! Batinnya dalam hati.
“Kenapa? Ada masalah?”
Randi menggelengkan kepala kuat-kuat. Lantas berjalan mundur dan langsung lari seribu langkah.
“Pak Budiiii!” teriaknya di koridor. Menyibak kerumunan para OB yang hendak menuju lift dan sebagian lagi menuju tangga darurat.
“Pak Budi, tolooong!” ucap Randi dengan wajah memelas.
Pak Budi hanya mampu menghela napas, kemudian menepuk punggung Randi sambil berkata, “Kuatkan hati kamu. Kamu pasti bisa membersihkan ruang kerja Pak Bastian hari ini. Semangat!!”
“Semangat!!” seru teman-teman OB nya yang lain.
Dan sebelum Randi meminta tolong atau berakting demi menghindari tugas langsung dari Bastian, mereka semua langsung ngacir dari sana. Meninggalkan Randi yang tubuhnya kini sudah merosot ke lantai.
Lemas.
***
Setelah sempat sarapan di luar, sekarang Bastian kembali lagi ke kantor. Emosinya sudah reda karena kejadian tadi pagi, di mana dia mendapati seorang perempuan membersihkan ruang kerjanya.
“Selamat pagi, Pak.”
“Selamat pagi!”
Adalah sapaan yang keluar rata-rata dari para karyawan perempuan di kantor. Bastian tidak pernah menyapa balik mereka, hanya menganggukkan kepala singkat atau hanya melirik sekilas saja.
“Indra!” panggil Bastian melihat sekretaris pribadinya tengah masuk ke dalam lift.
Indra menoleh lantas tersenyum, menahan pintu lift untuk membiarkan CEO-nya ikut masuk.
“Aku kira aku datang kesiangan tapi ini masih pukul sembilan pagi. Tumben sudah sampai di kantor?” tanyanya.
“Iya, sebenarnya sudah dari jam setengah sembilan. Tapi karena aku lapar, aku turun lagi ke bawah dan makan bubur ayam dekat perempatan. Kamu tahu, ternyata bubur ayam di sana lumayan lezat.”
“Bukannya aku sudah pernah bilang? Tapi kamu nggak percaya dan malah selalu minta aku belikan sandwich?”
Sebelah alis Bastian naik ke atas. “Benarkah? Kapan kamu bilang?”
Indra menghela napas saja, lalu menggelengkan kepala. “Lupakan,” ucapnya. “Biar kutebak. Rafael datang dan menjajah apartemenmu lagi?”
“Yap!” jawab Bastian sambil mengindikkan bahu. “Kayaknya aku perlu menjual apartemen itu dan membeli satu unit baru lagi.”
Keduanya berbasa-basi sampai mereka akhirnya berada di lantai tiga puluh. Pintu lift terbuka. Indra mempersilakan CEO-nya keluar lebih dahulu, kemudian dia berjalan di belakangnya.
“Oh iya, Indra.” Bastian tiba-tiba menghentikan langkah, berbalik ke arah Indra.
“Ya?”
“Apa kamu tahu jika kemarin ada perempuan di lantai ini? Maksudku, yang membersihkan ruanganku adalah seorang office girl?”
“Oh, itu—“
“Jadi kamu tahu?”
“Kenapa? Apa ada sesuatu yang hilang dari ruang kerjamu?”
“Tidak,” jawab Bastian sambil menggelengkan kepala. “Hanya saja—“
“Aku tahu,” sela Indra cepat. Dia tidak ingin untuk ke seribu kalinya Bastian berkata bahwa dia benci jika ada perempuan di lantai ruang kerjanya. “Tapi apa Pak Budi sudah mengatakan alasan kenapa kemarin dia menyuruh Office Girl yang membersihkan ruangan kamu?”
Bastian hampir saja bertanya kenapa, akan tetapi ponselnya sudah berdering. Dia merogoh saku dan mendapati salah satu investornya tengah menelpon.
“Kita bicara lagi nanti di ruangan saya, Indra. Oh, jangan lupa bawakan jadwal hari ini juga catatan hasil meeting kemarin.”
“Baik.”
Setelah itu Bastian segera bergegas masuk ke dalam ruang kerjanya.
***
Randi membersihkan ruang kerja Bastian serba terburu-buru. Dia sudah lega ketika tadi mengetahui Bastian pergi untuk mencari sarapan di luar. Makanya, sebelum atasannya itu kembali dia harus cepat-cepat membersihkan ruangan tersebut sebelum CEO-nya kembali datang. Sungguh, Randi tidak ingin dia menjadi The Next Aryo yang sampai sekarang masih ijin tidak masuk kerja karena sawan.
“Selesai!” seru Randi, lega karena baru saja menyelesaikan pekerjaannya—mengepel lantai. Itu berarti dia berhasil menghindari bertemu Bastian. Sekarang dia hanya tinggal membuat kopi hitam sesuai permintaan CEO-nya tadi.
Nahas, itu semua hanya pemikiran Randi belaka. Sebab tepat ketika dia berbalik akan keluar, pintu ruangan telah dibuka dari luar, memunculkan sosok Bastian dari sana.
Tubuh Randi pun mematung. Dengan lap pel di tangan kanan dan ember air di tangan kiri.
“Iya. Iya, Pak. Saya sudah meninjaunya ulang dan produk mobil kali ini mempunyai keunggulan yang luar biasa. Saya yakin para konsumen akan menyukainya nanti setelah di-launching. Ya, ya benar. Tidak, saya sudah mengeceknya sendiri. Bla ... bla ... bla ... “
Bastian terus berbicara di ponsel. Sempat menangkap keberadaan Randi namun dia acuh dan melangkah melewatinya.
Sayangnya, hal itu malah berakibat buruk.
Sepatu kulit Bastian yang mendarat di lantai basah tersebut, membuat pria itu tergelincir bebas dan jatuh tepat di atas lantai.
Gedebrak!
“Awh, f**k!” umpat Bastian. “Apa. Yang. Kamu. Lakukan?” desisnya menatap Randi tajam. Dia baru menyadari jika lantai ruang kerjanya sangat, sangat basah.
Susah payah, Bastian mencoba berdiri. Dia berbicara sejenak di telepon sebelum menutupnya.
“Jelaskan, kenapa lantai ruangan saya jadi basah seperti ini?” tukas Bastian kemudian.
“I-i-itu... sa-saya kan baru saja ngepel, Pak,” jawab Randi terbata.
“Dan ini cara kamu mengepel lantai? Ini bukan mengepel, tapi meratakan air di atas lantai!”
Randi meneguk saliva kasar. Memang, saking buru-burunya, dia jadi tidak memeras kain pel dengan benar.
“M-m-maaf, Pak!” cicit Randi takut-takut.
Bastian menghela napas sabar. Andai saja dia bukanlah CEO yang bijaksana, sudah pasti dia memecat Randi sekarang juga.
“Sudahlah. Pergi!” usir Bastian dengan mengibaskan tangannya ke udara.
Randi mengangguk, kemudian langsung berbalik pergi. Akan tetapi lututnya yang lemas karena diajak berbicara dengan Bastian tadi menyebabkan dia jatuh. Ember bekas pel berisi air pun tumpah ke lantai.
BYUR!
Rahang Bastian mengetat, lalu dengan sekali teriakan keras, sekali lagi dia mengusir Randi pergi.
“KELUAR DAN PANGGILKAN PAK BUDI SEKARANG JUGA!”