25. Sebatas cangkang kosong

1010 Kata
Sepeninggalan Gladys dari ruang pribadi Direktur, ia sebenarnya ingin lari sejauh-jauhnya. Namun langkah kakinya tertahan begitu mendengar pembicaraan Raziel dengan Aletta. Gladys memilih berdiri di balik pintu untuk sekedar mendengarkan apapun yang mereka bicarakan. Tangan kanan Gladys mengepal dan di taruh di depan dad4 untuk menguatkan hatinya saat mendengar percakapan mereka. Awalnya saat mendengar bahwa Aletta tidak berniat mempermainkannya, sejenak Gladys merasa lega. Apalagi saat tahu Raziel mengkhawatirkannya, hati Gladys entah mengapa terasa tenang, bibirnya saja sampai tersenyum tanpa alasan. Namun beberapa saat kemudian, Aletta justru menghempaskannya dengan kata-katanya. “Apa maksud perkataan wanita itu? Apakah ada alasan khusus Raziel mendekatiku hingga membuat perasaan ku tidak jelas begini?”  Sakit! Itulah yang Gladys rasakan saat ini. Ia juga merasa heran, “Untuk apa Raziel membuat alasan mengurung ku disisi nya hanya karena masalah aku tidak ingin dipecat. Rupanya ini yang membuatnya memaksaku untuk bekerja disisinya. Dia ingin memanfaatku untuk tujuan tertentu.”  Kedua sudut mata Gladys mulai basah. Ia dengan kasar mengusapnya dan menahan isak tangisnya. Ia tak bisa cengeng meski dirinya sendiri tidak tahu mengapa semudah itu memiliki rasa aneh itu pada Raziel. Selama beberapa waktu Gladys terus memperhatikan percakapan mereka tanpa melewatkan sedikitpun. Kesimpulan yang diambilnya dari percakapan mereka adalah, dia hanya dimanfaatkan oleh Raziel dan ini masih ada hubungannya dengan ‘wanita itu’ yang pakaiannya sempat dipakai olehnya. “Jadi benar, aku hanya pengganti dan kemungkinan semua rasa aneh ini ada hubungannya dengan ‘wanita itu’. Tapi sebenarnya apa tujuan Raziel dengan menggunakan ku dan apa hubungannya dengan ‘wanita itu’?”  Saat Gladys memikirkan itu semua, ia menyadari bahwa Aletta akan keluar dari ruangan itu. Ia kaget dan berjalan dengan terburu-buru meninggalkan depan ruang Direktur agar tidak ketahuan Aletta menuju lift untuk kembali ke lantai 20. Setelah masuk ke dalam lift, ia menyandarkan punggungnya dengan napas terengah-engah hingga dadanya naik turun mengikuti ritme hembusan napasnya. Ia memejamkan mata untuk meresapi semuanya yang telah terjadi beberapa saat yang lalu. “Jadi … aku hanya dimanfaatkan dan perasaan aneh ini memang benar bukan milikku. Sebenarnya, dari kapan aku merasakan perasaan aneh dan menyakitkan ini? Bahkan ini tidak menggeser perasaanku pada Steven. Wanita itu … sebenarnya siapa dia?”  Gladys terdiam sesaat. Ia memikirkan langkah apa yang harus diambil kedepannya, karena tidak mungkin baginya tiba-tiba menjauh dari Raziel tanpa alasan. ‘Sepertinya aku harus menemui Aletta dan mengkonfirmasi siapa ‘wanita itu’ yang di maksud.” Gladys menghembuskan napas beberapa kali. Setelah lift sampai di lantai 20, dengan perasaan yang campur aduk ia keluar dari dalam lift namun tidak langsung ke meja kerjanya melainkan menuju toilet wanita terdekat. Sampai di depan toilet wanita, Gladys langsung masuk dan menutup pintunya rapat-rapat. Di depan wastafel dengan cermin besar di atasnya, Gladys memutar keran dan membasuh wajahnya beberapa kali. Ia menumpukan kedua tangannya di atas wastafel dan memandang pantulan wajahnya di depan cermin. Bibirnya menyunggingkan senyum kepedihan, “Ini benar wajahku. Tapi apa benar hati dan perasaan ini milikku. Katakan! Apa yang harus aku lakukan!” Kedua matanya menatap tajam pada cermin di depannya. Ia seakan sedang meminta jawaban pada dirinya yang lain atas ketidakpastian dari hatinya. Ini memang hatinya, tapi tidak sepenuhnya miliknya. Ya! Meski Gladys tidak bisa membuktikannya, tapi ia merasakannya. Hatinya di saat bersamaan bisa berdebar untuk dua orang pria yang berbeda, seolah ada jiwa lain yang hidup berdampingan dengannya dan sama-sama berdebar namun pada dua orang berbeda. Tidak ada jawaban dari hatinya dan hanya melihat pantulan wajah kepedihan di depannya, Gladys memilih mengambil tisu yang disediakan dan mengeringkan wajahnya yang basah. Ia tidak bisa berlama-lama di toilet karena masih banyak pekerjaan yang harus dikerjakan. Setelah menghilangkan jejak-jejak kesedihan di wajahnya, Gladys mencoba menyunggingkan senyum, kini dengan lebih natural. Ia menepuk kedua pipinya untuk menyadarkan dirinya. “Baiklah, saatnya kembali bekerja. Semangat!”  Ia pun keluar dari toilet. Namun, baru saja kakinya melangkah, Gladys sudah dipertemukan kembali dengan Aletta. ‘Tidak! Mengapa harus sekarang?’  “Permisi, Nona Aletta,” Gladys menundukkan kepala dan melewatinya, untuk sementara belum bisa berbicara dengan Aletta pun memilih menghindar. Melihat Gladys hendak pergi, Aletta tidak membiarkannya begitu saja. Dia langsung mencekal lengan kiri Gladys, “Tunggu! Ada yang ingin aku katakan padamu!” Langkah Gladys pun terhenti, ia menoleh dan bertanya, “Ada apa Nona Aletta menghentikan saya? Saya sudah selesai menggunakan toilet. Jika ada yang ingin dikatakan, silahkan katakan sekarang, karena masih banyak pekerjaan yang menunggu saya,” Tanpa basa-basi ALetta menjawab langsung pada intinya, “Jauhi Raziel! Jika perlu, kamu menghilang dari kehidupannya. Itu yang terbaik untuk—” Geram dengan perkataan Aletta yang tak memikirkan perasaannya, Gladys pun langsung memotongnya, “... menjauh? Anda meminta saya untuk menjauhi Tuan Raziel?” Ia pun tersenyum remeh. Dengan kasar Gladys melepas cekalan di tangannya. “Seharusnya anda mengatakan itu pada teman anda, Pak Direktur Raziel! Katakan padanya untuk berhenti menggunakan alasan konyol untuk mengikat saya. Asal anda tahu, beliau lah yang lebih dulu mendekati saya dengan alasan konyol, sampai saya mau tak mau terjebak di dalamnya.” “Aku tahu Raziel pasti yang lebih dulu mendekatimu. Tapi Dys, kamu harus menjauhinya. Jangan sampai kamu jatuh cinta padanya. Karena—” Aletta berbicara dengan penuh harap, kedua sorot matanya tampak menyendu, tapi sepertinya Gladys tidak menanggapi itu. “... pada akhirnya aku akan tetap menjadi cangkang kosong. Itu kan yang ingin anda katakan! Meski saya tidak tahu apa arti dari perkataan kalian satu ini, tapi anda perlu tahu, saya sama sekali tidak menaruh perasaan pada Tuan Raziel, saya pun masih memiliki kekasih. Catat itu baik-baik, Nona Aletta! Kalau begitu, saya permisi.”  Gladys tidak ingin berlama-lama berbicara dengan Aletta dan sebelum perasaan aneh itu semakin besar menguasai perasaannya, ia memilih menyudahinya dan pergi dari sana.  ‘Apakah pada akhirnya hanya aku yang merasakan rasa sakit ini? Apa seorang Gladys hanya dijadikan tumbal dari permainan cinta ini? Lalu, apa yang harus kulakukan? Sudah tidak ada lagi tempat untukku bersandar. Orang tua, Steven, Bianca, bahkan Direktur s!alan itu juga hanya mempermainkan ku. Bukankah sudah tak ada lagi yang tersisa untukku sekarang? Apakah kematian memang yang terbaik untukku. Mungkin dengan itu semua beban itu hilang dan sirna.’
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN