"Sore nanti kamu sudah mulai bekerja di Mansionku. Seseorang akan menjemputmu setelah jam kantor selesai. Kamu boleh keluar sekarang ". Raziel mempersilahkan Gladys untuk keluar.
"Terima kasih Pak, saya permisi..". Gladys berbalik badan dan keluar ruangan dengan perasaan geram. Setelah Gladys keluar Raziel memanggil Allard yang sedang menunggu di depan pintu.
"Allard!!". Panggil Raziel.
Dari luar, Allard masuk dan berdiri didepan meja menunggu perintah. "Ada apa Tuan memanggil saya? ".
"Allard, perintahkan orang untuk menjemput Gladys setelah jam kantor selesai dan antar dia ke Mansionku. Cepat atau lambat, aku pasti dapat menaklukkannya. Aku ingin lihat, seberapa keras kepalanya dia bisa menghindar dariku".
"Baik Tuan, sesuai perintah anda. Tapi saya masih berharap Tuan suatu hari nanti mampu merelakan kematian adik saya dan melanjutkan hidup". Perkataan Allard terdengar tulus dan murni, dia yang menemani Raziel selama ini mengerti beban hati yang selalu Raziel pikul. Tidak ada hal yang lebih melelahkan dan menyakitkan selain memikul dendam kematian orang yang dicintai.
"Allard, kau tidak akan mengerti bagaimana remuk redamnya hatiku saat melihat orang yang aku cintai tiada didepan mata tanpa bisa berbuat apa-apa. Menduduki Tahta dan ritual bulan purnama darah hanya salah satu dari rencana untuk menyambut kedatangan Roshalia".
"Itu adalah pilihan Tuan, saya hanya menyampaikan pendapat saya. Saya permisi". Allard keluar meninggalkan ruang Direktur.
***
-Ruang Bagian Desain
Sekembalinya dari ruang Direktur Gladys tampak jengkel dan kesal. Dia merasa di permainkan oleh pria sombong angkuh seperti Raziel.
"Dys, Apa yang di katakan Pak Direktur padamu, Apakah kau benar-benar di pecat?". Tanya Bianca
"Aku tidak tahu Direktur kita itu sangat menyebalkan dan aneh. Coba kau fikirkan, Aku tidak di pecat asalkan aku mau menjadi pelayan di rumahnya. Bukankah dia sengaja melakukan itu untuk balas dendam!". Gladys kembali ke meja kerjanya dan melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda.
Lain halnya dengan Bianca yang melongo kaget mendengar apa yang dikatakan Gladys. "Seriusan kau Dys? Masa iya kau di jadikan pelayan di rumahnya! Kalau itu aku juga mau Dys. Wanita mana yang tidak ingin tinggal di Rumah Pak Direktur yang kata orang salah satu Mansion termahal karena nilai sejarah dan arsiteknya. Kau beruntung sekali Dys".
"Huuft.. Bie, kau jangan sembarangan berbicara deh. Menjadi pelayan pria sepertinya dari mana baiknya? Kena sial iya! Sudahlah, jangan bahas ini lagi. Mood ku jadi tambah buruk tahu!".
Drrt.. Drrtt..
Ponsel Bianca yang kebetulan di atas meja bergetar, dia melihat ada satu panggilan masuk dari Steven.
"Dys, Kakakku telefon nih. Sepertinya nyariin kau deh".
"Ya udah, angkat ajah kali Bie". Bianca mengangkat telefon dari Steve.
"Bie.. Apa Gladys ada disampingmu, aku ingin bicara dengannya".
"Ah iya, bentar Kak.. ".
Bianca memberikan ponselnya pada Gladys.
"Stev.. Ada apa kau menelfon dan mencariku, inikan masih jam kerja.."
"Pandaku.. Mengapa ponselmu tidak aktif. Sejak tadi aku menelfonmu untuk mengatakan kalau sore nanti aku akan mengajakmu bertemu dengan orang tuaku. Kita menjalin hubungan sudah lebih dari 1 tahun, dan aku ingin memperkenalkanmu pada mereka".
Gladys terdiam sejenak, dia teringat sore nanti akan ada orang yang menjemputnya dan membawanya ke rumah Raziel.
"Stev, aku senang dan bahagia kau mau mengajakku bertemu orang tuamu. Tapi maafkan aku, Sore nanti aku tidak bisa ikut denganmu. Ada hal penting yang harus aku lakukan dan itu tidak bisa diwakilkan".
"Pandaku, apa kau berada dalam masalah, Mengapa kau terlihat sedang khawatir? Baiklah.. Kita batalkan untuk bertemu orang tuaku nanti sore. Sayang.. Jika kau sudah ada waktu, kau kabari aku. Kita akan berangkat bersama menemui orang tua kita".
"Terima kasih kau mau mengerti Stev. Aku harus melanjutkan bekerja, see you. Love you Stev".
"Love you to my panda".
Tut.. Tut..
Bianca yang sedari tadi memperhatikan Gladys tersenyum jahil. "Ekhem.. Dys, sudah mau di lamar ajah nih sama my brother. Kakakku memang gerak cepat yah, benar-benar takut kehilangan. Khi hihi..". Bianca terkekeh menahan tawa.
"Diam kau Bie! Ini masih jam kerja, lagi pula acara pertemuannya gagal. Sore ini aku harus ke rumah Tuan Sombong itu atau aku akan di pecat!". Jawab Gladys kesal dengan melampiaskannya pada keyboard komputer di depannya.
"Dys.. Aku hanya mengingatkan. Jangan terlalu membenci seseorang atau kau akan merasakan balasan yang sebaliknya. Antara cinta dan benci itu beda tipis, aku hanya tidak ingin kau terluka". Tiba-tiba saja Bianca berbicara serius membuat Gladys membatu mendengar perkataannya.
"Bie.. Kau jangan khawatir, aku tidak akan mengkhianati Kakakmu. Kau percaya padaku kan?". Gladys memandang Bianca dan memegang kedua tangannya penuh harap, tangannya bahkan gemetar saat dirinya memikirkan hal itu.
'Mengapa tanganku gemetar, apakah hatiku benar-benar takut akan berpaling dari Steven?. Tuhan jaga hatiku dan hatinya agar tetap bersatu, aku benar-benar takut'. Batin Gladys.
Melihat Gladys yang terdiam Bianca menepuk nepuk tangan Gladys untuk menenangkannya. "Kau sahabatku, mana mungkin aku tidak percaya padamu. Sekalipun kau tidak berjodoh dengan Kakakku, aku tidak akan menyalahkanmu". Jawab Bianca dengan senyuman. Dia menepuk tangan Gladys yang gemetar menunggu jawabannya.