STEP 11 - Perhatian

1326 Kata
"Ada saat di mana seseorang berada pada titik terapuh. Dan yang dia butuhkan bukanlah sekedar kalimat penyemangat. Melainkan telinga untuk mendengar dan bahu untuk bersandar" -Adam F. Rahadian- *** Zirena tahu bahwa suatu waktu nanti-cepat atau lambat-dirinya pasti akan bertemu kembali dengan lelaki itu. Tapi, bukan sekarang. Dia tidak siap, tepatnya belum mampu mengendalikan segenap benci di dalam hatinya. Dan, dampak dari ketidakmampuan itu pada akhirnya membuat dia mengucapkan kata-kata tidak pantas terhadap orang tua. Wajar jika Ibu serta merta melayangkan telapak tangannya. Gadis yang tengah mengendarai motornya tak tentu arah itu meringis merasakan pipinya berdenyut nyeri lagi. Sebelah tangannya sesekali mengusap mata, menghalau buram oleh cairan bening yang masih setia mengalir. Beberapa saat lalu Zirena sempat terpikir untuk singgah di rumah Indira saja, namun urung sebab teringat karibnya itu telah berumah tangga. Tidak etis baginya mampir menjelang maghrib. Sagita bahkan sedang keluar kota. Sungguh selain kedua sahabatnya itu, dia tidak memiliki tujuan lain disaat seperti ini. Dalam kekalutan perasaannya, dia pasrah pada otaknya yang auto pilot memberi petunjuk ke mana harus menuju. Oh tidak. Kenapa aku malah ke tempat ini? Satu helaan napas berat lolos dari saluran pernapasannya. Dia memandangi kantor yang belum seminggu ini dia tempati dari atas motor. Entah harus bersyukur atau apa karena bangunan tiga lantai itu masih buka meski jam operasional sudah berakhir. Harus ke Adara studio, banget? Dengan satu belokan, si scoopy memasuki parkiran. Zirena menghapus jejak-jejak tangis dari wajahnya meski tak sepenuhnya hilang. "Eh, Zi?" Dika keluar dan menegur Zirena yang tengah meletakkan helm pada kaca spion kanan. "Kenapa balik?" "Eng, anu ... kelupaan sesuatu yang penting, Kak," sahut Zirena, suaranya serak dan dia merutuki itu dalam hati. Dika tidak sendiri. Seorang gadis berpakaian slim fit dress sepaha berdiri di samping Dika. Tangan putih mulusnya melingkari lengan kanan lelaki itu. "Oh. Buruan ke dalam gih sebelum Maman balik. Studio mau ditutup soalnya. Duluan ya, Zi. Bye." Dika berkata cepat, secepat dia melewati Zirena menuju mobil. Lelaki berwajah tampan itu bahkan tidak repot-repot memperkenalkan gadis asing itu pada dirinya. Sepanjang langkahnya ke lantai dua, ponsel Zirena tak hentinya bergetar dari dalam tas. Dia tak mengacuhkan panggilan yang terus menerus masuk. Saat ini dia butuh sendiri, menetralkan segala emosi dan perasaannya. Zirena menaruh tas begitu saja di atas meja kerjanya. Sementara dia memilih duduk di lantai dengan kaki berselonjor. Kepalanya menengadah, bersandar pada tembok. Seiring matanya memejam, kilas balik kejadian tadi menari-nari dalam benaknya. Ya Tuhan, bagaimana bisa Ayah kembali dengan mudahnya seolah apa yang dilakukannya bukanlah hal fatal? Dia tidak hanya pergi meninggalkan keluarga, tapi dia juga membuat Zirena kehilangan sosok Ayah di masa pertumbuhannya. Dan, Ibu ... bagaimana bisa Ibu semudah itu menerima kehadiran lelaki itu di rumah? Zirena tidak paham. Dia terlalu lelah jiwa raga untuk menerka-nerka jawaban. Bulir bening lagi-lagi mengalir tanpa aba-aba dari sepasang mata indahnya. Rongrongan kepedihan mendalam membuatnya terisak sendu. Kendati dia menekap mulut memakai telapak tangan, suara isak itu masih saja lolos dan menggema di tiap sudut ruangan. Perlahan dia menarik lutut, memeluknya erat lantas menenggelamkan wajah dibalik dekapan itu. Membiarkan kesedihan menguasai kesadarannya. Dia bahkan lupa kalau dirinya teramat benci menjadi selemah ini. Tangisnya baru berhenti kala suara kumandang Adzan mulai merebak. Menggunakan ujung lengan kemejanya, Zirena mengelap air mata. Dia bangkit dari duduknya. Tepat disaat kakinya berpijak sempurna, netranya mendapati sosok Adam tengah berdiri di hadapannya dengan punggung bertopang pada tembok di seberang meja. Zirena terperanjat nyaris mengumpat. "Sudah nangisnya?" tanya Adam. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku, sedangkan lainnya memegang sebotol air mineral. Zirena mengerjap bingung. Sejak kapan coba bosnya berada di sana? Bukannya tadi Dika hanya bilang ada Maman? Aku juga tidak liat mobil Bos tadi.... Adam maju dua langkah. Menyodorkan botol air-yang sudah lebih dulu dia buka tutupnya-itu kepada Zirena. "Air sifatnya menetralisir. Minum, biar perasaanmu enakan." "Te-terima kasih, Pak." Gadis itu menerima pemberian Adam. Dia lalu duduk, meminum perlahan air itu. "Lain kali jangan numpang nangis sembarangan di kantor. Saya pikir tadi setan ... ternyata kamu." Tanpa sadar Zirena mencebik. Masa iya dia disamakan setan? "Tangisan saya masih lebih merdu daripada tangisannya setan, Pak," sahut Zirena dengan suara serak sehabis menangis. "Terserah kamu saja." Adam mendengus samar. Alih-alih bertanya ada apa dengan Zirena, Adam justru melenggang pergi meninggalkannya. Toh gadis ini pasti tidak akan menjawab seperti yang terjadi kemarin. "Pak, saya numpang salat di sini sebelum pulang, ya!" Teriak Zirena yang disambut lambaian dari jauh oleh lelaki berpunggung lebar itu. Lambaian yang bermakna sama dengan kalimat singkatnya barusan. *** Ponsel Zirena terus bergetar sedari tadi. Dia menatap lamat-lamat nama Indira yang tercantum pada layar persegi panjang tipis itu. Dalam hati menimbang-nimbang untuk mengangkat atau tidak. Firasatnya mengatakan bahwa sahabatnya itu pasti sudah tahu apa yang terjadi dari Ibu. Dan, dia memilih mengabaikan panggilan itu. Dilepasnya mukena yang dia kenakan salat magrib, lalu dilipat rapi untuk kemudian di simpan pada rak mini di sudut belakang musala kecil ini. Perasaan serta pikirannya jauh lebih tenang usai menghadap ke peraduan sejatinya sebagai seorang makhluk. Walau begitu dia masih belum ingin kembali ke rumah. "Kenapa tidak diangkat?" Orang ini! Lagi-lagi mengejutkan Zirena karena kehadirannya yang tiba-tiba. "Hobinya suka ngagetin orang ya, Pak?" Lagian ngapain ke sini segala, sih? Bukannya menjawab, Adam malah mengedikkan dagu ke arah handphone Zirena yang bergetar minta disentuh. Dan, anehnya, tatapan memerintah yang disiratkan Adam berhasil membuat dirinya menggeser ikon telepon berwarna hijau itu ke kanan. "Astagfirullah, Zi! Kamu ke mana aja? Daritadi aku telponin gak diangkat. Bikin khawatir tau," sergah Indira bertubi-tubi, dia bahkan lupa mengucap salam. "Tadi Ibu ke sini nyariin kamu. Kamu di mana, sih? Beliau keliatan kacau dan cemas sekali." "Ibu cerita?" Di seberang sana, Indira terdiam sesaat, tak langsung menanggapi. Zirena mendesah pelan, Indira pasti sudah tahu. "Kamu pulang, ya, Zi? Kasian Ibu-" "Aku akan pulang," potong Zirena. Suaranya lebih mirip bisikan. Dia melirik tidak nyaman pada Adam meski lelaki itu berdiri memunggunginya. "Tapi tidak sekarang. Aku masih butuh waktu untuk mendinginkan kepala." Tanpa disuruh pun dia pasti akan pulang. Hanya rumah itu tempat dia kembali sejauh manapun kakinya berlari. "Baiklah, Zi. Tapi setidaknya kamu kabari Ibu, ya. Apapun yang terjadi antara kalian, aku yakin semuanya bisa diatasi dengan baik." Sebelum memutus sambungan, Zirena mengiyakan pesan dari ibu muda satu anak itu. Dia juga tidak tega membiarkan Ibu khawatir lebih lama. Setelah ini dia akan berusaha mengatasi masalahnya dengan baik dan kepala dingin. Semoga ... bisa. "Pak Adam kenapa masih berdiri di situ? Nguping, ya?" Adam membalik badan menghadapnya. Ekspresinya seakan berkata "enak saja!" "Maman sudah pulang. Saya mau keluar. Kamu mau di sini berapa lama?" jelas lelaki yang saat ini memang tampak lebih rapi dibanding tadi kala mengenakan kaos dan celana pendek selutut. Zirena reflek berdiri, menyadari dirinya 'diusir' secara halus. "I-ini sudah mau pulang, kok, Pak." Sudut bibir Adam terangkat meski samar. Zirena yang gelagapan memunguti tasnya dan menyimpan mukena dengan buru-buru menjadi pemandangan-yang entah kenapa-lucu di matanya. Begitu mereka berdua tiba di bawah, Adam meminta Zirena menunggu sebentar. Dia mengambil sesuatu dekat meja resepsionis. Lantas mengunci pintu kaca studio, serta menarik sisi pintu besi press berwana biru itu bergantian hingga merapat satu sama lain. "Ayo." Adam memakai helm full face-nya, ajakannya kontan saja memantik rasa heran Zirena yang juga tengah menggunakan helmnya. "Tadi kamu bilang belum mau pulang, kan? Nah, kebetulan saya butuh bantuan kamu." Adam mengambil alih kemudi motor. Dengan nada yang tak menerima penolakan dia meminta kunci si scoopy pada gadis itu. Zirena bergeming. Tangan Adam terulur mengambil kunci yang diberi gantungan boneka panda mini dari genggaman Zirena. Dia mencolokkan benda besi kecil itu pada lubang key shutter dan memutarnya ke posisi on. Tanpa tedeng aling-aling, dia menarik lengan Zirena untuk duduk di jok belakang. "Saya mau ke bengkel ambil mobil, tapi sebelum itu saya mau ke tempat cukur dulu. Lumayan untuk membantu kamu mendinginkan kepala." Astagadragon, seberapa banyak yang bosnya dengar dari sesi telepon bareng Indira tadi, sih? Kenapa juga harus dirinya di saat taksi ataupun ojek online meraja lela? Ah. Jangan tanya mengapa Adam melakukan hal ini, sebab dia sendiri tidak tahu jawabannya. (*)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN