CHAPTER NINE

1766 Kata
Aku berpikir sedang membutuhkan tempat untuk berkeluh kesah karena beban yang tengah kutanggung sekarang, jujur saja mulai sulit untuk kutanggung sendirian. Mbak Alya, tetangga sekaligus seseorang yang menjadi sahabat baikku semenjak kami menetap di komplek perumahan ini, menjadi orang yang kupilih untuk menjadi teman curhatku.  Aku datang ke rumahnya bersama putraku, sepulang sekolah. Awalnya, beralasan mengantar Raffa yang ingin bermain dengan Sandy, putra bungsu Mbak Alya. Hingga akhirnya kuceritakan juga masalahku pada Mbak Alya karena dia sendiri yang memintanya. Mungkin gerak-gerikku yang terlihat gelisah dan tak nyaman yang membuatnya sadar bahwa aku sedang memendam sebuah masalah berat.  Mbak Alya tak terlihat terlalu terkejut begitu kuceritakan tentang kecurigaanku pada Raefal. Sebenarnya Mbak Alya inilah yang dulu pernah memberitahuku bahwa dia memergoki Raefal sedang bersama wanita lain. Saat itu aku menolak mempercayainya, meyakini bahwa kesetiaan Raefal adalah satu-satunya hal yang harus aku percayai.  Namun, sekarang pemikiran itu sudah berubah sepenuhnya. Aku mempercayai semua yang dikatakan Mbak Alya, termasuk saat dia memberiku sebuah saran.  Dia menyarankan padaku untuk mengikuti Raefal, mencari tahu ke mana dia pergi setelah berangkat dari rumah. Mencari alasan kenapa dia harus telat datang ke kantornya nyaris setiap hari.  Aku ragu pada awalnya, rasa takut lebih mendominasi lebih tepatnya. Bagaimana jika apa yang kutemukan nanti benar-benar akan membuat hati dan rumah tanggaku hancur? Kira-kira pemikiran itulah yang menjadi sumber ketakutanku.  Mbak Alya tak henti membujukku, hingga akhirnya aku luluh dan memutuskan untuk menuruti sarannya.  Untuk melancarkan aksi penyelidikanku ini, Mbak Alya berbaik hati meminjamkan mobilnya padaku. OK, pada titik ini aku mulai menyesal karena dulu menolak tawaran Raefal yang berniat membelikanku mobil baru. Tujuan Raefal menawarkan membelikanku mobil demi memudahkanku mengantar-jemput Raffa ke sekolah.  Dulu aku berpikir menaiki taksi jauh lebih aman dibandingkan aku sendiri yang harus menyetir. Bukan apa-apa, aku hanya takut hal yang buruk menimpaku dan Raffa. Jika hanya aku yang tertimpa kejadian buruk seperti kecelakaan lalu lintas misalnya, aku masih bisa menerimanya. Tapi jika Raffa yang ikut bersamaku harus ikut tertimpa musibah juga, tidak ... hal inilah yang aku hindari sekuat tenaga.  Kenapa aku memiliki ketakutan sebesar ini? Jawabannya sederhana ... aku sangat menyayangi putraku melebihi apa pun. Aku tidak ingin dia terluka sedikit pun, terlebih jika dia terluka karena disebabkan olehku. Sungguh hal ini merupakan sesuatu yang paling tidak kuinginkan. Semenjak orang tuaku meninggal karena kecelakaan, berbagai pemikiran buruk ini mulai melekat di dalam otakku. Tidak ingin peristiwa mengerikan yang dialami orang tuaku terjadi padaku dan Raffa menjadi alasan terbesarku menolak tawaran Raefal saat itu.  Tapi sekarang aku sadar, memang ada kalanya mobil pribadi sangat dibutuhkan. Seperti saat ini contohnya, di saat aku harus diam-diam mengikuti Raefal ... akan jauh lebih mudah bagiku mengendarai mobil sendiri dibandingkan menaiki taksi. Aku jadi berpikir untuk meminta dibelikan mobil pada Raefal sekarang.  Mungkin orang lain berpikir aku bisa membeli barang apa pun yang kuinginkan dengan menggunakan uang suami sesuka hatiku karena uangnya berada dalam kuasaku. Kenapa harus repot-repot meminta dia yang membelikan? Lagi-lagi jawabannya sederhana, berbeda dengan para istri yang biasanya menguasai uang suami sepenuhnya, aku tidak demikian.  Kepercayaan yang kuberikan pada Raefal melebihi segalanya, bukan hanya sekedar kesetiaan melainkan untuk masalah finansial juga. Aku tidak pernah meminta Raefal menyerahkan seluruh uangnya padaku, kuberi dia kepercayaan untuk mengatur uangnya sendiri, mengumpulkan uang itu sebanyak mungkin untuk bekal masa depan putra kami nanti. Karena aku tahu, sebagai seorang ayah sudah menjadi kewajibannya membiayai semua keperluan Raffa.  Raefal tetap menafkahi kami dengan baik, setiap bulan dia akan memberi uang padaku untuk keperluan rumah tangga kami sehari-hari. Dia juga sangat royal pada keluarganya, tak segan-segan memberikan uang cukup banyak kepadaku setiap bulan. Ingin memastikan kebutuhan rumah terpenuhi dengan baik, itulah yang dia katakan ketika aku memintanya mengurangi jumlah uang yang dia berikan padaku.  Mungkinkah ada yang berpikir bahwa aku bodoh karena tak mau mengatur sendiri uang suamiku?  Jika memang benar ada yang berpikir demikian tentangku, sungguh aku tak peduli. Aku tidak akan kekurangan hanya karena tak mendapatkan uang dari Raefal. Bukan bermaksud untuk pamer, tapi aku memiliki penghasilanku sendiri yang akan mengalir setiap harinya ke dalam rekening pribadiku.  Dibandingkan Raefal yang berasal dari keluarga sederhana, aku berasal dari keluarga yang mampu, sangat mampu lebih tepatnya. Keluarga ayahku memiliki sebuah rumah sakit yang sudah puluhan tahun berdiri. Jika aku ingin, aku bisa dengan mudah bekerja di rumah sakit tersebut mengingat sejarah pendidikanku memang berhubungan erat dengan dunia medis.  Aku mengambil jurusan keperawatan dulu. Kenapa tidak kedokteran di saat orang tuaku sangat mampu membiayai sekolah kedokteran yang biayanya setinggi langit? Jawabannya ... karena aku kurang berminat di bidang itu. Aku juga memiliki kekhawatiran malakukan kesalahan pemeriksaan yang akan berakibat fatal untuk pasien yang aku tangani. Itulah sebabnya aku memilih menjadi perawat, menjadi seseorang yang senantiasa membantu dokter dalam menangani pasien. Pekerjaan ini membuatku lebih nyaman.  Sebelum menikah, aku sempat bekerja di rumah sakit keluarga ayahku. Namun, aku berhenti karena Raefal yang memintanya. Dia menyuruhku fokus mengerjakan pekerjaan rumah tangga, kelahiran Raffa membuatku semakin yakin bahwa keputusanku untuk berhenti bekerja merupakan keputusan yang tepat. Aku ingin memfokuskan waktuku untuk merawat, membesarkan dan mendidik Raffa.  Ibuku memiliki usaha sendiri sebelum dia tewas. Dia memiliki butik dan beberapa restoran yang tersebar di beberapa wilayah di Indonesia. Ya, semenjak ibuku tiada, semua bisnisnya jatuh ke tanganku. Aku memeriksa perkembangan semua bisnis ibuku dari kejauhan karena aku memiliki beberapa orang kepercayaan yang kutugaskan untuk menanganinya langsung. Aku hanya tinggal menerima laporan dan uang penghasilannya mengalir tiada henti ke rekening pribadiku.  Kira-kira seperti itulah latar belakang keluargaku, sangat berbeda dengan keluarga Raefal yang cenderung sederhana. Aku tahu persis bagaimana kerasnya perjuangan Raefal saat masih berada di posisi bawah hingga akhirnya dia berhasil mencapai puncak kesuksesan seperti saat ini. Jadi tak ada salahnya bukan, kubiarkan dia mengatur keuangannya sendiri? Aku yakin dia sangat mampu melakukannya, baginya pun masa depan Raffa pasti yang terpenting. Hingga detik ini aku tidak meragukannya.  Kembali pada rencana penyelidikanku ... tepat pukul 7 pagi, seperti biasa Raefal berangkat setelah menghabiskan sarapan yang aku buat. Kami sudah berbaikan semalam, aku mengalah dengan meminta maaf padanya atas semua sikap kasarku. Dia memaafkanku dengan mudahnya dan kembali bersikap normal seolah tak pernah ada pertengkaran di antara kami sebelumnya.  Aku mengantarkan dia hingga pintu. Ketika mobilnya sudah meninggalkan area rumah, cepat-cepat aku mengantarkan Raffa ke rumah Mbak Alya yang memang berada tepat di samping rumahku.  Setelah menitipkan Raffa padanya serta menerima kunci mobil yang dia pinjamkan padaku. Aku bergegas mengikuti Raefal.  Sudah lama aku tidak pernah mengendarai mobil, beruntung aku tak merasa canggung sedikit pun. Kulajukan mobil ini dengan kecepatan cukup tinggi, aku sempat khawatir tak sanggup mengejar mobil Raefal yang pastinya sudah melaju cukup jauh.  Akan tetapi, begitu kulihat mobilnya berhenti tepat di depan lampu merah di depan sana, aku mengembuskan napas lega detik itu juga.  Aku menjalankan mobil dengan kecepatan sedang begitu berhasil membuntuti mobilnya. Ternyata benar yang dikatakan Susi, Raefal tidak langsung pergi ke kantor. Bisa kupastikan hal ini karena arah jalan yang diambilnya sekarang jelas bukan arah menuju kantornya.  Aku mengambil jarak tidak terlalu dekat dengan mobilnya. Kupastikan jarakku cukup aman, tak mungkin dia mencurigai aku tengah membuntutinya.  Tak berapa lama, kulihat mobilnya memasuki area komplek perumahan yang aku tahu persis area ini merupakan komplek perumahan elit di mana rumah-rumah megah nan mewah bak istanalah yang berdiri kokoh di kawasan ini.  Aku tetap mengikutinya dari kejauhan, termasuk saat kulihat dia menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah mewah berlantai tiga dengan halaman yang luar biasa luas. Seorang pria paruh baya yang sepertinya pegawai di rumah itu, tanpa ragu membukakan pintu gerbang begitu melihat mobil Raefal.  Aku memarkirkan mobil cukup dekat dengan rumah itu. Dari sini bisa kulihat dengan jelas bagaimana Raefal turun dari mobil dan berlari kecil memasuki rumah mewah tersebut. Dia membuka pintu rumah itu dengan tangannya sendiri tanpa repot-repot menekan bel atau mengetuknya, seolah dia sudah terbiasa memasuki rumah ini. Aku tertegun di dalam mobil detik itu juga.  Siapa sebenarnya pemilik rumah ini? Pertanyaan inilah yang bercokol di dalam benakku.  Hampir satu jam lamanya aku berdiam diri di dalam mobil, menantikan Raefal yang tak kunjung keluar dari rumah itu.  Aku menunduk saat mendengar ponselku bergetar di atas dashboard. Sebuah pesan dari Mbak Alya masuk ke dalam ponsel. Dia bartanya bagaimana hasil penyelidikanku ini. Sengaja tak kubalas dulu pesan itu karena aku belum tahu pasti jawaban apa yang harus kuberikan padanya.  Hingga ketika aku mendongak menatap ke arah depan, aku tersentak tatkala mendapati Raefal akhirnya keluar dari rumah itu. Tidak sendirian, melainkan dengan seorang wanita yang masih mengenakan pakaian santai khas rumahan, ikut keluar bersamanya.  Hatiku berdenyut sakit menatap pemandangan itu. Terutama saat kuketahui Raefal membohongiku kemarin malam. Wanita pemilik rumah ini tidak lain merupakan wanita yang kulihat keluar dari restoran bersama Raefal tempo hari. Jadi bisa disimpulkan wanita itu bukan hanya sekedar teman kuliah seperti yang Raefal katakan padaku.  Kedua mataku semakin memanas, cairan bening memberontak meminta pembebasan dari pelupuk mata tatkala kutatap pemandangan di depan sana.  Mereka berpelukan mesra. Raefal memeluknya sama seperti dia selalu memelukku setiap pagi ketika dia hendak berangkat bekerja.  Air mata pun lolos saat dengan mata kepala ini kusaksikan bagaimana suamiku mencium kening wanita itu, lalu beralih pada kedua pipinya. Tidak ada ciuman di bibir, setidaknya rasa sakitku tidak mencapai puncak karena tak mendapati suamiku mencium bibir wanita lain.  Mereka kembali berpelukan setelahnya, cukup lama hingga akhirnya pelukan itu terlepas dan digantikan dengan tawa riang keduanya.  Wanita itu melambaikan tangan begitu Raefal berjalan memasuki mobil. Apa yang kulihat ini sama persis seperti apa yang setiap pagi kami lakukan sebelum Raefal berangkat bekerja. Bahkan Raefal yang selalu melambaikan tangan padaku saat mobilnya melaju meninggalkan halaman rumah, kini dia pun melakukan tindakan yang sama pada wanita itu. Dia melambaikan tangan melalui kaca mobil yang belum dia tutup.  Aku menyembunyikan diri dengan menunduk di kursi begitu mobil Raefal melintasi mobil yang kukendarai. Aku tidak ingin dia melihat keberadaanku di sini.  Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang? Dengan mata kepalaku sendiri sudah kubuktikan bahwa suamiku membohongiku selama ini. Sudah kudapatkan bukti tak terbantahkan bahwa suami yang begitu kupercayai selama belasan tahun lamanya ... ternyata menusukku dari belakang.  Dia menghancurkan semua kepercayaan yang kuberikan padanya. Kesetiaannya yang selalu kubanggakan di depan teman-temanku, nyatanya hanya isapan jempol. Perasaan cintanya yang selama ini kuyakini hanya ditujukan padaku, nyatanya telah dia bagi. Bahkan dia menghancurkan kepercayaanku yang selalu menganggap bahwa baginya aku dan Raffa adalah yang terpenting. Kenyataannya ada orang lain yang juga menempati posisi penting dalam hidupnya, bahkan tidak menutup kemungkinan wanita itu jauh lebih penting bagi Raefal dibandingkan kami.  Dengan kejamnya dia mengkhianatiku. Seolah ikatan di antara kami yang sudah terjalin selama belasan tahun lamanya, tak berarti lagi baginya. Dia berselingkuh dan dengan begitu rapat berhasil menyembunyikan wanita simpanannya.  Sekali lagi kutanyakan, apa yang harus kulakukan sekarang? Adakah yang bisa membantuku memberikan jawabannya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN